bc

Identitas

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
BE
family
opposites attract
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Ketika masa remaja dipertaruhkan untuk semua pengorbanan dan luka. Ke mana kaki akan berpijak?

Rita membesarkan kedua keponakannya dengan penuh cinta. Ia seperti menemukan obat penyembuh lukanya akibat kehilangan dua orang yang amat berarti dalam hidupnya secara tragis. Tetapi Dea memilih pergi untuk menemukan ibu kandungnya yang menurut kabar ialah seorang w***********g.

Rita menyewa jasa seorang lelaki muda untuk mencari di mana keberadaan keponakannya.

chap-preview
Free preview
1. Memilih Pergi
“Pergi, ayo pergi! Anak bau kencur masih SMA seperti kamu mana bisa bertahan hidup sendiri! Kamu itu harusnya bersyukur, tante masih mau menerima kamu setelah apa yang dilakukan oleh ibumu dengan mencoreng nama baik keluarga. Nikah cerai, berhubungan badan sampai empat kali itupun yang ketahuan dan dari semua lelakinya itu, lahir satu-persatu anak, termasuk kamu. Masih untung tante mau mengurus kamu dari kecil. Sekarang tinggal kamu nurut apa kata tante. Jangan melawan! Jangan seperti ibumu yang tidak tahu diuntung dan bisanya cuma menyusahkan keluarga! Kalau orang tua kami masih ada saat itu, mereka pasti akan sangat menyesal, karena telah melahirkan anak perempuan macam ibumu!” bola mata Rita membulat nyalang menantang keponakannya yang berdiri menunduk di hadapan. “Jangan bawa-bawa ibu tante.” “Memang kenyataannya begitu dan menyaksikan tingkah laku kamu sekarang membuat tante jadi teringat lagi akan kelakuan ibumu. Kamu persis seperti dia. Cerminannya!” Tante Rita melipat kedua lengannya di d**a dan berbalik membelakangi Dea yang siap pergi dengan menggendong tas ransel di punggung. “Tapi tante harap kamu tidak benar-benar meniru dia menjadi lonte.” Mendengar pernyataan tantenya, perasaan Dea serasa dibakar amarah. Nada bicaranya langsung meninggi. “Tante!” “Kenapa? Memang benar ibumu itu perempuan jalang. Bergumul dengan laki-laki, hamil, dan setelah berpisah, dia tinggalkan anak-anaknya yang tidak berdosa termasuk kamu. Bahkan dua lelaki di antaranya tidak satupun yang tahu apakah mereka pernah menikah atau tidak. Lalu apa sebutan yang pantas untuk perempuan macam itu?” Tante Rita berbalik badan dan memicingkan mata. “Kamu sendiri sebetulnya membencinya bukan? Menyesal telah dilahirkan, makanya setelah sebesar ini, setelah kamu mengerti dan paham akan semuanya, kamu melampiaskan kekesalan terhadap takdir dan perlakukan ibumu dengan berbuat sekehendak hati tanpa memikirkan tante yang selama ini telah mengurus dan membesarkanmu.” Bulir air mulai menggenangi kelopak mata Dea. Kalimat yang diucapkan oleh tantenya sangat menusuk jiwanya. Membuatnya tergoncang. Ia sadar, bahwa itu adalah sebuah kebenaran yang nyata dan kali ini Dea tidak dapat membohongi perasannya sendiri. Hancur. Luluh lantak. Ia benci terhadapnya. Kepada perempuan yang telah membesarkan selama sebelas tahun lamanya. Dimulai ketika Dea masih berusia lima tahun dan sengaja diantarkan oleh sang ibu, lalu dititipkan dengan dalih akan bekerja ke luar negeri dan berjanji akan mengirimi uang setiap sebulan sekali, namun apa yang terjadi? Dea kecil yang kini telah menjelma menjadi gadis belia tak kunjung mendapatkan kabar mengenai ibunya, bahkan sang tante yang selama ini mengurus meminta ia untuk melupakan perempuan itu. Tak perlu berharap lebih dengan menunggu kedatangannya yang mungkin bakal terjadi, jika Tuhan sedang berbaik hati memberikan keajaiban kepada ia. Tetapi siapalah ia? Manusia yang sama dengan lainnya. Berlumuran dosa dan tak pandai bersyukur dan apakah Tuhan tetap mau memberikan kesempatan untuk mengabulkan doa-doanya? Sementara dari balik pintu kamar, Bela yang merupakan adik tiri Dea menguping sambil berderai air mata. Pelan-pelan Bela membuka pintu dan disaksikannya Tante Rita mendekatkan wajah ganasnya ke hadapan Dea. Jarak pandang mereka dekat sekali, hingga dengusan nafas Tante Rita terhirup oleh Dea. Bicaranya amat menekan. “Kalau tante tidak kasihan kepada kamu dan adikmu, mana mungkin tante mau menerima kalian di sini dan menanggung semua risikonya.” Telunjuk Tante Rita mengarah ke kamar Bela, membuat gadis yang berbeda hanya tiga tahun dengan Dea itu langsung menarik lagi kepalanya ke dalam. Takut ketahuan. “Bela yang sengaja dimanfaatkan oleh keluarga bapaknya, tante rebut dari tangan neneknya. Tante enggak peduli dia anak haram atau bukan. Yang jelas, tante enggak bisa tinggal diam seorang anak kecil diperlakukan seperti babu. Lantas bapaknya ke mana? Pergi? Mati? Tante juga enggak peduli! Yang tante pedulikan adalah bagaimana caranya agar kalian dapat bertahan hidup dengan layak tanpa kekurangan apapun dan tanpa harus bekerja banting tulang. Apa kamu masih keberatan dengan hanya dihadapkan pada satu permintaan itu?” Dea bergeming. Air matanya mengalir dan ia menyekanya. “Maaf tante, Dea sudah mengambil keputusan. Dea akan tetap pergi dari sini. Maaf kalau selama ini Dea sudah banyak merepotkan tante.” Dea meraih tas jinjing besar di dekat kakinya dan hendak melangkah ke luar. Namun belum sampai kakinya menuju pintu rumah, Bela berlari mengejarnya. Memeluk dan berkata lirih. “Kak, kakak mau ke mana? Kakak jangan pergi.” Dea menelan liurnya. Ia memejamkan mata dan sekali lagi bulir air menetes membasahi pipinya. “Bel, kamu di sini baik-baik ya. Dengar apa kata Tante Rita. Jangan melawan dan buatlah ia bangga. Kakak enggak bisa menjadi seperti apa yang Tante Rita inginkan dan kakak harap, padamulah semua harapan dan cita-cita Tante Rita dapat terwujud.” “Kakak jangan pergi. Nanti Bela sama siapa di sini? Bela enggak punya siapa-siapa lagi selain Kak Dea.” “Bel, kakak tetap harus pergi. Kakak ingin segera bisa menemukan ibu. Kakak ingin membuktikan sendiri kalau sebenarnya ibu itu tetap sayang pada kita dan ibu pasti terpaksa berpisah dari kita.” Tak sanggup lebih lama menatap kedua kakak beradik itu, Tante Rita pun menyongsong tingkap jendela. Melempar pandangan ke luar. Malam yang pekat dan sunyi. “Bela ikut,” pintanya dengan nada memohon. “Enggak bisa Bel. Kamu enggak bisa ikut kakak. Tetapi kakak janji, kalau suatu saat kakak sudah mendapatkan tempat tinggal dan kakak sudah bisa mencari uang sendiri, kamu boleh ikut kakak.” “Tapi Bela enggak mau jauh dari kakak. Enggak mau pisah dari kakak. Bela mau kok ikut kerja apa aja asal bisa terus bersama kakak.” “Bel, kamu ini masih SMP. Belum bisa untuk bekerja. Kamu belum pantas untuk mencari uang. Nanti kalau kamu sudah sebesar kakak, kamu boleh bantu kakak. Tapi untuk saat ini, kakak mesti melakukannya sendiri dan kakak janji, kalau kakak sudah mendapatkan tempat tinggal meskipun itu sepetak, kakak akan datang ke mari untuk membawamu.” “Bela sudah kehilangan ibu dan bapak. Bela enggak mau kehilangan Kak Dea.” Isak tangis Bela kian pecah dan lengannya yang melingkari tubuh Dea semakin menguat. “Kamu enggak akan lagi kehilangan, kakak janji.” “Dulu ibu juga berjanji akan menemui dan membawa Bela lagi, tapi nyatanya enggak.” “Bel, tolong ijinkan kakak untuk pergi. Cuma ini satu-satunya cara agar kakak bisa bekerja mencari uang. Kakak ingin mengumpulkan uang yang banyak agar bisa menemukan ibu.” Tante Rita menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan. Tanpa menengok, ia berkata, “Sudahlah Bel, biarkan Dea pergi. Ia sudah yakin dengan keputusannya.” Mendengar suara Tante Rita yang terkesan seperti sebuah teguran, Bela tak berani menentang. Ia merenggangkan pelukan dan menatap dalam kakaknya. “Terus dari sini nanti kakak mau ke mana?” “Ika. Sementara malam ini kakak tidur di sana. Tadi kakak sudah menghubungi dia. Oh ya tante, ini ponsel yang pernah tante kasih, Dea taruh di sini ya. Di atas meja.” Dea meletakkan batang ponsel yang barusan dikeluarkan dari saku bajunya di meja sebelah. “Kakak enggak bawa handphone? Terus kalau Bela mau menghubungi kakak bagaimana?” “Kan kakak sudah bilang, kakak janji akan kembali lagi ke sini untuk membawamu setelah kakak sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri.” Tatap Dea sembari membelai rambut adiknya dan ia mengalihkan pandangan kepada tantenya. “Tante, titip Bela ya.” Sekali lagi Dea menatap dalam adiknya. “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab Bela dengan bibir yang bergetar menahan tangis. Dea mulai melangkahkan kakinya ke luar dan saat Bela hendak mengejarnya lagi, Tante Rita telah lebih dulu menghalanginya. “Tutup pintunya Bela!” Dengan langkah gontai ia menyeret kedua kakinya ke arah pintu dan sebelum ia menutupnya, ia menyaksikan sang kakak tengah bergerak menjauh, menghampiri kegelapan jalanan. Nyaris ditelan pekat malam. Tenang, pasti, dan dengan perasaannya yang koyak moyak dan Bela tahu itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook