Pertemuan Perdana.

1064 Words
Lana merasa familiar dengan lelaki itu. Entah mengapa, pahatan wajahnya mirip seseorang. Alis tebal, ceruk mata yang dalam, dan hidung bangir—jelas seperti Danu, namun juga mirip seseorang. "Nah, itu Darrel. Beri salam dulu, nak!" Danu memberi sinyal putranya untuk duduk. Oh, namanya Darrel. Darrel memiliki tubuh cukup tinggi. Rambutnya kusut basah seperti habis berlari. Ada sebaris tato yang terpatri di lengannya. Darrel menundukkan kepala dengan singkat sebelum melenggang ke kamarnya. "Biasanya jam segini dia ke gym," Danu buru-buru menyela. "Habis mandi pasti dia turun. Mari, diminum lagi kopinya." Gadis itu menghabiskan kopinya dalam beberapa teguk. Menyicip kukis almond sambil mendengarkan obrolan tak penting. Hampir tigapuluh menit berlalu, Darrel belum juga kembali. Danu memerintah salah satu asisten untuk memanggil putranya itu, namun sang bocah menolak turun. Apakah semua keturunan orang kaya memang krisis moral? Atau, attitude buruk ini memang umum di kalangan upper class? Dalam hati, Lana terkekeh. Baguslah kalau cowok itu enggan. "Gimana kalau kamu ke kamarnya Darrel?" Atlana terkesiap. "Maaf?" "Biar diantar sama ART saya ke atas. Kalo nggak dibukain juga, kamu langsung masuk aja." Kamandanu tak bercanda soal ucapannya. Ia ingin jalinan perjodohan ini dipercepat. Dan di luar perkiraan, Aryo justru mendukung putrinya untuk menurut. Alhasil ia memaksakan tubuhnya untuk menuruti permintaan imoral ini. Lana mengikuti seorang asisten rumah tangga untuk ke kamar si tuan muda. Mereka menaiki lift rumah sebelum berbelok ke lorong. Sang gadis berdiri di depan kamar Darrel yang, mungkin saja sekarang tengah telanjang. "Mohon ditunggu, nona." sang asisten paruh baya itu berbalik pergi. Situasi ini seperti déjà vu. Otaknya memutar kilas balik ketika ia berdiri di depan kamar motel. Usai menarik napas, Lana memutuskan untuk mengetuk pintu itu. Jika tak juga mendapat respon, maka ia putuskan akan kembali— "Kenapa nggak masuk?" Darrel muncul setengah telanjang dengan handuk melilit pinggang. Mata yang terbingkai kacamata, serta alis tebal yang mengintimidasi itu menatapnya. "Maaf, aku bakal masuk habis kamu pake baju." Lana menolehkan pandangan. Dih, ucap Darrel spontan. "Aku-kamu, kek kita pacaran aja." "Yaudah, saya tunggu setelah anda selesai." Sang lelaki tergelak. "Kaku banget sih, lo?Santai aja, kali. Masuk, gih!" Lana mengerjap beberapa kali. "Gue pake bajunya di sana, lo nggak usah risau." ucapnya sambil menunjuk walk-in closet. Sekilas Lana menyebar pandangan ke kamar. Atmosfirnya hangat terlepas dari suhu ruang yang dingin. Di samping hal-hal pokok seperti ranjang, nakas, dan office desk, ia paling iri dengan mesin arcade. Ia pasti betah di kamar jika memiliki permainan itu. Seluruh pemasok energi seperti makanan, snacks, bahkan alkohol tersimpan di kulkas mini—ia tahu karena pintunya terbuka. Dinding kamar ini full terbingkai kaca. Ada sepetak kolam renang indoor di seberang kiri. Ia membayangkan diri menikmati sesi renang sore atau sekedar mengambang di atas pool float. Pantas saja papanya ngotot dengan perjodohan ini, monolog gadis itu dalam batin. Ia menatap seisi kota melalui kaca. Lana benar-benar merasa sedang 'di puncak'. "Lo masih virgin?" Lana menoleh dengan cepat. "Ini cara lo kenalan sama orang?" "Ya pengen tahu aja. Gue nggak pengen dapet used item." Kenapa orang bertanya soal status keperawanannya? Itu aneh untuk diucap secara vokal. "Lo nggak berhak nanya kalo lo sendiri udah nggak virgin." Lana menimpal. "Kata siapa gue nggak virgin?" Alah, palsu! "Terserah mau percaya apa nggak." Lelaki berpotongan two block itu duduk di tepi ranjang usai membalut tubuh dengan sweater. Keduanya fokus dengan ponsel alih-alih membangun obrolan. "Bokap lo mau kita saling kenal mulai sekarang." "Gue bisa nyuruh orang buat cek background lo." Lana mengerling. Berbalik menatap Darrel yang sibuk berkomat-kamit sambil memainkan game-nya. "Gue masih virgin." Tangan di ponsel itu berhenti bergerak. Sang pemilik kamar balas menatap. "Dan? Lo mau kita having s*x sekarang?" "No, gue cuma jawab pertanyaan lo yang tadi." tukas Lana. "Gue anak tunggal. Orang yang lo lihat di bawah tadi papah gue, beliau yang maksa buat kesini." "Pfft, udah ketebak." "Papa yang ngotot ngejodohin kita. Alasannya pasti lo udah tahu." ucap Lana kemudian. "Gue cuma nurut biar nggak diusir dari rumah. Biar nyokap gue tetep diakuin sebagai istri." Keadaan berubah menjadi lengang. Dari ekspresi yang terbentuk, tampaknya Darrel tidak siap dengan informasi yang terlalu personal ini. Lelaki itu memandang sekilas tamu kamarnya dengan datar. "Ini juga bukan gue yang mau. Papa janji kasih Revuelto kalo gue setuju dijodohin. Alasan kita mirip." Kalau kau tidak tahu, Revuelto adalah mobil sport yang harganya setara dengan empat ginjal. "Gue masih kuliah," gadis itu mengalihkan topik. "Bukan yang pinter-pinter amat, sih, tapi lebih aktif di organisasi." "Oh, yang biasa demo dan bikin onar gitu?" "Betul, kemarin baru aja gue bikin onar." Reaksi Darrel tak lebih dari senyum kecil, bibirnya sesekali mengumpati karakter di game. Setelah berteriak, "Aaah mati!" lelaki itu menutup game ponselnya dan mengganti posisi. Kini tubuhnya tegak menghadap Lana. "Lo pasti udah tahu kalo gue anak dari istri kedua." Mata Lana tak bisa berbohong. Ia hampir melotot usai menerima informasi itu—nasib mereka ternyata sama. "Oh, belum tahu ya? Sebenernya Papa sempet nikah dulu, tapi istrinya meninggal. Terus nikah lagi sama mami yang jarak umurnya dua puluh tahun." ucapnya. "Jadi gue punya kakak tiri, tapi dia nggak tinggal di sini." "Oh, ya? By the way, gue nggak lihat nyokap lo hari ini." "Masih di Aussie, buat reuni kampus. Dari sana mau langsung ke Thailand buat vacation sama temen-temennya." Tipikal wanita yang sibuk dan hobi bersenang-senang. Lana berani bertaruh nyonya satu ini tipe orang yang menjadikan status 'istri' sebagai formalitas. "Gue paling deket sama kakak gue sih, tapi sekarang dia udah sibuk." "Hmm," Lana manggut-manggut. "Kerja?" "Ya, tenaga pendidik." Oh, wow. Keturunan konglo seperti ini kenapa memilih profesi pendidik? "Dia nggak mau nerusin bisnis. Alasannya klise, dia pengen kerja sesuai passion. Padahal kerjapun dia dibantu sama koneksi." Berjalan di area nakas, Lana menemukan foto yang dibingkai frame putih. Di sana ada dua lelaki remaja yang tersenyum saling rangkul. Salah satunya lebih tinggi, berseragam sekolah dengan tas ransel di bahu. "Nah abang gue yang di foto itu. Foto pas dia masih sekolah." Lana mendekatkan foto itu. Sambil memperhatikan objek dalam foto dengan teliti. Keningnya mengerut. Muncul perasaan tidak asing dengan wajah dalam foto itu. "Hey, Darrel?" "Hmm?" Lana belum lepas dari foto. "Siapa kakak tiri lo?" Ia mulai gugup tanpa alasan. "Kenapa emangnya?" "Jawab aja." Darrel memberi tatapan serius. "Lo kenal?" Jawaban itu membuat Lana berdecak kesal. Mereka beradu tatapan serius. "Jawab aja." "Dia dosen di kampus swasta. Namanya Althaf." Deg. "Althaf Adiputra Widyoseno."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD