Bab 4

1763 Words
"Apa yang membuatnya berusaha bunuh diri?" tanyaku. Setengah gila mendengar kabar yang baru saja kuketahui. Nina terbatuk ringan. "Menurut cerita yang Nina dengar dari perawat-perawat lain, dia berusaha bunuh diri karena pacarnya memutuskannya lalu menikah dengan gadis lain." "Singkat sekali jalan pikiran gadis ini. Hanya karena permasalahan cinta saja," komentarku tanpa mampu menutupi emosi. Kenapa sih ada saja orang-orang yang sebodoh itu? Membuang-buang nyawa dengan seenaknya sementara orang lain berjuang keras untuk bertahan hidup. Padahal dia adalah seorang gadis yang cantik. Aku yakin masih banyak pria yang bersedia menjadi kekasihnya. Ternyata cinta bukan hanya bisa membahagiakan tetapi juga bisa menjadi racun dalam hidup manusia. "Menurut kabar, dia juga seorang pemurung yang tidak punya teman. Dia sangat pendiam. Pantas saja dia sebodoh itu. Ibunya pun baru saja melahirkan jadi tidak bisa menjaga dia seharian. Ayah tirinya yang bekerja di Canada terpaksa cuti kerja karena masalah ini. Sementara ayah kandungnya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Kerabat almarhum ayah yang di Korea tidak diketahui lagi kabarnya. Ibu Yu Ri stress sekali dan si bayi juga sakit-sakitan. Perbuatan seperti itu hanya menyusahkan diri sendiri dan semua orang saja." Nina menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Yu Ri tidak senang. Tidak terbayangkan olehku sudah berapa orang yang mencaci makinya. Gadis yang malang. Dia memang bodoh tapi kita akan semakin jahat jika hanya bisa menghina orang yang terkena musibah. Bagaimana pun dia hanya seorang gadis yang kesepian. Tidak ada yang tahu apa saja sebenarnya yang terjadi pada Yu Ri. Entah bagaimana bisa gadis secantik itu tidak menjadi popular di lingkungan dan juga tidak memiliki teman. Tentu dia sangat mencintai kekasihnya sampai-sampai ingin menghabisi nyawa sendiri. Karena itulah dia terlihat seperti habis menangis berhari-hari sewaktu di stasiun. Typical wanita yang setia dan naif. "Apa dia sering ditinggal sendiri seperti ini?" "Ya, begitulah. Ibunya tidak bisa terus menerus menjaganya disini. Kebetulan dia tidak punya saudara lagi selain bayi kecil itu. Keluarga dari pihak ibu juga kelihatan tidak begitu peduli. Semuanya sibuk dan hanya menjenguk sesekali. Kadang-kadang ayah tirinya yang datang bergantian menjaga. Tapi sekarang ayahnya harus berangkat lagi ke Canada. Para perawat yang menjaga Yu Ri. Nina salah satu yang bertugas untuk memijat Yu Ri setiap dua jam sekali agar otot-ototnya tidak kaku," jawab Nina. "Kasihan gadis itu." Nuraniku berkata bahwa gadis itu sangat menderita. "Apa hasil pemeriksaan dokter tentang dirinya? Apa dia akan segera sadar dan sembuh?" "Wah. Kelihatannya abang perhatian sekali sama dia. Tapi Nina tidak begitu mengetahui tentang kondisinya. Yang Nina ketahui hanya bahwa dia sedang koma. Biasanya sih pasien yang sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup... ehm..." Nina menggigit bibir dan tidak melanjutkan kata-kata. Aku memang tidak ingin mendengar lanjutannya. Seolah semua hal yang menyedihkan belum cukup untuk dirasakan. "Nina, boleh abang menjenguknya?" "Hah? Abang mau menjenguk Yu Ri?" "Ya. Abang ingin melihat kondisinya. Kamu mau membantu abang kan?" Aku tersenyum kepada Nina. "Tolong temani abang," Nina terdiam agak lama kelihatan mempertimbangkan sesuatu yang sulit. Lalu dia mengangguk dan mengajakku memasuki kamar Yu Ri. Jantung terasa berdebar semakin kencang. Perasaan yang kurasakan sesaat di stasiun itu hadir kembali meradang. Yu Ri sangat cantik. Rasa sakit seperti apapun tampaknya tidak dapat menghapus kecantikannya. Poni yang tersusun rapi di dahi gadis itu menggugah. Sepertinya ibu Yu Ri baru saja menyisirkan rambutnya. Kulit putih berkilau di bawah biasan cahaya matahari. Dia seperti boneka yang paling cantik yang bahkan mengejutkan penciptanya sendiri betapa cantik dan indah hasil karyanya. Hanya ada satu yang hilang. Rona merah di pipi menghilang. Nina mempesilakanku duduk di dekat Yu Ri lalu dia melangkah menjauh dariku dan berdiri di pintu. Matanya mengawasiku tapi senyuman di wajah melegakanku. Aku mengangguk kepada Nina penuh rasa terima kasih dan berpaling lagi pada Yu Ri. Kamarnya biasa-biasa saja. Tidak ada buah-buahan, roti, makanan, bunga di meja, atau benda-benda cewek lainnya seperti boneka atau bantalan pink. Mungkin sedikit konyol. Aku sering melihat benda-benda seperti itu di kamar pasien wanita. Setidaknya beberapa teman-teman wanita yang pernah kujenguk. Yang ada di kamar itu hanya sebuah biola putih dan sebuah sapu tangan putih bermotif bunga mawar merah yang diletakkan di atas meja. Wah. Biola itu mungkin miliknya. Mau tidak mau aku mulai mengkhayalkan Yu Ri memainkan biola dengan senyuman di wajah. Tetapi sulit sekali membayangkan ia tersenyum. Aku tidak tahu bagaimana rupanya ketika sedang tersenyum. "Halo," sapaku kepada Yu Ri yang sedang terbaring di ranjang. Gadis itu bergeming. "Namaku Devon Bruno. Aku dirawat di rumah sakit yang sama denganmu dan kamarku berada tepat di sebelahmu. Usiaku dua puluh enam tahun dan aku seorang guru komputer. Zodiak Aquarius dan warna kesukaanku adalah hitam dan putih. Aku tidak tahu apakah kamu bisa mendengarku atau tidak, tapi aku sangat berharap kamu bisa mendengarku. Aku hanya tahu namamu Song Yu Ri. Harus kukatakan padamu bahwa namamu sangat indah," ujarku tanpa peduli sudah seberapa bodoh kelihatannya aku. Entah mengapa aku yakin aku tidak sedang berbicara sendiri. Selain Nina, seperti ada orang lain yang mendengarku walaupun dia tidak bisa merespon perkataanku. Bisa saja firasat kali ini benar. Aku melirik sapu tangan putih yang terletak di meja. Ada sulaman yang membentuk huruf-huruf dengan indah. Song Yu Ri. Aku tertawa pelan. "Ternyata namamu seindah wajahmu. Song Yu Ri. Aku tidak pernah mendengar nama seperti itu di dunia ini." Aku terdiam memandangi wajah Yu Ri. Dalam keadaan tidak sadar saja dia sudah membuat hati ini berdebar-debar. Membuat gila dan seolah lupa akan segalanya. "Mungkin kamu tidak mengingat atau bahkan sama sekali tidak mengenaliku. Aku melihatmu di stasiun kerepa api di Medan kira-kira seminggu yang lalu untuk yang pertama kalinya. Saat itu kamu memakai gaun hitam yang sangat indah dan cocok denganmu. Kamu hanya seorang diri dan tampak terlalu diam. Tidak ada ekspresi di wajahmu dan tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirmu. Aku terus memandang tapi kamu tidak menoleh sedikit pun ke arahku. "Yu Ri, kamu gadis yang sangat mempesona. Belum pernah aku melihat gadis seperti kamu sebelumnya. Maafkan jika aku lancang. Tetapi apa yang kukatakan ini benar-benar tulus dan datang dari lubuk hatiku. Kuharap kamu percaya. Sumpah, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku yakin kau adalah seorang gadis yang baik. Lalu mengapa kau melakukan semua ini? Mungkin kamu memang sangat menyayangi kekasihmu yang telah pergi itu. Tapi bukan berarti kamu harus menghukum dirimu seperti ini. Sekali lagi aku minta maaf jika aku lancang dan ikut campur urusanmu. Aku tidak ingin kamu menyia-nyiakan apa yang telah diberikan padamu. Sementara diluar sana banyak orang yang susah payah ingin bertahan untuk hidup. Bisakah kamu belajar untuk mengikhlaskan segalanya yang telah terjadi dan mulai menata hidupmu kembali menjadi lebih baik? Pergunakanlah waktu yang kamu miliki dengan sebaik-baiknya dan bahagiakan orang-orang yang menyayangimu. "Yu Ri, aku sangat berharap kamu segera sembuh. Banyak hal yang bisa kamu lakukan. Salah satunya mungkin adalah berkenalan denganku. Jika aku beruntung, mungkin kita bisa jalan dan saling menghibur masing-masing. Kita bisa banyak bercerita. Kamu bisa memainkan biola itu untukku. Aku bisa lebih mengenalmu dan kamu juga bisa lebih mengenalku. Dan yang pastinya, kamu bisa melihat wajah orang yang sangat mengagumimu ini." Suara derap langkah Nina membuatku menoleh ke arahnya. Nina memandangku bingung. Aku melambaikan tangan meminta waktu sedikit lagi. Kukeluarkan handphone-ku dari saku celana dan mulai menyetel sebuah musik. Sebuah gubahan musik yang sangat indah dan kusukai. Musik ciptaan paman Ardian yang sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kangker hati. Dia seorang musisi yang juga mahir melukis. Satu-satunya seniman dalam keluargaku. Seniman idolaku. Decressendo 99 adalah judul dari gubahan pamanku. Sebuah melodi permainan duet biola dan piano dengan dinamika ritme irama lembut. Melodi itu juga yang menjadi saksi betapa dulu semasa hidupnya paman sangat mencintai seorang wanita bernama Elisa. Wanita yang membuatnya patah hati selamanya karena dipaksa orangtuanya menikah dengan pria lain. Angka 99 menurut paman adalah pengungkapan atas cinta yang memiliki berbagai rasa. "Teman, akan kuberitahukan tentang 99 rasa cinta. Cinta antara manusia yang kelam dan tak terelakkan. Di saat kau bahagia, kau juga akan tenggelam seketika dalam kesedihan. Seolah hidupmu tak akan pernah menjadi milikmu lagi. Seolah jiwamu tak akan pernah tenang lagi. Cemburu akan memakan jantung dalam kerlap-kerlip hangatnya kemesraan. Hatimu akan dipenuhi kunang-kunang yang bercahaya indah dengan cinta kekasihmu. Namun kau juga akan mati dalam rindu dan patah karena banyak penyesalan. Sebentar kau arang jelaga, sebentar kau bunga yang indah di surga Firdaus. Begitu sakit tapi tak dapat ditinggalkan, karena pada saat itu kau akan mati dalam hidup." Itulah syair paman yang dituliskan dalam sebuah catatan harian miliknya dan tak akan pernah kulupa. "Ini musik kesukaanku. Setiap mendengarnya, rasanya jiwaku menjadi lebih tenang dan bahagia. Kamu bisa mendengarnya, Yu Ri? Ini sangat indah. Jangan bilang kamu tidak bisa mendengarku dan juga musik ini. Aku tahu kamu bisa. Kamu hanya terlalu takut untuk bangun lagi. Ayolah bangun, gadis baik." Aku mendengar suara tawa Nina. Lalu Nina menyuruhku untuk segera kembali ke kamarku sebelum ibu Yu Ri kembali atau dokter dan perawat lain melihatku. Aku beranjak berdiri tanpa menolehkan pandangan sedikit pun dari Yu Ri. "Aku harus pergi sekarang dan kembali ke kamarku, tapi aku berjanji akan datang lagi menjengukmu. Cepat sembuh." ujarku sebelum pergi meninggalkannya dan kembali ke kamarku. Nina masih senyam-senyum memandangku. "Ternyata Bang Devon romantis sekali ya. Nina tidak menyangka abang akan seperti itu pada Yu Ri. Kenapa tidak bilang daritadi kalau abang pernah bertemu dengannya sebelumnya?" tanya Nina. Dia terus saja menghujani dengan pertanyaan tampak heran dan kagum padaku. "Abang memang pernah sekali melihat Yu Ri. Tapi dia tidak menyadari keberadaanku," sahutku. "Oh ya, Nina mengerti. Sekarang abang istirahat ya." Nina tersenyum maklum. Sebelum pergi dia merapikan kamarku sebentar. "Nina, terima kasih banyak ya," ujarku saat Nina sudah di pintu. "Sama-sama," sahut Nina. "Bisa abang minta bantuan Nina lagi?" "Silakan. Nina senang bisa membantu abang," "Tolong jangan ceritakan masalah ini dulu pada orang lain dan abang minta tolong jaga Yu Ri selagi ibunya tidak ada. Sebisa mungkin jangan biarkan dia seorang diri." Nina mengangguk lalu pergi meninggalkanku yang hanyut dalam lamunan. Hari ini terasa aneh sekali. Hari yang sangat berbeda dari biasanya. Pertama, bertemu Mika dan menyadari perasaan khususnya padaku. Kedua, bertemu dengan Song Yu Ri gadis yang pernah kulihat di stasiun dengan segala keanehan hidupnya. Dan anehnya, aku juga mendadak akrab dengan Nina yang barusaja kukenal. Aku tidak tahu kenapa aku begitu mempercayainya. Dia sendiri adalah teman Mika. Hah. Hidupku yang mulai aneh. Malam ini aku tidak bisa tidur. Pikiran dan hatiku seolah sudah tertinggal di kamar itu. Di kamar tempat Yu Ri sedang berbaring. Yu Ri telah mengambil semuanya dan hanya meninggalkan kegelisahan padaku. Aku berbaring sambil memandangi dinding kamar. Aku dan Yu Ri berada sangat dekat. Kami hanya terpisahkan oleh dinding itu. Kesan manisnya masih membekas. Wajahnya bagaikan telah terlukis di mataku. Aku melihatnya ketika menutup dan membuka mataku. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD