2. Ditolak Keluarga Ika

1428 Words
Dea mengetuk pintu rumah Ika. “Assalamualaikum.” Ika membukanya sembari memegang Apple kesayangannya. Bola matanya membulat ketika dilihatnya ternyata yang berdiri di muka pintu ialah Dea yang baru saja dihubunginya. “Dea! Barusan aku telepon kamu, tapi nomor hape kamu enggak aktif.” Dengan lesu Dea menjawab, “Iya Ka, hape aku ditinggal.” “Loh, kenapa? Masuk De!” Raut muka Dea berubah cemas ketika melangkahkan kaki ke dalam rumah Ika yang teramat besar. Sorot matanya awas memandang ke segala arah, seperti ada yang sangat ditakutinya. “Itu kan handphone pemberian tanteku, jadi aku kembalikan.” “Tapi sudah dikasih kan ke kamu?” “Sudah sih, tapi aku merasa enggak enak.” Ika mengangguk-angguk. “Ke atas saja langsung. Aku nungguin kamu loh! Aku kira kamu enggak jadi datang.” Ika membimbingnya untuk sama-sama naik ke lantai dua, namun belum sampai kaki mereka menginjak anak tangga pertama menuju ke lantai atas, Dea menarik tangannya. “Ka.” Ika menatapnya dan Dea ragu untuk bertanya. “Kamu sudah kasih tahu mamah kamu kalau aku mau menginap di sini?” Tiba-tiba terdengar entakan suara perempuan yang membuat mereka terkejut dan menoleh. Disaksikannya oleh mereka mamah Ika tengah berjalan menuruni satu persatu anak tangga dan menghampiri dengan raut muka tidak menyenangkan. “Mah,” Ika nampak bingung, sedangkan mamah Ika menyoroti apa yang Dea bawa. Ransel sekolah menggembung saking banyaknya muatan pakaian yang dibawa dan digendong di punggung serta tas jinjing besar yang dipeluknya. “Teman kamu ini mau menginap di sini?” Tatap mamah Ika kepada putrinya yang terlihat tambah bingung harus menjawab apa. “Iya mah,” katanya pelan dan seperti takut salah. Tetapi apapun dalam pandangan mamah Ika, segala kebaikan yang disodorkan putrinya kepada sahabatnya, Dea selalu dianggap salah dan tidak perlu. Buat apa? Banyak kawan-kawan lain di sekolah yang lebih baik dan memiliki kedua orang tua yang jelas keberadaan dan latar belakangnya, tidak seperti Dea yang … Siapa ibu kandungnya? Di mana dia sekarang? Dan siapa ayah biologisnya? Tak seorang pun yang tahu, bahkan Tante Rita yang dulu mendaftarkan sekolah keponakannya itu sekalipun tidak dapat mengungkapkan kejelasannya. Dea melihat tenggorokan mamah Ika naik turun seperti menelan ludah dan ia tak berani angkat bicara. Ia tahu, bahwa kehadirannya tak diharapkan di sini. Lalu mamah Ika menarik tangan putrinya dan membawanya menjauhi Dea. Mereka bicara di sudut ruangan dan Ika mulai merasa bersalah terhadap sahabatnya itu. Mestinya ia meminta ijin lebih dulu kepada sang mamah bila malam ini Dea akan menumpang menginap. Cuma semalam dan enggak lebih! Tetapi setelah Ika mencoba menghubungi ponsel Dea untuk memastikan ia jadi angkat kaki tidak dari rumah tantenya itu dan didapatinya ponsel Dea ternyata tidak aktif, Ika pun ke luar kamar dan memperhatikan jam dinding yang terpaku di tembok. Sudah tengah malam dan ia kemudian menoleh ke pintu kamar mamahnya. Biasanya jam segini sudah tidur dan papah, bukankah tadi pagi ketika sarapan bersama, papah mengatakan ia akan pulang terlambat, sebab mesti menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang hendak tiba dari luar negeri? Ika berpikir, jika Dea jadi datang ke rumahnya dalam kondisi yang sepi begini, sepertinya akan aman-aman saja bila ia menyelundupkan sahabatnya itu ke dalam kamar tanpa diketahui sang mamah dan besok pagi-pagi sekali, kalau bisa sebelum adzan subuh berkumandang, Dea sudah harus cepat-cepat ke luar lagi dan Ika berniat menyampaikan rencana ini, jika sahabatnya itu sudah berada bersamanya malam nanti. Sepertinya itu tidak akan menjadi masalah dan Dea pasti akan mengerti apa alasan Ika melakukan hal ini kepadanya. Ika tahu, jika Dea dari dulu sudah bisa merasakan respon tidak baik yang selalu dilayangkan mamah Ika kepadanya. Ika juga sering meminta maaf kepada Dea bila mamahnya bermuka masam dan bersikap acuh saat sedang berhadapan dengan Dea yang tetap santun dan menjaga nilai-nilai etika terutama ketika bersama yang lebih tua. Akan tetapi apa yang direncanakan dan dibayangkannya bakal tetap baik-baik saja ternyata justru kebalikan. Mamah Ika memergoki kedatangan Dea, Dea terkejut lebih-lebih dirinya, dan suasana kini menjadi sangat tidak nyaman bagi ketiganya. “Kenapa kamu enggak bilang sama mamah kalau Dea mau datang dan menginap di sini? Sengaja mau menyembunyikan?” Ika memelankan volume suaranya agar tidak terdengar oleh sahabatnya, akan tetapi Dea paham sekarang dan ini juga sudah menjadi bagian dari jawaban atas pertanyaannya barusan. Ternyata Ika belum menyampaikan kepada mamahnya mengenai rencana kedatangannya malam ini. “Enggak mah. Ika tadi mau ngomong, tapi Ika pikir mamah sudah tidur.” “Kalau kamu niat, kamu kan bisa kasih tahu mamah lewat telepon atau mengirimkan pesan.” “Iya mah, maaf. Pulang les sore tadi Ika capek banget dan langsung tidur, jadi enggak sempat mengabari mamah. Waktu mamah pulang juga kan Ika enggak tahu.” “Enggak mungkin kamu enggak tahu Ika! Jangan coba-coba membohongi mamah. Setelah bibi memasukkan pakaian kamu yang sudah disetrikanya ke dalam lemari pakaian, mamah sempat kasih tahu bibi kalau papah kamu itu pulang malam, jadi tidak perlu ditungguin. Kunci saja pintu depan, karena papah sudah bawa kunci sendiri. Lalu mamah masuk kamar dan enggak lama kamu ke luar kamar kan? Mamah dengar kok dari dalam kalau kamu nanya sama bibi mamah sudah pulang belum.” “Iya, Ika pikir mamah sudah mau langsung istirahat dan Ika enggak mau ganggu mamah.” “Alasan!” “Benaran mah. Ika ngobrol sama Dea baru siang tadi di sekolahan. Kalau rencana ini sudah dari kemarin-kemarin, Ika juga ngomong sama mamah papah.” Mamah Ika melipat kedua tangannya di d**a sembari menyoroti tajam Dea. Gadis remaja itu merunduk dan kalau ia punya pilihan lain untuk menginap di tempat lain malam ini, ia akan memilihnya. Daripada menyaksikan hubungan Ika dan sang mamah menjadi buruk dan menciptakan suasana tak ramah kepada mereka dan itu semua akibat kedatangan dirinya sebagai tamu tak diundang! Dea jadi merasa bersalah. Kalau bukan karena kehadirannya, mungkin Ika dan sang mamah akan tetap baik-baik saja. “Dia diusir oleh tantenya?” mamah Ika menduga dan ternyata keliru. “Bukan diusir. Dea sendiri yang mengambil keputusan untuk pergi. Dia ingin hidup mandiri.” Ika menoleh sekejap kepada sahabatnya yang tetap bergeming di tempat dan ia semakin merasa bersalah. Ia berjanji akan meminta maaf kepada Dea setelah ini. “Ingin mandiri, tapi kok numpang.” “Cuma semalam mah. Kasihan Dea. Ika janji, besok pagi kami berangkat sekolah bersama dan sepulangnya dari sekolah, mamah enggak akan lagi melihat Dea ada di sini.” “Apa? Berangkat sekolah bersama?” Mamah Ika nampak terkejut dan ia geleng-geleng kepala. “Enggak. Kalian berangkat masing-masing. Keenakan dia dong, numpang mobil mewah kita. Biarkan saja dia jalan kaki atau naik angkutan umum lain. Kamu jangan terlalu baik sama dia. Anak yang orang tuanya enggak jelas dan tumbuh di bawah pengawasan orang lain, kebanyakan menyimpang dan pergaulannya bebas.” “Mamah jangan ngomong kayak begitu dong! Belum tentu Dea senegatif yang mamah kira. Dea itu paling pintar di kelas dan semua guru serta teman-teman tahu itu.” “Mamah enggak peduli! Mau dia pintar, punya prestasi, tapi kalau kenyataan latar belakang orang tuanya saja enggak jelas, pasti hidupnya ke depan juga enggak bakal jelas dan bisa membawa pengaruh buruk terhadap kamu!” “Mah, Ika mohon, malam ini saja biarkan Dea menginap di sini. Ika janji, besok dia enggak akan lagi ke sini apalagi sampai bermalam di sini.” Mamah Ika terdiam dan ia mulai berpikir. Kalau sampai ia tidak membuka pintu lebar-lebar bagi Dea malam ini dan gadis itu ke luar dalam keadaan limbung tanpa tujuan mau ke mana, lalu di tengah jalan dia ditimpa musibah, kasihan juga. “Cuma semalam?” Mamah Ika akhirnya memberikan toleransi dan Ika mengembangkan senyuman tak menyangka. “Iya mah, Ika janji cuma semalam.” Mamah Ika berlalu dan saat melintasi Dea hendak menaiki anak tangga, ia acuh tak acuh. Ika mengekor di belakangnya sambil menarik nafas dalam dan mengembuskannya cepat. Rasa gelisah ikut terlepas seketika. “De, maaf ya atas sikap mamahku barusan,” katanya dengan raut muka penuh penyesalan. “Enggak apa-apa Ka. Aku maklum kok. Tapi kenapa kamu enggak bilang dulu sama mamah, minta ijin kalau aku mau menginap semalam?” “Mamah baru pulang dan ini saja baru sempat ketemu setelah pagi tadi sarapan bersama.” Terpaksa Ika berdusta untuk melindungi perasaan sahabatnya itu agar tidak bertambah luka. Dea berusaha mengembangkan senyuman, walau perasaannya masih terasa berat. “Sini aku bawain,” Ika meraih tas jinjing besar yang masih dipeluk Dea, namun Dea menolak bantuan sahabatnya itu. Ia tidak mau Ika dimarahi lagi oleh ibunya atas kebaikan yang diberikan kepadanya. “Enggak usah De. Biar aku saja. Bisa kok.” “Ya udah, yuk!” Ika berjalan lebih dulu dan Dea membuntut di belakangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD