Althaf Adiputra W.
Lana pernah membaca nama itu di ruang dosen. Ia baru sadar huruf 'W' yang terselip di sana ternyata 'Widyoseno'.
Ternyata calon suaminya adalah putra bungsu keluarga Widyoseno—sekaligus adik dari Althaf.
Ya Tuhan. Semesta pasti sedang bercanda.
Usai Darrel memperjelas bahwa Althaf adalah abangnya, Lana merasa napasnya macet. Suhu tubuhnya naik disusul keringat di pelipis. Mereka beradu pandang dengan tatapan tak terartikan.
Darrel sampai melempar tatapan, Ada apa? yang berakhir tanpa jawaban.
Tubuh gadis itu dikuasai gugup gemetar. Lana menelan ludah sebelum akhirnya berjalan mundur dan berbalik ke pintu.
"I'll see you soon, Darrel." langkah Lana semakin mundur. Otaknya terus mengatakan bahwa mustahil menikahi Darrel—bersuami dengan pria itu, apalagi masuk ke silsilah keluarga Widyoseno.
Ritme langkah kaki Lana berubah cepat—ia berjalan cepat ke ruang tamu di mana ayahnya masih asyik membincangi tuan rumah.
Atlana berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap normal. "Om Danu," ucapnya sambil mendekat. "Kami sudah cukup berkenalan. Dan, saya rasa kini saatnya untuk pulang."
"Lho, buru-buru banget, Atlana?"
Lana mengulas senyum terpaksa. "Sayangnya saya harus menyiapkan paper untuk besok, Om Danu."
Wajah pucat itu tercetak cukup jelas. Aryo tidak bodoh untuk menyadari bahwa putrinya berdusta.
Lana juga mengatakan, "Kami sepakat untuk saling menghubungi," sebagai kalimat pamungkas.
Ia menjabat tangan Danu Widyoseno sambil mengangguk sebagai rasa hormat. Lalu berbalik mendahului papanya yang masih berbasa-basi.
Ini gila. Sungguh sangat gila. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui hal ini sebelumnya? Ia sungguh ceroboh karena tak melakukan riset lebih awal.
Dunia ini bukan seonggok ruangan tiga kali empat. Lana tak habis pikir bahwa sosok yang akan memperistrinya adalah saudara althaf. Apa yang akan mereka pikir kalau tahu tubuhnya telah dipesan oleh althaf?
Dan, apa yang terjadi jika dosennya melapor ke mereka soal hutang itu?
Demi Tuhan. Seolah ada serombongan ngengat di kepalanya.
Selepas pertemuan itu, ketegangan makin kental karena dirinya menolak jujur. Sampai-sampai Aryo mengancam dengan nyaring, "Jangan berani-berani menggagalkan rencana papa! Ingat konsekuensinya."
Lana tak berani bergeming.
Kehidupan kampusnya ikut makin rumit. Hatinya berdesir kala berpapasan dengan Althaf di area Fakultas, dan sebisa mungkin menghindari ruang dosen. Pria itu sesekali melempar senyum—sepertinya belum tahu bahwa ia akan menjadi kakak ipar Lana.
"Bagaimana dengan BEM? Sudah kembali stabil?" tanya Althaf suatu siang, saat Lana dan Brian menyambangi ruang dosen.
"Menuju kondisi stabil, Pak. Semuanya berkat bantuan anda tempo lalu." Brian menjawab.
"Kalian nunggu Bu Pramesti, ya?"
"Betul, Pak. Sebenarnya ini tugas sekretaris, tetapi Lana enggan saya suruh sendiri ke sini." ucap si ketua BEM terkekeh-kekeh.
Lana mencubit pelan pinggang lelaki itu.
"Betulkah? Apa Bu Pramesti semenakutkan itu, Lana?" Althaf melempar lelucon.
Namun Atlana hanya balas senyum. Althaf benar-benar belum tahu soal perjodohan itu.
Lagipula siapa yang menduga bahwa dosen itu keturunan Widyoseno? Putra sulung dari pebisnis besar yang menyamar menjadi staff dosen kampus. Pantas saja ia menolak hutangnya dikembalikan dengan uang.
Lana selalu mendengus jika teringat "Saya akan tunggu hingga kamu duapuluh satu." Ia ingin memukul ranjang dan menghentakkan kakinya ke udara. Bagaimanapun, ia harus melakukan segala cara untuk gagal menikah.
***
Kamandanu Widyoseno, tokoh besar di balik Tjipta Gelora.
Lana meng-klik video itu. Tak lama, muncul wajah Kamandanu yang terpotret dalam balutan jas. Di internet menjamur berita pria itu mulai dari kisah sukses sampai isu-isu miring.
Kamandanu dikenal sebagai chairman dari Tjipta Gelora Group. Dapat dikatakan, dirinya ikut berkontribusi menjadi penyedia lapangan kerja karena merk rokoknya—Carmont, tak pernah surut reputasi. Dikarenakan demand yang tinggi, mereka sampai mengekspor rokok di beberapa negara Asia Tenggara.
Ck, ck, ck. Apa nggak mumet mengepalai jutaan pekerja tiap hari? Gumam Lana sambil menyeruput es kopi di markas BEM.
Bisnis Danu jauh lebih besar dari bisnis palawija milik Aryo. Dengan total aset segitu, Danu bisa saja memilihkan gadis lain untuk jadi menantu, putri pengusaha tambang minyak misalnya. Mengapa beliau memilihnya untuk menjadi istri Darrel?
Hmm.
Entahlah.
"Pak Armaji sama Bu Faras udah lo telepon?" Brian menginterupsi.
Lana menoleh dan menggeleng. "Mereka kayaknya berhalangan hadir, deh."
"Aduh gimana, sih? Nggak profesional banget."
Siang ini ada agenda interview calon anggota baru. Mereka perlu dua dosen untuk membantu wawancara kandidat. Namun, batang hidung mereka tak tampak juga sampai acara molor 30 menit.
"Kita pilih opsi terakhir, yaitu nginterview kandidat sendiri tanpa bantuan dosen." ucap Brian di depan anggota inti.
Cindy dari departemen Kastrat mencibir, "Udah ngaret, nggak ngasih kabar pula. Kenapa sih, kita kemaren nggak mintol dosen lain?"
"Nggak ada yang bersedia."
"Ya karena insiden konser itu, citra kita di depan dosen meredup." timpal Amar, kepala departemen PSDM.
Namun tak lama, pria berambut uban dan berkacamata itu muncul dari pintu markas. Beliau adalah Pak Armaji yang baru datang sambil menenteng tas kerjanya. Pria ini juga berkata bahwa bu Faras berhalangan hadir. Lalu plot twist-nya dimulai saat beliau berkata, "Maaf lupa mengatakan, saya bawa Pak Althaf sebagai gantinya."
Lana seperti melihat pelangi di malam hari. Jantungnya melambung ke tenggorokan.
Mengapa semesta senang sekali mempertemukan dirinya dengan Althaf, ucap Lana memelas dalam hati.
Di hadapannya ada Althaf—lagi, yang hadir secara mendadak. Rambut klimis dan tubuh tegap berisi otot yang dilapisi kemeja hitam. Ada Casio yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Harum Dior Sauvage-nya dengan lembut menyapa hidung.
Selama proses rekrutmen itu, Lana sebisa mungkin menghindari ruang interview. Ia duduk di bangku registrasi sambil memanggil nama peserta. Namun meski rencananya mulus selama satu jam, realita menjungkirbalikkannya.
Tiba-tiba Brian meminta Lana untuk masuk ke area interview. Lelaki itu bilang, "Tolong gantiin gue bentar, ya? Ada rapat zoom sama FISIP."
Respon gadis itu negatif, "Kenapa malah gue, sih? Ogah."
"Bentar doang! Tuh, di dalem ada Pak Armaji sama Pak Althaf. Nggak mungkin gue tinggal mereka gitu aja, kan?" ucapnya sebelum melayap pergi.
Lana melepas napas beratnya sebelum bergabung ke ruang itu. Dirinya menempati kursi di antara Althaf dan Pak Armaji.
Althaf tengah sibuk melempar pertanyaan wawancara. Kandidat yang baru selesai interview itu mengucap terimakasih sebelum keluar. Lana berusaha fokus menatap skor di lembar penilaian.
Ia berkata pada diri sendiri, mari bersikap profesional karena ada tugas penting yang harus dilaksanakan—
"Menurut kamu gimana kandidat tadi?" Althaf berceletuk.
Lana hampir terjengkang. "Bagaimana…Maksudnya?"
"Kandidat tadi—menurut kamu dia layak masuk BEM?"
"Ah, menurut saya…, dia cukup. Meskipun kurang kritis dan cakap, tapi motivasinya tinggi. Mengingat kurangnya jumlah pendaftar tahun ini, sepertinya dia not bad." Lana menjawab ala kadar.
"Tapi dia minus di communication skill nya. Kamu akan tetap terima dia meski tidak memenuhi standar?"
Untung saja Pak Armaji sibuk memakan snack dan tak terlalu memperhatikan.
"Barangkali iya."
"Meskipun itu dipaksakan, dan berpotensi merusak masa depan kamu?"