bc

Digebet Mantan

book_age16+
440
FOLLOW
1.3K
READ
friends to lovers
scandal
goodgirl
CEO
comedy
sweet
heavy
enimies to lovers
first love
photographer
like
intro-logo
Blurb

"Bertemu mantan sedetik, rusak move on bertahun-tahun."

Sebuah peribahasa yang sangat pas untuk gadis bernama Puspita Anggreani. Ketika dia masih tertatih untuk move on dari mantan kekasihnya, justru Dimas—sang sahabat—melemparnya pada kubangan cinta masa lalu yang tidak ingin dia hadapi.

Sikap dingin dan tarik ulur yang Dito lakukan, membuat Rea terbawa perasaan dan sulit mengendalikan diri. Akankah Rea tetap pada pendiriannya untuk move on, atau justru terjerat kisah lama yang belum usai?

chap-preview
Free preview
Masih Cinta
"Selamat ulang tahun, Puspita Anggreani. Wish you all the best." Mata ini berbinar penuh haru ketika tiba-tiba suara itu muncul bersamaan dengan sebuah tart di tangan. Dia berjalan masuk, mendekatiku yang masih tertegun. "Happy birth day," katanya lagi. Kali ini dia sudah berada di kamarku, menyodorkan tart—maksudnya menyuruhku untuk meniup lilinnya. Aku memandangnya masih penuh keterkejutan. Ini bukan kali pertama dia memberi kejutan di hari lahirku. Kami sudah tiga tahun jalan, dan dia selalu memberi kejutan-kejutan kecil nan manis seperti ini. Aku bersiap meniup lilin, tetapi urung, karena benda di atas tart itu dijauhkan oleh Dito. Andito Mahendra. "Eits, make a wish dulu, dong," katanya sambil tersenyum. Hal yang paling aku suka darinya ialah saat dia tersenyum. Terasa membiusku hingga sulit untuk tidak terpesona. Akhirnya, aku menutup mata dan berdoa. Selain agar panjang umur, aku juga ingin hubunganku dengannya hingga ke pelaminan. "I love you, Sayang," katanya. "I love you to, Dit. Jangan pernah tinggalin aku." Dito memotong tart red velvet favoritku, kemudian .... "Najis! Woy, bangun!" Eh, suara apa itu? Aku langsung tersadar, gelagapan, dan bangkit. Lalu, memindai sekitar kamar, sepi. Hey, bukankah tadi ada Dito di sini? Ya, ampun, jangan bilang aku bermimpi. Lalu, tadi suara siapa? Astaga! Itu suara Dimas. Sialan! Belum selesai aku terkaget, tiba-tiba benda pipih itu berbunyi. Pukul lima pagi, siapa yang menelepon sepagi ini? Kurang sial apa lagi aku coba? Mimpi indah jadi buruk. Memimpikan Dito lagi. Sial! Nah, kan. Sudah kuduga, bahwa si penelepon itu pasti Dimas. Dia sepertinya memang tak rela bila aku bahagia. "Nggak bisa apa aku tidur dengan leluasa di hari Minggu? Please, deh. Lo tu ganggu banget tau nggak, sih?" omelku ketika panggilan telah tersambung tentu saja. "Eh, Mbak. Masih pagi ini, nggak usah marah-marah kali." "Lagian elo, sih. Hari Minggu gini masih aja ganggu gue." "Lo kenapa, sih? Jangan bilang mimpiin Dito lagi, ya!" Aku menjauhkan ponsel, menatapnya seolah-olah yang kutatap adalah Dimas. Dari mana dia tahu aku mimpi Dito? "Udah, nggak usah drama. Nanti jam enam gue tunggu lo di studio. Oke?" Kebiasaan! Selalu saja memaksa dan membuat janji seenaknya. "Eh, Mas! Ini hari Minggu, nggak boleh apa gue menikmati hidup?" sungutku, kesal. "Kenapa? Lo mau mengenang cinta lo yang kandas itu? Move on, kali. Belum tentu juga dia inget elu." Asem! Sekat-kate banget dia ngomong! "Dim, tolong, ya—" "Nggak mau tau, lo harus datang. Ini penting banget untuk kemaslahatan kita." Kebiasaan kedua. Tidak bisa menerima penolakan bawahan, dan menutup telepon sepihak ketika aku belum selesai bicara. Oke, aku memang sahabatnya, tetapi tetap saja dia bosku bila di kantor. Tau ah! Pupus sudah mimpi indah tadi, padahal baru saja Dito mau menyuapiku kue ulang tahun. Dimas memang benar, tetapi aku pun tak bisa menghindari semua ini. Rasanya begitu cepat. Lima tahun aku berusaha move on, tetapi sia-sia belaka. Bayangan Dito seolah-olah enggan enyah dari benakku. Lupakan dia, Rea! Lupakan! Manusia seperti Dito tidak pantas kauingat-ingat. Terkadang batin kecilku memberontak, tetapi perasaan ini telanjur dalam. Rasanya susah untuk sekadar lupa, bahkan setiap waktu yang aku lewati selalu mengingatkan padanya. Aku menggeleng kuat, kemudian mengembuskan napas perlahan. Mencoba membebaskan belenggu hati ini dari masa lalu. Lagi-lagi Dimas benar, bisa jadi Dito sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Oke, Rea! Mari move on! Kupacu semangat dalam diriku sendiri. * Seperti yang dikatakan Dimas, pagi ini juga aku bergegas ke kantor, tepatnya ruko di daerah Bintaro. Tas ransel yang selalu menemani bekerja sudah siap. Sialnya, jalanan tak semulus paha artis di TV, begitu kata Dimas jika terjebak macet. Padahal, aku sudah buru-buru, dan terpaksa mata ini harus melihat dua sejoli suap-suapan di trotoar. Hiks! Menyedihkan sekali. Anak ingusan saja sudah bermain cinta. Mereka belum tahu saja rasanya diputusin pas lagi sayang-sayangnya. Dari mana aku tahu mereka masih ingusan? Itu mudah sekali, lihat saja wajahnya yang masih imut-imut dengan gaya berpakaian ala-ala ABG masa kini. Lebih sialnya lagi, traffic light juga sepertinya sangat nyaman berada di zona merah. Hei, ini hari Minggu, kenapa jalanan semacet ini? Ingin aku mengumpat, tetapi percuma juga. Jalanan ini tak akan langsung lancar. Kebetulan ada polisi lewat, sepertinya sedang mengondisikan keadaan. Segera kubuka kaca mobil, lalu sedikit melongok. "Maaf, Pak. Kenapa macet parah banget gini, ya?" Aku mencoba mencari tahu. Polisi berperut sedikit buncit dengan badan tegap itu sedikit membungkuk. "Ada kecelakaan, Mbak," jawabnya ramah. Aku mengucap terima kasih. Setelah polisi tadi berjalan ke arah berlawanan dengan mobilku, diri ini kembali menutup kaca. Mendengkus sebal, aku terlalu tak suka menunggu. Perlahan, mobil mulai melaju. Meskipun merambat, tetapi lumayan. Paling tidak sedikit bergeser dari posisi sebelumnya. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku menyalakan radio. Entahlah, tiba-tiba lagu milik Kotak berjudul Masih Cinta itu memenuhi mobil, dan rasanya batinku kembali teriris. Serentetan kisah masa lalu bersama Dito terputar bagai satu roll film. Haruskah move on sesusah ini, Tuhan? Kamu tak bisa bayangkan rasanya jadi diriku yang masih cinta .... Entah, rasanya lagu ini benar-benar tercipta untukku. Aku larut dalam setiap bait yang Tantri lantunkan. Suaranya begitu pas, menggerogoti hati ini. Tak terasa air mata ini menetes. Ah, lebay! Kenapa harus semenghayati ini? Ponsel berdering. Kulirik benda yang berada di dekat tuas gigi. Dimas. Aku mendengkus pelan. Kupasang handset di telinga. Sebelum menjawab, kukecilkan volume radio lebih dulu. "Iya, Dim. Bentar lagi gue nyampe kok. Macet, nih." Aku langsung menyambar sebelum Dimas mengomel. Bisa-bisa omelannya tak berhenti, seperti Bu Rossa Chandraningsih. "Oke, gue tunggu." Suara Dimas terdengar kalem, pasti dia masih sabar menungguku. Sesabar menghadapi pacarnya yang sedikit barbar. Kasihan juga dia. Jalanan sudah agak lumayan dibanding tadi. Laju mobil lebih cepat juga dari sebelumnya. Aku melepas handset, meletakkannya kembali seperti semula. Saat fokusku kembali ke depan, diri ini terkejut karena tiba-tiba ada wanita menyeberang. Langsung saja kuinjak pedal gas kuat-kuat dengan mata terpejam. Aku tak sanggup saja melihat adegan tabrakan seperti ini, apalagi aku tersangkanya. Bu Rossa Chandraningsih bisa ngomel tujuh hari tujuh malam, atau paling parah aku dipecat jadi anaknya. No! Setelah merasa tak ada gesekan yang kurasa, pelan-pelan mata ini terbuka. Akan kupastikan bahwa tak terjadi apa pun di sana. Hei, ke mana wanita tadi? Apakah dia ada di bawah mobilku? Oh my god! Aku gemetaran. Bagaimana ini? Jangan-jangan kepalanya terlindas, badannya hancur, dan aaa tidak! Aku tak mau dipenjara. Mulutku merapal segala doa. Perlahan kubuka pintu, memastikan dengan harap-harap cemas dan rasa khawatir. Mataku kembali terpejam, aku berjongkok untuk melihat ke kolong mobil. Tunggu! Aku memastikan tak ada saksi mata di sini. Aman! Bukan, bukan aku mau melarikan diri. Hanya saja aku takut mereka menyudutkanku. Aku pasti tanggung jawab, tetapi tidak usah disudutkan juga. Mataku melotot, tak ada siapa pun di sana. Alhamdulillah, itu artinya perempuan cantik bak model tadi selamat. Namun, sebentar. Ke mana perginya? Aku berdiri, memindai jalanan penuh kejelian, tetapi terhenti ketika mata ini melihat punggung seseorang. Punggung bidang itu, sepertinya aku kenal, tetapi siapa? Yang digandeng itu bukankah wanita tadi? Oh, selamat. Aku mengelus da'da. Ternyata aku tak jadi dipenjara dan dipecat jadi anaknya Bu Rossa Chandraningsih. Aku kembali masuk mobil. Terngiang-ngiang kembali akan bayangan si pemilik punggung tadi. Siapakah gerangan?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook