Ungkapan cinta Ibra

1075 Words
Di tengah meriahnya acara ulang tahun Nova, Ibra menyela dengan permisi ingin mengatakan sesuatu. Dengan menarik Gia ke tengah-tengah kerumunan, Ibra menekuk satu kakinya seperti di adegan romantis film yang ia tonton. Ibrahim mengeluarkan sebuah cincin yang ia bawa dari rumah dan menunjukkan pada Gia, gadis tercinta nya.   “Gia, mungkin kamu bingung dengan apa yang tengah aku lakukan saat ini. Tapi, dengan penuh pertimbangan, aku beranikan diri untuk melamar mu. Di hadapan teman-teman yang lainnya dan juga sahabat kita Nova, aku ingin mereka menjadi saksi betapa aku mencintaimu. Menikah lah dengan ku Gia, menua bersama ku dan menghabiskan sisa umur bahagia bersama ku.” tatapan tulus Ibra tidak bisa mengalihkan pandangan Gia pada sosok kakak ipar yang tadi ia bawa ke pesta ulang tahun ini.   Namun sebelum mendengar apa yang Gia katakan, banyak teman-teman yang menyerukan untuk menerima. Teriakan dan sorakan itu sungguh membuat telinga Abim memanas, menunggunya mendengar jawaban Gia? Itu konyol. Abim meninggalkan pesta dan membenamkan diri pada minuman di sebuah bar.   Gia yang merasa senang pun menerima tapi dia tidak mengatakan untuk setuju. Hatinya masih tidak bisa menerima meski dia terlihat sangat senang. Entah apa yang di pikirkan oleh gadis itu saat ini, perasaan yang membingungkan sekali.   Di tengah kerumunan, Gia mencari sosok kakak ipar yang tadi ia bawa ke pesta ini. Namun tidak sekali pun ia menemukan batang hidungnya.   “Nyari apa kamu?” tanya Nova yang kala itu tengah membawa makanan di tangannya.   Nova adalah gadis yang tidak memperhatikan dietnya. Tetapi biar begitu badan nya tidak sama sekali mengalami perubahan yang seknifikan. Malah terlihat sangat bagus dan lebih berisi dan terlihat lebih segar.   Sedangkan Ibra seolah tidak bertanggung jawab sekali. Setelah cincin di terima oleh Gia, tidak lama dia meninggalkan tempat pesta. Bukan tanpa alasan, pemuda itu di telfon oleh keluarganya dan di suruh nya pulang karena perusahaan mengalami ketidak stabilan.   “Gak liat kak Sain kamu?” tanya Gia yang terlihat sedikit cemas.   “Oh si Settan tampan itu? Mungkin ke kamar mandi,” jawab Nova santai yang memang tidak memperhatikan lelaki itu ke mana perginya.   Di tengah kebingungan yang di rasakan Gia, ponselnya tiba-tiba berdering. Deretan angka itu tidak ia kenal, ingin rasanya ia mengabaikan panggilan tersebut. Tetapi dia tengah kehilangan seseorang, siapa tau itu orang membawa kabar yang tidak di inginkan.   Benar saja, dari sebrang terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga Gia. Itu suara Ricky, namun kali ini tidak terdengar lagi merayunya seperti biasa ia lakukan. Lelaki itu tampak panik dengan mengabarkan jika lelaki yang di cari Gia tengah berada di bar bersamanya.   “Gi, kamu ke sini deh. Keadaan Abim kacau sekali. Entah sudah berapa botol udah dia minum. Sekarang Abim tidak sadarkan diri.” kata Ricky yang tidak sengaja melihat sahabatnya itu minum sendiri di bar langganan mereka.   Karena memang sudah sangat hafal, Gia langsung menuju ke tempat di mana Abim tepar. Setelah meminta izin ke Nova tentunya.   Tak berapa lama Gia sudah berada di tempat Abim menenggak minumannya. Di sana sudah ada Ricky bersama dengan seorang model yang memeluk pinggangnya posesif. Kehadiran Gia yang sangat cantik itu ternyata seakan memberikan provokasi pada model tersebut. Sungguh tak bisa di bandingkan dengan kecantikan Gia.   “Kamu sudah datang, hmm?” seakan memang menanti, Abim langsung memeluk Gia dan jatuh dalam pelukan itu.   “Bawa pulang saja dia.” seru Ricky pada Gia yang tidak tahan melihat sahabatnya yang kacau seperti ini.   Susah payah Gia membawa kakak iparnya menuju mobil nya. Namun dengan sabar Gia membawa Abim menuju ke kediaman yang juga di tempati oleh keluarga besarnya.   “Non Gia, den Abim kenapa?” tanya pelayan yang membukakan pintu.   “Tau mbak, kesambet penghuni neraka paling. Bantuin bawa ke atas mbak,” Gia sudah tidak kuat lagi menahan beratnya lelaki yang menjadi duda karena di tinggal mati kakaknya itu.   Susah payah Gia dan pelayan itu membawa Abim ke lantai dua, tepatnya di kamar milik lelaki itu. Di luar dugaan, setelah pelayan itu pergi. Abim malah meraih Gia dan menciumnya dengan kasar. Ini jauh dari kebiasaan Abim saat normal. Gia ketakutan karena Abim saat mabuk sudah seperti binatang buas yang tengah mencengkeram mangsanya.   Gia tidak bisa melepaskan diri dari dekapan Abim. Dia hanya berpikir menunggu si pemabuk ini tidur dan segera meninggalkan rumah mewah milik keluarga Husain. Tapi apa yang di pikirkan gadis ini tidak efisien, karena Abim terus menyerangnya dan menariknya hingga ke ranjang nya.   Entah apa yang di pikirkan oleh lelaki itu sampai tega membawa mantan adik iparnya sampai di titik ini.  Tidak ada yang bisa Gia lakukan selain meronta dan berusaha menyadarkan lelaki yang sudah di rasuki oleh binatang buas itu.   “Bang, nyebut. Aku Gia,” mendengar kata lembut nan menyiratkan sebuah ketakutan. Abim membuka matanya dan dengan sedikit berpikir lelaki itu mengucapkan kata. “GIA.”   Mendengar namanya di sebut Gia hanya memelototkan matanya. “Ih, bg banget sih bang? Gia nyuruh nyebut itu bukan nyebut nama ku, tapi astagfirullah.” gerutu Gia sambil memukul pundak Abim yang sudah melingkar di pinggang nya.   “Namanya juga lagi khilaf, aku mabuk mana kepikiran begitu.” setelah mengatakan hal itu Abim merasakan kepalanya semakin berat dan tidur tepat di d**a Gia.   “Sial, bagaimana bisa keluar kalau begini?” gerutu Gia saat merasakan Abim sudah tidak sadarkan diri. Entah itu tidur atau pingsan Gia sudah tidak peduli lagi. Sukur-sukur lelaki itu mati nyusul kakaknya. Eh jangan, kalau mati nyusul kakaknya, nanti Gia siapa dong yang ngasih duit jajan?   Karena merasa kelelahan dan di rasa dia tidak akan bisa keluar dari kungkungan lelaki ini. Gia pun mencari posisi ternyaman untuk ikut memejamkan mata dan mengarungi malam yang melelahkan. Gia pun tidur dan tidak lagi memikirkan bagaimana dia bisa keluar dari kamar ini. Karena dia tau, jika dia tidak akan pernah bisa keluar dari pelukan posesif laki-laki ini.   Gia hanya berdoa semoga dia tidak sampai ketahuan oleh tuan besar Husain, atau orang tua Abim. Selain akan mendapat malu, Gia tidak akan pernah bisa menghadapi mereka di masa akan datang. Ini semua jelas salah Abim karena mabuk dan memeluknya sebegini erat. Ah. Bisa gila rasanya kalau terus berada di posisi ini. Tapi matanya semakin berat dan seperti tersihir oleh alunan lagu tidur.   Dengkuran halus pun terdengar dari keduanya. Kamar dengan lampu menyala terang dan juga pintu terbuka lebar. Bagaimana tidak ada yang menyaksikan? Hanya keduanya saja yang buta akan kenyataan jika ayah dan ibu Abim sudah menyaksikan bagaimana Gia melawan namun gagal.   Senyum orang tua itu ternyata mengembang, dari pada menunjukkan rasa jijik atau risih. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD