My Besty

1081 Words
Setelah menembus perjalanan cukup melelahkan, akhirnya aku sampai juga di studio. Langkah kaki ini mantap memasuki ruangan, kudorong pintu kaca sekuat tenaga. Sepertinya pintu ini harus diganti. Handle-nya sudah mau lepas. Bosku memang kadang-kadang suka abai dengan hal-hal kecil seperti ini. Ruang studio masih sama seperti awal aku bekerja di sini, sejak tiga tahun lalu. Diri berdecak, heran saja. Cowok cuwek di novel-novel online itu terlihat menggemaskan, tetapi kenyataannya tidak demikian. Contohnya saja Dimas. Dia teramat menyebalkan sebagai seorang bos, dan sahabat tentu saja. Namun, dialah satu-satunya tempatku curhat. Semua tentang Dito juga dia tahu, karena memang mereka dekat. Jadi, aku mencurahkan perasaanku tentang Dito padanya. Sudah berulang kali aku memberitahunya soal handle pintu itu, tetapi dia hanya iya-iya saja tanpa ada niat memperbaiki. Katanya, uang sedang menipis, karena memang studio sedang sepi pelanggan. Kami baru membicarakan konsep untuk memperbaiki pelayanan dan segalanya, agar orang-orang tertarik. Bahkan, kami sampai bekerjasama dengan pemilik WO untuk tetap memiliki penghasilan. Ada beberapa WO yang sering memakai jasa kami, tentu saja saat musim pernikahan. Oh, pesta ulang tahun dan yang lainnya juga tak ketinggalan. "Sorry, gue telat," ujarku sambil membuka pintu ruangan dengan menunjukkan deretan gigi, kebetulan kami satu ruangan. Rasanya tidak ada sopan-sopannya sama bos sendiri, keluar masuk selalu tanpa permisi. Namun, hal itu sepertinya tak menjadi masalah bagi Dimas. Buktinya, dia tak pernah protes. Ah, baik sekali. Dimas menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke gawainya. Aku langsung mendekat, duduk di seberang Dimas yang terhalang meja, meletakkan tas berisi kamera dan lain-lain di bawah kaki. "Kebiasaan," celetuk Dimas tanpa menoleh. Mungkin dia sedang nge-game. Kebiasaannya sejak lama memang seperti itu. "Ya, maaf. Tadi tuh macet. Mana gue mau nabrak orang lagi." Dimas mengalihkan fokusnya padaku, meletakkan gawai itu di meja. "Oke, no problem. Tapi ingat, besok lo nggak boleh telat." Alisku menaut. Dia tidak menanyai bagaimana kondisiku, selamat tidak, atau mungkin ada yang terluka tidak? Dasar kanebo kering! "Lah, kenapa emangnya? Besok long weekend kali, Pak. Masa gue disuruh masuk? Lo mau nyuruh gue kerja rodi apa gimana?" Biar tahu rasa dia kusembur. Enak saja memerintahku sesuka hati. Dia pikir, dia siapa? Astaga, aku tidak akan lupa, bahwa dia adalah bosku. Namun, apakah harus semena-mena ini? Aku langsung mengatupkan mulut ketika Dimas menatapku sebal. "Dengerin dulu, jangan main potong aja makanya." Oke, kali ini aku mengalah. Dimas juga sepertinya tahu, bahwa diri ini memberinya kesempatan bicara. "Jadi, besok lo jam lima udah harus ada di bandara." Seketika mulut ini terbuka lebar, dengan mata membelalak tentu saja. "What? Gila lo, Dim. Ngapain gue jam segitu ke bandara?" protesku bersungut-sungut. Kadang-kadang bosku satu ini memang kurang waras. "Mungutin sampah! Ya, kerjalah, Nona!" semburnya dengan tampang malas dan gemas, sepertinya, sih. "Kerja?" Aku semakin tidak mengerti. Ini maksudnya aku disuruh ke bandara buat pemotretan pagi buta, begitu? Dimas masih menatapku, dengan tatapan sama persis dari sebelumnya. "Maksud gue, ngapain jam segitu gue ke bandara? Mau ke mana? Pemotretan? Ada-ada aja klien lo, ya," imbuhku sedikit menjelaskan. Dimas membuang napas, hidungnya terlihat kembang kempis. Dia yang gagal paham, atau aku yang lemot? Apa aku salah makan, ya? "Elo ada kerjaan penting di Jepang. Besok berangkat. Ada klien yang minta prewed di sana." Dimas menjelaskan perlahan, mungkin agar otak ini mampu menerima penjelasannya. Lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh Dimas. Jepang? Itu negara impian yang sejak lama ingin aku kunjungi. Oh my god! Betapa bahagianya aku bisa ke sana. Eh, tunggu dulu! "Lo gila, ya, Dim? Kenapa mendadak? Gue belum ada persiapan apa-apa, kali, Pak! Pasport, visa, uang saku, baju, sama–" Tiba-tiba sebongkah kertas telah mendarat cantik di mulutku. Sialan si Dimas! Aku memelototinya. "Eh, Non, dengerin dulu makanya. Besok lo tinggal berangkat aja. Tinggal duduk manis di pesawat sama bawa baju dan alat pemotretan. Semua udah diurus sama mereka. Paham?" Aku tidak salah dengar? Orang seperti apa klien Dimas kali ini? Sekaya apa dia sampai-sampai sudah menyiapkan semuanya? Ini aneh, tetapi masa bodoh! Intinya aku bisa ke Jepang, bukan? Yes! "Lo serius, 'kan, Dim?" tanyaku sambil melempar kertas yang tadi menyumpal mulut. Diri ini masih belum percaya sepenuhnya. Bisa jadi dia mengerjaiku, seperti tempo hari. Ujung-ujungnya, aku diledek habis-habisan gara-gara ingat Dito. "Duarius kalo perlu," jawab Dimas, singkat dan jelas. Aku mengangguk-angguk. Kali ini mulai memercayai cowok setengah waras di hadapan. "Oke, gue mau. Eh, tapi ... siapa klien kita kali ini?" Aku memajukan wajah, meletakkan tangan di atas meja sambil bertopang dagu. "Ada. Dia salah satu orang penting di negeri ini." Maksud Dimas orang itu sekelas presiden? Staff presiden? Perdana menteri? Wali kota? Pengusaha, atau mungkin artis? "Nggak usah banyak mikir, besok lo juga tau sendiri siapa orangnya." Baiklah. Aku tak akan memaksa Dimas mengatakan siapa klien-nya. Lagipula, aku sudah bahagia bisa ke Jepang, gratisan pula. Beruntung sekali diri ini. Siapapun orangnya, terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan ke Negeri Sakura. Negara impian yang masih belum tercentang di list kota wisata. Memang belum ada negara impian yang tercentang, sih. Selama ini masih dalam negri saja, itu pun baru Bandung, Jogja, sama Surabaya. Astaga, bahkan aku baru ingat, bahwa semua itu karena tuntutan pekerjaan, bukan liburan. Miris. Jepang. Ck! Membahas negara ini selalu mengingatkanku pada Dito. Selalu saja yang terlintas di benakku adalah dia. Bagaimana tidak? Dahulu, dialah yang bercita-cita mengajakku ke sana, menikmati bunga sakura bermekaran dan ke Hokkaido di musim semi. Kata Dito, di Hokkaido bila musim semi itu sangat indah. Aku sampai lupa penggambaran yang dia sebutkan, pokoknya indah dan memanjakan mata. "Ngelamunin apa lo?" Suara Dimas membuatku sedikit tercekat. "Kagak ada," jawabku mencoba berbohong. Sayangnya, Dimas sudah hapal dengan setiap gerik dan gesturku. "Ingat cinta tak terbalas lo itu, ya?" Dia terbahak penuh ledekan, dan dengan entengnya dia bilang, "Move on makanya." Dimas melemparku dengan kertas, lagi. "Lo pikir move on itu segampang nyari upil?" sungutku. Kali ini aku benar-benar menekuk wajah. Dimas tidak pernah mengerti susahnya aku melupakan Dito. Apalagi dia cinta pertamaku. Jadi, sangat sulit rasanya bila lupa begitu saja. Aku mengembuskan napas berat. Dimas ada benarnya juga. Untuk apa aku memikirkan orang yang sudah meninggalkan diri ini tanpa permisi? Hal bodoh yang seharusnya tak kuratapi. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi kenapa diri ini sama sekali tak bisa membuang bayang-bayangnya? Semakin aku berusaha, semakin kuat pula hadirnya. Bodoh memang! "Udah, nggak usah dilamunin terus. Dia nggak bakal balik sama lo, Pus." "Pas-Pus, Pas-Pus! Lo kira gue kucing?" Bukannya takut sudah kulirik tajam, dia malah terbahak, seolah-olah perasaan ini adalah lelucon baginya. Memiliki sahabat seperti Dimas memang menyenangkan, bahkan dia bisa menjadi moodbooster, tetapi tak jarang juga membuat tingkat stress menanjak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD