Sinar matahari menyusup perlahan dari jendela. Pagi telah datang menyapa. Namun ingatan mimpi indah tadi malam masih membekas di benak. Kilasan mimpi itu terus berputar-putar.
Yu Ri dalam mimpiku sedang duduk di pinggiran danau. Kabut tebal menyelimutinya. Hawa dingin merasuki yang berdiri memandang dia terpaku. Lalu ia menoleh ke arahku. Senyuman menghiasi wajah yang seperti lukisan. Lama kami saling bertatapan. Dan tanpa disangka-sangka Yu Ri berjalan mendekat dengan bunga mawar merah di tangan sambil tersenyum manis. Dia membiusku dengan pesonanya ketika ia jatuh ke pelukan. Kabut semakin tebal dan mimpi itu menghilang. Hanya senyumannya yang terlihat samar-samar. Mimpi indah yang telah berhasil membuat diri ini semakin penasaran pada gadis itu.
Aku masih terus memikirkannya saat bersiap-siap untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Ibu memandang cemas tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Sebelum pergi, aku melihat ke arah kamar Yu Ri. Dia masih belum tersadar dan itu membuat cemas. Ibunya duduk di dekatnya membaca majalah. Rasa lelah terpeta jelas di wajah wanita itu. Hati ini berat untuk meninggalkan Yu Ri apalagi setelah mimpi tadi malam.
Namun bagaimana pun aku harus pulang. Jika aku bekeras ingin terus berada di samping Yu Ri, ibunya akan bingung. Aku akan semakin merepotkannya yang sudah ditimpa banyak masalah.
Sejauh ini, Nina juga menepati janji kepadaku untuk menjaga Yu Ri. Meskipun itu memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang perawat. Bagaimana pun Nina istimewa dan peka. Tanpa diceritakan dengan jelas pun ia dapat mengerti perasaan khususku kepada Yu Ri dan memakluminya alih-alih menganggapku aneh.
Beberapa hari menghabiskan waktu di rumah setelah dirawat di rumah sakit ternyata tidak banyak membantuku untuk melupakan Yu Ri. Aku mulai bosan dengan berbagai acara di televisi. Tidak ada acara yang menarik. Ibu juga melarangku untuk membantunya mengerjakan tugas rumah. Lalu kuputuskan untuk menjenguk Yu Ri lagi. Kami dua orang yang kesepian dan aku ingin berbagi kebahagiaan yang masih tersisa di hidupku.
***
Aku berada di kamarnya lagi sore ini seperti adegan yang diulang kembali. Ia masih diam seperti biasa. Meskipun ada yang berbeda dengannya hari ini. Semburat merah di pipi muncul lagi menambah kecantikannya. Dia sudah terlihat tidak terlalu pucat dari sebelumnya. Bagus. Mungkin kondisi Yu Ri semakin membaik.
Nina memperhatikanku dari pintu seperti kemarin hanya saja sekarang dia menyediakan sebuah kursi untuk dirinya. Aku tersenyum bahagia atas kebaikan Nina. Entah apa yang ada di pikiran Nina yang jelas dia sangat baik.
Aku meletakkan satu buket bunga mawar merah yang kubawakan khusus untuk Yu Ri di meja. Mawar yang indah seperti yang muncul sesaat di mimpiku dalam genggaman tangannya. Warna merah itu mengingatkanku dengan rona indah di pipi Yu Ri. Jarang sekali aku melihat gadis yang memiliki rona merah seperti itu. Mungkin hal itu jugalah yang menandakan bahwa Yu Ri gadis yang istimewa.
“Halo lagi, Yu Ri. Aku Devon Bruno. Kamu kelihatan lebih baik hari ini. Seandainya kamu bisa terbangun sekarang, kamu bisa melihat bunga mawar yang kubawakan untukmu. Warnanya mengingatkanku dengan pipi merahmu. Sangat indah.” Aku menatap pipi Yu Ri. Tubuhnya hangat. Getaran semakin kuat kurasakan di hatiku. Nina berjalan mendekatiku. Di tangannya ada sebuah vas bunga yang berisi air. Diambilnya buket mawar kemudian menyusunnya ke dalam vas dan diletakkan kembali ke atas meja.
“Terima kasih,” bisikku kepada Nina.
“Sama-sama,” ucap Nina.
Aku memandang Yu Ri lagi. “Aku selalu mendoakanmu. Aku berharap kamu akan segera sembuh dan melanjutkan hidupmu dengan bahagia. Mungkin aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bersamamu, tapi aku ingin memanfaatkannya sebisaku. Kuharap kamu menyukai music box ini. Maafkan aku karena hanya ini yang bisa kuberikan untukmu. Semoga kamu menyukainya. Dan musik ini jika kamu masih mengingatnya, ini musik kesukaanku. Jiwaku ada di musik ini.” Aku meletakkan musik box yang sengaja kuhadiahkan untuk Yu Ri di meja. Sebuah music box yang bagus dengan sepasang boneka kekasih yang berdansa di dalamnya diselubungi kaca. Aku membelinya kemarin sepulang dari rumah teman. Lantunan musik akan terdengar setiap kali menekan sebuah tombol di sampingnya. Lantunan musik yang sangat familiar di telinga karena sering terdengar di beberapa musik box. Aku mengganti musiknya dengan musik kesukaanku. Cressendo 99. Mungkin Yu Ri akan menyukainya.
“Bang Devon.” Nina menepuk pelan bahuku. Aku menoleh ke arahnya.
“Ya?”
“Ibunya memberitahu Nina, seminggu lagi Yu Ri akan berulang tahun.”
“Hah? Seminggu lagi? Ulang tahun yang keberapa?”
“Dua puluh dua.”
Ya Tuhan. Gadis ini akan berulang tahun. Dia berulang tahun tepat saat dia sedang koma dan dirawat di rumah sakit. Dan tepat di saat kekasihnya telah pergi meninggalkannya. Kasihan Yu Ri.
Sudah beberapa hari aku membayangkan wajah laki-laki yang telah meninggalkannya. Semuanya masih menjadi teka-teki bagiku. Entah ada sesuatu yang begitu aneh dari Yu Ri atau memang laki-laki itu memang merasa bosan padanya dan berpaling pada gadis lain. Aku tidak tahu dan rasanya ingin sekali tidak terlalu mempedulikan alasannya karena yang terpenting adalah kesembuhan Yu Ri.
“Yu Ri, aku harus pulang sekarang. Aku berjanji besok akan datang lagi menemuimu. Kamu harus lebih baik dari sekarang.” Aku menatap hentaian bulu matanya. Mengharapkan sebuah gerakan yang bahkan sangat kecil sekali pun. Lalu berusaha untuk ikhlas lagi. “Baiklah. Aku pamit pulang.” aku bangkit dan melangkah pergi meninggalkan Yu Ri bersama Nina. Empat hari lagi Yu Ri berulang tahun dan aku sudah memikirkan rencana untuknya.
***
Beberapa hari ini telah kulewatkan dengan merawat diriku dan juga menjenguk Yu Ri di sorenya. Aku sudah mulai terbiasa menyeduh teh herbalku sendiri. Dan menjaga Yu Ri semampuku. Pekerjaan sederhana seperti mengelap tangannya dengan kain hangat, menyanyikan lagu untuknya, membacakan doa-doa di telinganya, dan menghiburnya dengan kata-kata yang aku sendiri heran ketika mendengarnya keluar dari mulutku.
Ingatan tentang Yu Ri terus menghantuiku saat di rumah dan dimana saja. Gadis itu telah mengubah hidupku dengan pesonanya. Yu Ri adalah sebuah kebahagiaan di dalam hidupku yang suram. Dia yang mampu membuatku tersenyum ceria untuk yang pertama kalinya. Dan senyumku itu malah membuat hati ibu resah. Seolah hal apapun yang kulakukan serba mencurigakan. Ingin sekali rasanya aku mengatakan pada ibu bahwa aku bahagia di tengah rasa frustrasi yang tidak putus-putus. Tapi aku tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menceritakan tentang seorang gadis kepadanya.
Ayah datang ke kamarku malam ini dengan senyuman aneh di wajahnya. Situasi yang agak kaku karena ayah tidak pernah lagi masuk ke kamarku sejak umurku tujuh belas tahun. Pandangan Ayah berkeliling menyusuri kamarku dan cukup lama memberi perhatian pada foto-fotoku bersama teman-teman sementara aku mulai menebak-nebak apa yang akan diucapkannya. Tentu dia punya alasan yang kuat datang ke kamarku malam ini.
“Devon, kamu tidak mau pergi berlibur?” tanya Ayah.
Aku menarik napas perlahan. ”Rencananya sih begitu, yah. Ada teman yang mengajakku pergi berlibur ke Berastagi bulan ini. Tapi belum pasti kapan.”
“Berastagi ya?” Ayah berdeham. ”Bagus. Berastagi tidak terlalu jauh.”
“Ya.” Aku mengangguk setuju.
Ayah memandangku untuk beberapa lama. Tubuhku terasa kaku. Biasanya ayah bersikap lebih cuek daripada ibu. Tapi sekarang aku terpaksa harus berpura-pura tidak menyadari tatapan khawatirnya yang meng-Exrayku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Devon.” Ayah tersenyum seraya memegang bahuku. ”Kakakmu, Sarah, kemarin dia menelepon ayah. Katanya, jika kamu mau, ada pekerjaan yang bagus untukmu.”
“Pekerjaan apa, Yah?”
“Mengajar kursus komputer. Sebuah pusat pelatihan pendidikan komputer di Medan membutuhkan seorang tenaga pengajar. Kakakmu mempunyai teman yang juga mengajar di sana. Sarah langsung mengajukanmu dan yakin kamu akan diterima. Pekerjaan yang sama sekali tidak melelahkan dan cocok untukmu. Hanya tiga kali pertemuan dalam seminggu selama dua jam. Ayah kira kamu akan senang mengajar disana. Gajinya lumayan dan yang terpenting kau tidak akan merasa bosan,” jelas Ayah.
“Wah. Terima kasih,” sahutku tanpa dapat menyembunyikan rasa gembiraku.
“Jadi kamu mau?”
“Ya, tentu saja,” jawabku. Ayah memang sangat mengerti aku. Bekerja adalah salah satu cara untuk membuatku terhibur dan aku juga tidak bisa seperti ini terus menerus tanpa kegiatan dan uang. Sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan karena itu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Namun di Medan ....
“Di mana alamat pusat pelatihan itu, Yah?”
“Kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah kakakmu.”
“Rumah kak Sarah cukup jauh darisini. Itu berarti ....” Kebahagiaan yang sesaat tadi kurasakan perlahan menghilang berganti dengan sebuah keraguan. Ayah menghela nafas panjang sepertinya juga merasakan hal yang sama denganku.
“Devon, akan lebih baik kalau kamu mau tinggal bersama kakakmu di Medan jika kamu diterima mengajar di sana. Selain tidak perlu repot-repot pulang pergi dari Binjai ke Medan, kamu juga bisa lebih dekat dari tempat perobatan alternatifmu di Medan. Sarah dan suaminya akan menemanimu berobat dan mengantarkanmu bekerja. Semua akan lebih mudah,” lanjut Ayah.
“Jadi Ayah dan yang lainnya sudah merencanakan semua ini,” kataku. Itu pernyataan bukan pertanyaan.
“Nak, jangan sedikit pun kamu berburuk sangka. Ayah tidak bermaksud untuk menyuruhmu menjauh dari Ayah dan Ibu. Hanya saja, jika dipikir-pikir hal ini ada baiknya untukmu saat ini. Selama ini kau pasti merasa bosan tanpa kegiatan. Nah, kebetulan ada lowongan untukmu di Medan. Kalau kamu mau tinggal bersama kakakmu di Medan, itu tidak hanya menguntungkanmu dalam satu hal,” ujar Ayah bernada membujuk.
“Baik. Apa yang Ayah bilang memang benar, tapi apa kak Sarah dan suaminya tidak merasa keberatan jika aku tinggal bersama mereka?”
“Sarah sendiri yang meminta agar kamu tinggal bersamanya di Medan. Dia menyayangimu dan kamu pasti tahu itu. Dia berjanji akan menjagamu.”
“Bagaimana dengan bang Fauzi? Apa dia tidak keberatan?” Aku masih belum yakin. Wajah Bang Fauzi, suami kakakku, melintas di pikiranku. Sosoknya yang tidak banyak bicara dan jarang tersenyum meresahkanku. Aku memang belum pernah membuat masalah sekecil apa pun dengannya dan kakak juga sangat baik padaku, tetapi menumpang tinggal bersama saudara bukanlah hal yang mudah. Awalnya mungkin semua akan baik-baik saja namun aku jelas tidak bisa menjamin hal itu.
Entah seyakin apa kak Sarah mengatakan bahwa dia akan menjagaku. Aku tahu bagaimana kesibukannya sehari-harinya. Selain harus menjaga kedua anaknya yang masih kecil, dia juga sibuk menjaga butik usaha keluarganya.
Sementara suami kak Sarah bekerja sebagai karyawan di sebuah Bank. Kedua anaknya laki-laki. Anak pertamanya berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan yang bungsu baru kelas tiga. Rumah mereka adalah sebuah ruko berlantai tiga yang di depannya merupakan butik usaha keluarga. Mungkin kamarku ada di lantai tiga jika aku tinggal disana. Aku berusaha keras untuk menyingkirkan pikiran bahwa aku benar-benar seorang yang terasing.
“Bagaimana Devon? Apa kamu masih perlu waktu untuk memikirkannya? Jangan lama-lama lagi. Jika kamu mau, Sarah dan Fauzi akan datang menjemputmu besok,” kata Ayah.
“Besok?”
“Tidak perlu ragu. Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Ini hanya untuk sementara. Ayah juga akan mencari info pekerjaan yang cocok untukmu di Binjai. Kalau sudah ada yang jelas, kamu bisa kembali lagi ke sini.” Ayah masih berusaha membujukku dan aku dapat melihat sinar ketulusan di matanya. “Saat kondisimu sudah semakin membaik, kamu bisa kembali mengajar sepenuhnya lagi seperti dulu,” timpalnya. Kalimat terakhir Ayah terdengar sangat kaku. Kami berusaha untuk tidak saling berpandangan. Aku tahu pasti bahwa kata-kata: Saat kondisiku semakin membaik itu, tidak hanya menyakiti hatiku tetapi juga hatinya. Tidak ada seorang pun diantara kami yang tahu pasti.
Aku terdiam untuk beberapa lama hanyut dalam pikiranku. Besok. Itu bukan waktu yang lama. Dan aku tahu ada hal lain yang memberatkan hatiku. Ada sesuatu yang akan terjadi lusa nanti. Ulang tahun Yu Ri. Mengingatnya membuatku bahagia sekaligus sedih. Kenyataan bahwa aku akan pergi meninggalkannya membuat hatiku sakit. Tetapi aku juga tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku harus mencari jalanku sendiri. Sebenarnya aku memang aneh. Yu Ri bukanlah siapa-siapa bagiku seberapa besar pun pesona yang dihadirkannya di hatiku. Aku sendiri tidak tahu apakah ia menyukaiku atau tidak. Dia bahkan tidak menyadari kehadiranku. Akulah yang seenaknya berusaha masuk ke dalam hidupnya dengan kepercayaan diri yang tidak seharusnya. Yu Ri hanya sebuah mimpi bagiku.
“Baiklah, Ayah. Tolong sampaikan kepada kak Sarah aku akan menunggunya lusa,” ucapku. Ayah tersenyum dan menepuk bahuku pelan lalu beranjak pergi meninggalkanku.
***