Bab 6

1714 Words
Dunia yang terbentang di sekelilingku kini terasa sangat berbeda. Sebulan berada di Medan terasa bagaikan embun yang menyegarkan hati yang terluka. Kak Sarah benar-benar menjagaku sesuai dengan janjinya. Tidak ada satu hari pun terlewatkan tanpa jamuan teh herbal seduhannya. Kak Sarah adalah seorang koki yang terbaik. Dia memasakkan berbagai menu hidanganku menjadi lebih menarik dan lezat dengan bakat dan kreativitasnya. Tempe goreng saja bisa membuatku ketagihan. Sementara Bang Fauzi mengantarkanku pergi kerja dan kemana saja. Aku tidak pernah merasa kesepian disini. Semua berkat keluarga kakakku dan juga pekerjaan baruku. Mungkin memang benar apa yang selalu dikatakan teman-temanku bahwa aku memiliki bakat untuk membuat orang lain menyukaiku. Murid-murid di pusat pelatihan komputer tempatku bekerja sangat ramah dan bersahabat membuatku merasa tidak kehilangan sesuatu apa pun dari kehidupan karirku dulu. Benar-benar menyenangkan. Semangat hidupku yang sebelumnya sudah kehabisan stock sekarang telah terisi lagi hingga setengahnya. Diam-diam aku menyesal karena dulu terlalu takut dan berprasangka buruk dengan keluarga kak Sarah. Berada di Medan ternyata bukanlah sebuah momok yang harus ditakuti bahkan sebaliknya. Ayah memang bijaksana. Hari ini aku libur bekerja dan juga tidak ada jadwal untuk berobat. Aku sudah membuat janji bertemu dengan Temmy yang khusus datang dari Batubara dan mengambil cuti untuk menghabiskan dua hari mengunjungiku. Rencananya kami akan menonton film berformat 3D di Medan. Sebuah film yang kami sukai sejak SMU yang dulu ditayangkan secara berseri sekarang difilmkan. Setelah itu Temmy ingin membeli gadget terbaru. Intinya, jadwal hari ini adalah untuk bersenang-senang bersama Temmy. Karena alasan-alasan itulah sekarang aku berada di stasiun kereta api untuk menyambut kedatangan Temmy. Stasiun kereta api lagi. Masih melekat sebuah memori dalam benakku yang tidak terlupakan. Di stasiun ini lah aku telah melihatnya untuk pertama kalinya. Bayangan Yu Ri hadir kembali dalam ingatanku. Nuansa kemisteriusan dan kecantikannya yang tiada duanya. Aku sangat bersyukur mendengar kabar terbaru dan juga terakhir dari Nina tentang Yu Ri tepat tiga hari setelah aku berada di Medan. Ia sudah sadar dari komanya. Dokter mengatakan bahwa kondisinya semakin membaik dan ibunya berencana untuk membawanya pulang untuk dirawat di rumah. Selain kabar bahwa Yu Ri sudah sadar aku tidak tahu lagi karena Nina sudah berangkat ke Surabaya. Tapi Nina sangat yakin bahwa Yu Ri sudah semakin membaik. Hanya cedera di kakinya yang mengkhawatirkan. Gadis itu juga masih belum mau berbicara dan masih shock. Wajar saja. Itu karena dia belum pulih benar dari kecelakaan mencekam yang dialaminya. Kecelakaan yang disengajanya. Sebuah tindakan bodoh telah menghadiahkannya sebuah cedera disalah satu kakinya cukup parah. Dokter memberitahu bahwa ia mengalami patah tulang dan besar kemungkinan akan mengalami cacat permanen. Aku berharap gadis itu diberikan kesabaran. Bagaimana pun Yu Ri telah melewati masa-masa kritisnya dan itu adalah suatu hal yang harus sangat disyukuri. Yu Ri sudah sadar dan telah terlepas dari bayangan maut. Dia akan melanjutkan hidupnya lagi. Aku berusaha kuat untuk tidak memikirkannya terus tapi rasa penasaran terus mengrongrongku. Yu Ri yang cantik akan berjalan lagi seperti yang kulihat di stasiun. Dia bergerak, mengerjap-ngerjapkan matanya, bicara, dan tersenyum. Hanya beberapa waktu lagi setelah proses pemulihannya berhasil, semua hal itu akan terwujud. Yu Ri yang benar-benar hidup. Siluet-siluetnya mulai membayangiku. Latarnya berubah. Bukan lagi sebuah kamar di rumah sakit. Dia tidak akan lagi berbaring di ranjang dengan tubuh kaku dan mata terpejam. Hah. Aku tidak boleh terus memikirkannya. Sebuah pesan dari Temmy masuk ke handphone-ku yang mengatakan bahwa sebentar lagi keretanya akan segera tiba di stasiun Medan. Aku mengutak atik handphone dan membaca kembali beberapa pesan dari teman kerja dan murid faforitku bernama Rendy dan tersenyum geli. Merekalah yang mengisi hari-hariku sekarang dan memenuhi memori handphone-ku dengan pesan-pesan penuh canda. Sama sekali tidak ada wanita spesial. Hanya beberapa murid perempuan yang dekat denganku dan Mika. Miris rasanya membaca nama Mika yang berjejer di inbox pesan. Gadis itu sangat rajin mengontakku. Semua pesan yang dikirimkannya berupa rasa cemas dan berbagai rangkaian kata-kata aneh. Aku membalas pesannya tiga kali dalam seminggu atau tidak sama sekali. Hanya Mika saja yang menghubungi lebih dulu. Aku juga selalu menghindarinya setiap kali berkunjung pulang ke rumahku di Binjai. Menyelinap-nyelinap jangan sampai gadis itu melihatku datang. Syukurnya adikku Shirly sangat sportif. Walaupun Mika adalah sahabatnya, tapi dia jauh lebih menghormati keputusanku. Bukannya kejam tapi aku hanya ingin dia mengerti. Ini lebih baik daripada dia mendapatkan sesuatu yang tidak tulus dariku. Tepat lima belas menit kemudian wajah Temmy sudah mengisi pandanganku. Senyum ceria khasnya memulai hari yang menyenangkan ini. Belum ada satu jam beristirahat di rumah kakakku, Temmy sudah memaksaku untuk segera pergi nonton. Dan aku tahu benar bagaimana wataknya. Kalau sudah menginginkan sesuatu, dia tidak ingin ada sesuatu apapun yang menghalanginya. Filmnya seru sekali dan Temmy telah membeli gadget keren dan canggih yang lumayan mahal. Dia juga membelikanku sebuah Nitendo Xbox seri terbaru walaupun aku menolaknya berkali-kali. Akhirnya karena kekerasan kepalanya aku bersedia menerima hadiah itu. Temmy memang memiliki taraf ekonomi yang jauh diatasku dan sedari dulu tidak pernah mempermasalahkan apa-apa denganku, tapi tetap saja hati ini merasa segan. Malamnya ketika pulang ke rumah kak Sarah, sesuatu yang buruk telah terjadi. Kak Sarah dan anak bungsunya, Andi, mendapat kecelakaan. Sebuah mobil yang melaju kencang dengan ugal-ugalan menyerempet sepeda motor yang dikendarai kak Sarah yang berboncengan dengan anaknya. Mereka jatuh terpental dan Andi mendapat luka di bagian keningnya. Yang lebih menyakitkan hatiku lagi, kak Sarah dan Andi mengalami kecelakaan sepulang dari apotik membeli sari kurma untukku. Apakah kehadiranku disini juga membawa musibah kepada yang lainnya? Luka mereka memang tidak parah dan tidak perlu dirawat di rumah sakit tapi tetap saja hatiku sakit menerima musibah ini. Setiap kali melihat Andi yang kepalanya dibalut perban namun masih tertawa-tawa menyambut kedatanganku dan menyerukan candaannya, aku merasa sangat bersalah. Aku kesal sekali karena Kakak tidak mengabariku dengan alasan tidak ingin membuatku resah selama bepergiaan dengan Temmy. Dia juga menyakinkanku bahwa mereka baik-baik saja seraya menyodorkan sari kurma kepadaku. “Kenapa jadi begini?” Tubuhku terasa lemas luar biasa dan aku hanya bisa duduk memandangi Andi di sudut ruangan. Anak itu tidak henti-hentinya tersenyum kepadaku sambil bermain dengan helikopter barunya. Temmy berusaha menghiburku dan aku berusaha menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja seperti yang dilakukan kak Sarah. Bang Fauzi mendatangiku. Ditepuknya bahuku pelan seraya tersenyum. “Jangan cemas, Devon. Kalau sudah naas kapan saja bisa terjadi. Kamu jangan berpikiran yang bukan-bukan, ya.” “Aku tidak ingin terlalu merepotkan Kakak dan Abang sampai seperti ini. Kak Sarah tidak perlu sampai repot-repot menyediakan semuanya untukku. Aku masih bisa membeli segala keperluanku dan mengurus diriku. Maaf, Bang, aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Abang dan Kak Sarah, tapi aku hanya tidak ingin kejadian seperti ini terjadi karena aku.” “Sudah Abang katakan, ini hanya sebuah naas saja. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Kamu sama sekali tidak bersalah,” kata Bang Fauzi. Kak Sarah mengangguk. Aku hendak menyuarakan kesedihanku lagi tapi Kak Sarah memintaku agar masuk ke kamarku karena dia ingin menemani Andi tidur. Aku menurutinya dengan hati masih gelisah. Memang benar apa yang dikatakan bang Fauzi bahwa jika sudah naas datangnya tidak disangka dan juga bisa terjadi kapan saja. Namun aku jelas tidak bisa menerimanya begitu saja. Aku tetap menganggap diriku si trouble maker. Sejak aku sakit, tidak ada satu orang pun yang tidak kubuat resah. Ibu, ayah, Shirly, juga kak Sarah dan keluarganya. Ke mana saja aku pergi sepertinya akan selalu membawa kesedihan untuk orang lain. Malam ini aku terjaga dan mendapatkan sebuah kekecewaan untuk yang kesekian kalinya. Belum cukup dengan penderitaanku selama ini. Temmy berusaha menghiburku dan usahanya cukup berhasil. Selain humoris dia juga bisa menyentuh hatiku dengan kata-kata penyemangatnya. Kesedihan ini terus berlanjut selama berminggu-minggu. Kak Sarah akhirnya menyerah berpura-pura baik-baik saja. Setelah kecelakaan itu, dia jatuh sakit. Meski begitu dia tetap mengerjakan tugas-tugasnya serta merawat Andi yang juga sedang sakit. Akhir-akhir ini Andi lumayan rewel. Dia tidak bisa masuk sekolah dan menjadi sangat bosan di rumah. Ibunya adalah orang yang paling lelah dibuatnya. Perlahan-lahan aku mulai mengerjakan semua keperluanku sendiri seperti memasak teh herbal dan menu hidangan sehatku. Semuanya kembali seperti dulu. Aku tidak bermaksud untuk mengeluhkan situasi ini. Hanya saja jika dipikir-pikir aku selalu saja kehilangan di saat baru saja mendapatkan sedikit kebahagiaan. Baik Kak Sarah ataupun Bang Fauzi, tidak ada yang menyalahkanku. Namun suasananya mendadak jadi aneh. Mereka selalu tersenyum padaku namun sesekali kutangkap senyuman yang berbeda pada mereka. Sekali lagi aku merasa sorotan mata seseorang terkadang tidak bisa berbohong walaupun dia tersenyum. Sampai akhirnya aku menyadari kenyataan dan kebenarannya. Suatu malam tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kakakku dan suaminya di dapur, awalnya hanya bisik-bisik tidak jelas lalu menjadi pembicaraan yang agak emosional dan cukup untuk didengar dalam jarak empat meter. Apa yang dikatakan mereka menghancurkanku. Intinya, aku sudah mulai menyusahkan mereka. Bang Fauzi dalam bulan-bulan ini mendapat tugas extra dan kesulitan membagi waktu untuk mengantarkanku kerja dan menemaniku berobat. Sementara Kak Sarah harus menjaga Andi yang sedang sakit. Mereka juga pusing memikirkan butik mereka yang semakin sunyi pengunjung. Rencananya dalam waktu dekat kak Sarah akan pergi berbelanja busana terbaru ke Jakarta tapi aku lah yang menjadi bahan pertimbangannya. Sekali lagi mereka tidak menyalahkanku tapi keluh kesah itu membuatku sedih. Setelah lama bertahan di Medan tinggal bersama keluarga Kak Sarah dengan ditekan rasa bersalah, aku mendapat kabar sedih lainnya. Ibu sakit. Sakit karena merindukan dan mencemaskanku. Dia tidak berselera makan dan menolak meminum obat apa pun. Hanya namakulah yang disebutnya tiap malam dalam tidurnya. Jelas saja aku tidak tahan dengan keadaan ibu yang seperti itu. Lalu kuputuskan untuk kembali lagi ke Binjai. Kak Sarah dan yang lainnya sangat terkejut dan merasa bersalah. Mereka berusaha menyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa aku harus pergi. Tapi aku tahu itu tidak bisa dijamin seperti dugaanku. Ibu tetap yang paling utama. Hanya Ibu yang satu-satunya yang akan menjadi sandaran hidupku yang sesungguhnya. Keputusanku sudah bulat. Kutinggalkan semua yang telah kudapat di Medan. Pekerjaan, keluarga Kak Sarah, teman-teman baru yang baik, dan segala hiburan yang disajikan kota itu. Aku pun kembali kepada ibuku tercinta. Sepulang ke rumah, Ibu yang sedang sakit dengan Shirly dan Mika di sampingnya, tersenyum ceria dan berusaha menggapaiku. Aku langsung memeluknya. Ternyata memang akulah obat yang menyembuhkan sakit Ibu. Perlahan kondisi Ibu semakin membaik dan Mika menjadi semakin dekat dengannya. Tidak heran. Selama Ibu sakit, setiap hari Mika datang menjaganya bersama Shirly. Gadis yang baik. Namun hatiku masih belum merasakan sedikit getaran pun. Hatiku hanya rindu kepada satu orang wanita saja. Dia yang hanya akan terus tersembunyi di hatiku. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD