My Dog, 02

3005 Words
JAKARTA, 2XXX   Gadis itu menyisir rambutnya serampangan, membiarkan rambut pendek selehernya tampil apa adanya tanpa dihiasi apa pun. Lantas dia bergegas menyaut tas selempangnya, menyampirkan di bahu dan berlari meninggalkan kamarnya.  Masih berlari-lari kecil, dia mengambil sepatu flat hitamnya yang tertata rapi di rak sepatu.  Dia nyaris memegang kenop pintu namun urung saat mengingat sesuatu.  “Haduuh, rotinya ketinggalan,” ujarnya, terburu-buru melepas sepatunya dan berjalan ke arah dapur. Dia mengambil sepotong roti bakar yang sudah dia bakar dan diolesi selai stroberi sebelum mandi tadi. Gadis itu kembali berjalan tergesa-gesa untuk memakai sepatunya, dan kali ini benar-benar membuka pintu kamar apartemennya. Setelah mengunci pintu apartemen dari luar, dia berlari menuju lift. Dilihatnya pintu lift nyaris tertutup, dia semakin mempercepat larinya.  “Ah ... tolong tunggu!!” teriaknya, pada beberapa orang yang berada di dalam ruangan lift. Beruntung seseorang menahan tombol agar pintu lift tetap terbuka. Alhasil gadis itu masih sempat untuk bergabung bersama mereka.  “Terima kasih,” ucapnya, pada sosok pria yang berbaik hati menahankan pintu lift untuknya.  Aneila Anggun Ramania itulah nama gadis tersebut. Biasa dipanggil Ane. Seorang gadis dewasa yang tahun ini menginjak usia 21 tahun itu terbilang baru satu minggu menetap di Jakarta. Di Rose Building Apartemen lebih tepatnya. Dia awalnya menetap di Kota Indramayu dan baru merantau ke Jakarta setelah tiga bulan yang lalu dirinya dinyatakan lulus dari salah satu Universitas tempatnya menuntut ilmu. Jika bukan karena kebaikan tetangganya yang membawanya ke Apartemen ini, entah dimana Ane akan tinggal di Ibukota. Dirinya merupakan anak rumahan yang tidak pernah meninggalkan kota kelahiran sebelumnya.  Hari ini, hari pertama Ane berangkat ke tempat kerja. Dua hari yang lalu dirinya mengikuti interview di salah satu perusahan besar, beruntung dirinya diterima.  Ane mencoba mengatur napasnya yang masih terengah sembari menggigit roti bakar di tangan kanan yang tadi belum sempat dia makan.  Ane menoleh ke samping kiri, tersenyum saat mendapati seorang wanita paruh baya menatap dirinya.  “Sarapan, Bu.” Ane menawarkan dengan ramah. Si ibu mengangguk disertai senyum, mempersilakan Ane melanjutkan makannya. Tak membutuhkan banyak waktu, roti bakar itu berhasil berpindah tempat ke dalam perutnya.  Gadis ini terbilang memang ramah pada semua orang. Berkepribadian ceria dan menyenangkan. Meski sebenarnya dia juga ceroboh dan pemalas. Itulah salah satu alasan dirinya nyaris terlambat di hari pertamanya berangkat bekerja.  Pintu lift terbuka lebar ketika tiba di lantai dasar gedung apartemen bertingkat 35 lantai tersebut. Kamar apartemen Ane terletak di lantai 20. Dia menghela napas lega karena akhirnya tiba di lantai tujuannya.  Dengan terburu-buru dia berjalan meninggalkan gedung apartemennya. Banyak taksi yang berderet di depan gedung apartemen, bisa saja Ane menaiki salah satunya untuk mengantarkannya ke kantor, namun Ane tak melakukan itu. Dia memilih berjalan menuju halte bus yang memang tak terlalu jauh dengan gedung apartemennya.  Irit dan tidak boleh boros serta harus rajin menabung merupakan moto hidupnya.  Ane sudah bersiap menaiki jembatan penyeberangan menuju halte jika saja telinganya tak mendengar suara ribut dari arah jalan raya. Bahkan suara seorang wanita yang menjerit histeris ikut tertangkap indera pendengarannya.  Rasa penasaran Ane mengambil alih akal sehatnya, mengabaikan waktunya yang mepet dan nyaris terlambat, Ane pun bergabung dengan kerumunan orang-orang di pinggir jalan. Ane menerobos melewati kerumunan orang untuk melihat apa gerangan penyebab keributan ini terjadi.  “Ya ampun, kasihan banget anjing itu.” “Lagian sih ngapain tuh anjing ke tengah jalan?”  Suara bisik-bisik terdengar, Ane terus menerobos hingga akhirnya dia bisa melihat apa yang terjadi. Kedua matanya terbelalak mendapati seekor anjing berwarna putih nan lucu tengah tergeletak di jalan raya. Kakinya berdarah. Rasa simpati seketika bercokol di benak Ane.  Di saat lampu merah menyala dan semua kendaraan berhenti, tanpa pikir panjang Ane berlari ke tengah jalan. Dia mengambil anjing yang tergeletak itu, mendekapnya dalam pelukan tak peduli meski darah anjing itu mengenai blazzernya.  “Masih ada waktu 30 menit lagi. Masih keburu,” gumamnya, setelah melirik sekilas pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.  Untuk kesekian kalinya Ane berlari, kali ini tujuannya bukan halte bus melainkan gedung apartemennya. Dia merasa iba pada anjing dalam dekapannya itu, dia akan mengobati lukanya, setelah itu baru akan melanjutkan perjalanannya ke kantor.  Setelah Ane akhirnya tiba di kamar apartemennya. Dia bergegas ke kamar mandi. Mencuci luka si anjing, mengolesi betadine pada luka dan membungkusnya dengan perban. Beruntung dia sudah menyiapkan peralatan obat-obatan untuk jaga-jaga di apartemennya. Meski ceroboh, untuk urusan kesehatan dan menyediakan alat pertolongan pertama selalu dia prioritaskan. Nasihat kakak perempuannya yang seorang dokter, tak pernah dia abaikan.  Anjing itu diam, tak melakukan perlawanan apa pun ketika Ane merawatnya.  “Ya ampun, matamu indah sekali,” ucap Ane, saat kedua matanya bertatapan langsung dengan iris si anjing yang berwarna biru laut.  “Kamu lucu banget sih. Nama kamu siapa?” tanya Ane, seolah dirinya mengerti bahasa binatang.  Si anjing tentu tak menjawab, sebaliknya dia membuang muka seolah tak sudi bertatap muka dengan Ane lebih lama lagi. Ane tertawa melihatnya.  “Kamu anjing yang sombong ya,” katanya, sambil cekikikan. “Aku pengin nemenin kamu di sini, tapi aku harus berangkat kerja dulu. Nanti sepulang kerja aku ganti perbannya ya.” Ane meletakkan si anjing di kasur empuknya dengan perlahan. Dia tak takut tempat tidurnya menjadi kotor karena ulah si anjing. Tapi jika ditelisik dengan seksama, anjing itu memang bersih dan terlihat terawat.  “Apa dia anjing peliharaan seseorang ya? Badannya bersih, gak kotor kayak anjing liar.” Ane bergumam sendirian. “Duuh, bukan waktunya mikirin anjing, Ane. Berangkat kerja ... berangkat kerja ...” katanya, mengingatkan dirinya sendiri.  Ane berjalan menuju lemari, secepat kilat mengganti blazzernya yang terkena darah si anjing dengan blazzer yang baru.  Ane yang baru ingat dirinya harus segera berangkat kerja melesat begitu saja meninggalkan tasnya yang tergeletak di lantai.  Guk ... Guk ... Guk  Gerakan tangan Ane yang nyaris memutar kenop pintu kamar itu pun terhenti, dia menoleh ke belakang mendengar anjing yang sejak tadi terdiam akhirnya mengeluarkan suaranya.  Anjing putih itu mengangguk-anggukan kepala seolah menunjuk ke arah lantai dengan dagunya. Ane mengernyit bingung pada awalnya. Namun, ketika dia ikuti arah yang ditatap si anjing, seketika dia tersadar.  “Aduh, tasnya ketinggalan,” ujarnya heboh. Dia berlari untuk menyampirkan tas selempang itu di bahu.  “Kamu pinter banget ya,” puji Ane pada si anjing seraya tangannya sibuk mengelus puncak kepalanya. Si anjing beringsut mundur sambil mengibaskan tangannya terlihat tak suka dengan perlakuan Ane padanya. Ane kembali terkekeh. Baru pertama kali melihat anjing selucu itu.  “Aku pergi dulu ya. Kamu tidur aja, nanti sore kita ketemu lagi.” Ane berjalan mendekati pintu. “Daaah ... doggy,” ucapnya, sebelum menghilang di balik pintu.  Dia tak tahu, ya tidak akan pernah tahu si anjing yang sebenarnya seorang putra mahkota yang terkena kutukan itu sedang mendengus tak suka padanya.  ***   Karena menolong si anjing dan jalanan yang macet, meski Ane sudah menaiki taksi untuk mengantarnya ke kantor. Dia tetap datang terlambat. Baru tiba di kantor satu jam dari waktu jam kerja dimulai.  Ane meringis, jantungnya berdetak cepat saat dia harus menghadap ketua divisi keuangan dimana dia ditempatkan.  “Maaf, Pak. Saya terlambat. Tadi jalannya macet,” ucap Ane, takut-takut. Wajahnya tertunduk dalam. “Jalan macet sudah jadi sesuatu yang biasa di Jakarta. Lain kali kamu berangkat lebih pagi lagi supaya bisa datang tepat waktu. Hari ini saya maklumi, jangan diulangi untuk kedepannya.” “Baik, Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi,” jawab Ane cepat. Pria berperawakan tinggi yang diperkirakan berusia 40 tahunan itu mengangguk sebagai respon.  “Ya sudah, silakan kembali ke meja kerjamu.” “Baik, Pak. Terima kasih,” sahut Ane. Dia bergegas meninggalkan ruangan sang kepala divisi. Mendesah lega ketika dirinya sudah keluar dari ruangan itu.  Ane melangkah menuju meja kerjanya, namun urung saat telinganya mendengar suara seseorang memanggilnya. Ane menoleh, melempar senyum saat menemukan seseorang yang dia kenal berdiri di belakangnya.  “Pagi, Kiran,” sapanya ramah.  Gadis dewasa berusia 23 tahun itu bernama Kiran, dia memutar bola mata bosan saat mendengar sapaan ramah nan ceria dari Ane. “Pagi katamu? Ini sudah siang. Kamu tahu kan kantor masuk jam 8, kamu malah datang jam 9. Gimana sih?” “Maaf, Kiran. Tadi jalannya macet.” “Tiap hari di Jakarta emang macet. Jangan disamain kayak tempat tinggal kamu yang masih kampung itu dong. Ini kota besar ya, macet itu hal biasa!”  “Makanya besok-besok berangkatnya lebih pagi supaya gak telat!”  Ane menundukan kepala, tak berani menyahut. Kiran berbicara dengan nada membentak padanya.  “Kamu jangan lupa, bisa diterima kerja di perusahaan ini karena rekomendasi dari aku. Jangan bikin aku malu.” “Iya, Kiran. Aku minta maaf. Aku janji gak akan telat lagi.”  Kiran berdecak jengkel, “Ya udah, sana balik ke meja kamu.”  Ane mendongak, melempar senyum seramah mungkin pada Kiran namun gadis itu tak menanggapinya. Merasa diabaikan, akhirnya Ane memilih untuk menurut. Dia berjalan menuju mejanya dengan kepala tertunduk. Dan itulah kecerobohannya. Karena tak melihat ke depan, tanpa sengaja Ane bertabrakan dengan seseorang yang sedang memegang tumpukan map. Seketika map-map itu pun jatuh berserakan di lantai.  “Maaf, maaf, saya tidak sengaja,” ucap Ane. Dia bergegas membantu memunguti map-map tersebut. “Kamu anak baru, ya?” tanya orang yang bertabrakan dengan Ane yang ternyata seorang wanita berusia sekitar 30 tahunan. Ane mengangguk. “Makanya kalau jalan hati-hati, lihat ke depan. Yang kerja di ruangan ini bukan cuma kamu,” katanya, mengingatkan.  Ane tersenyum tipis, raut wajahnya terlihat merasa bersalah. “Iya, maafkan saya. Saya akan lebih berhati-hati.”  Setelah selesai membantu merapikan map-map itu, Ane mendudukan dirinya di depan meja kerja. Menyalakan komputer dan siap memulai pekerjaannya.  Tanpa dia ketahui kejadian yang menimpanya barusan tak luput dari perhatian Kiran, seseorang yang merekomendasikan Ane bekerja di perusahaan itu.  “Ran, anak baru itu lo kan yang rekomendasiin?” tanya Lia, teman baik Kiran.  Kiran mengangguk, tatapan tajamnya masih tertuju pada punggung Ane yang tengah sibuk memeriksa dokumen di atas mejanya.  “Cakep sih tapi kayaknya culun abis ya tuh anak. Telat dateng di hari pertama kerja. Udah gitu pake nabrak senior segala lagi.”  Kiran menggelengkan kepala disertai desahan frustasi. “Namanya juga cewek kampung. Ya emang kayak gitu,” jawab Kiran.  “Kirain lo bakalan belain dia, secara gitu dia bawaan lo.”  Kiran mendecih sembari mendelik tak terima pada Lia. “Kalau bukan karena permintaan cowok gue, mana mau gue naruh CV dia. Pas banget lagi perusahaan kita lagi butuhin admin di divisi keuangan. Cewek itu lulusan akuntan jadi ya beruntung dia bisa diterima di sini.”  “Ooh gitu, jadi dia kenalan cowok lo?” tanya Lia. “Tetangga cowok gue di kampung. Apartemen yang dia tinggali di sini juga cowok gue tuh yang tunjukin. Mereka tinggal di gedung apartemen yang sama.” “Lo gak curiga, Ran?”  Kiran mengernyitkan dahi, “Curiga kenapa?” “Ya, itu cowok lo baik banget sama dia. Peduli banget lagi ampe apartemen terus kerjaan tuh cewek kampung, dia yang urusin. Jangan-jangan mereka ada apa-apanya lagi, gak sekadar tetangga di kampung doang.”  Karin mendengus kasar, kembali melayangkan tatapan tajamnya pada Ane. “Huuh ... lihat aja. Kalau sampai tuh cewek berani godain cowok gue, bukan cuma bakalan ditendang dari perusahaan ini. Gue juga bakal bikin tuh cewek sengsara hidupnya. Berani banget nantangin Kiran Agata Khaira.”  Lia terkekeh, menepuk punggung Kiran pelan sembari mengangkat ibu jari. “Nah, gitu dong. Jangan sampe kalah dari tuh cewek kampung. Baru ini Kiran temen baik gue,” katanya, sebelum berjalan kembali menuju mejanya meninggalkan Kiran yang penuh dengan rencana licik di dalam kepalanya untuk mencelakakan Ane jika berani macam-macam dengan dirinya maupun kekasihnya.  ***   Alcander yang berubah menjadi anjing itu membuka kedua matanya dengan perlahan. Dia meringis saat luka di kakinya terasa berdenyut. Dia menggulirkan mata, menatap sekeliling. Baru teringat dirinya berada di kamar seorang gadis asing yang tak dikenalnya.  Sebenarnya bukan hanya gadis itu dan tempatnya berada ini yang tidak dikenalnya. Melainkan dunia ini juga sangat berbeda jauh dengan dunianya.  “Sebenarnya aku ada dimana? Dunia yang kudatangi ini jelas bukan wilayah kerajaan Soungga,” ucapnya, tentu saja hanya dalam hati karena sekarang tak akan ada satu orang pun yang bisa memahami bahasanya, bahkan yang bisa mendengar suara aslinya pun sekarang sudah tak ada.  Yang dia katakan memang benar. Dunia yang dia datangi ini berbeda jauh dengan dunianya. Tak ada gedung-gedung pencakar langit seperti di dunia ini di kerajaan Soungga yang terbilang masih klasik dan kuno. Rumah-rumah di wilayah kerajaannya masih sederhana, berbeda dengan di dunia ini yang semuanya serba mewah dan modern. Bahkan mobil yang menabrak dirinya hari ini pun, tak pernah dia lihat di dunianya.  Ruangan kamar yang dia tempati ini pun sangat berbeda jauh dengan kamarnya di istana. Tentu kamar Alcander di dunianya sangat luas, berkali-kali lipat lebih luas dibanding kamar ini.  Alcander memicingkan mata saat melihat kondisi ruangan yang dia tempati itu jauh dari kata rapi. Benda-benda diletakan asal, yang penting muat seperti itulah moto si pemilik kamar. Dia menggelengkan kepala saat matanya tanpa sengaja melihat ke sudut ruangan dan menemukan beberapa potong pakaian tergeletak di sana. Bukan hanya piyama bahkan ada pula bra dan celana dalam tercecer di sana.  “Gadis itu pasti jorok dan ceroboh. Menjijikan.”  Alcander yang mendedikasikan hidupnya dengan mencintai kebersihan dan kerapian tentu saja menganggap kamar ini sebagai sarang sampah.  “Aku harus pergi dari sini.”  Alcander berusaha untuk bangun, dia sudah merasa cukup tidur. Kondisinya sudah jauh lebih baik meski rasa sakit dan perih itu terasa kuat di luka kakinya. Baru setengah badan dia bangkit, dirinya kembali tumbang karena kakinya yang terluka gemetaran, tak sanggup mempertahankan keseimbangan tubuhnya.  “Sialan,” umpatnya. “Aku, pangeran Alcander Cirrilo Soungga, kenapa jadi menyedihkan begini.”  Alcander mencoba sekali lagi untuk bangkit, dan sekali lagi pula dia tumbang. Luka di kakinya cukup parah, dia benar-benar kesulitan berjalan sekarang.  “Sepertinya dengan terpaksa aku harus tinggal di sini sampai luka di kakiku sembuh.”  Akhirnya keputusan itu yang diambilnya. Alcander berpikir untuk kembali memejamkan mata, dia akan mencoba untuk tidur lagi. Berharap setelah banyak tidur, kondisi tubuhnya akan cepat pulih.  Namun, belum semenit dia memejamkan mata, Alcander bergegas membuka matanya lagi karena mendengar suara pintu yang dibuka kasar. Suara gebrakannya menggelegar dan membuat Alcander tersentak kaget.  “Aku pulang!” Ane berteriak girang.  Dia melempar tas selempangnya asal. Dan berlari menuju ranjang, bersiap merangkul Alcander dalam pelukan.  Alcander refleks beringsut mundur dengan maksud menghindar. Namun, gerakannya kalah cepat dari Ane. Tanpa sempat menghindar, Ane berhasil menangkap dan mendekapnya dalam pelukan erat.  “Lepas, gadis jelek,” ucap Alcender, namun tentu saja Ane tak bisa mendengarnya. “Aku kepikiran terus sama kamu lho selama kerja. Kamu baik-baik aja, kan? Kaki kamu gimana sekarang?” tanya Ane. “Aku akan baik-baik saja selama kau menjauh dariku. Dasar gadis aneh,” sahut Alcander, dalam benaknya.  “Sini aku periksa luka kamu.”  Ane memeriksa perban yang melilit luka di kaki Alcander. Dia buka dengan perlahan, Alcander meringis kesakitan saat beberapa bulu kakinya tercabut ketika perban itu dilepas. Rasa perih kembali menyerangnya.  “Udah kering kok lukanya. Biar aku olesin betadine lagi supaya cepet sembuh ya.”  Ane berjalan untuk mengambil kotak P3K di atas meja. Setelahnya dia mengolesi luka Alcender dengan betadine. Gerakannya begitu perlahan dan hati-hati, sesekali dia meniup luka itu.  Alcander tak bereaksi apa pun selain diam. Membiarkan gadis asing yang menolongnya tersebut mengobati lukanya.  “Sebenarnya gadis ini baik,” katanya.  “OK, selesai!!” teriak Ane girang, hingga suaranya menggelegar di dalam kamar begitu selesai menutup luka itu dengan perban. “Sayangnya mulut gadis ini berisik. Sepertinya dia juga merepotkan.” Dalam hatinya Alcander kembali melontarkan penilaiannya tentang Ane.  Kedua mata Alcander tak lepas mengawasi Ane ketika gadis itu berjalan menjauh. Memungut tasnya yang tergeletak di lantai, dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas tersebut.  “Lihat, aku membelikan makanan anjing untukmu. Kamu pasti lapar, kan?” tanya Ane ceria seperti biasa. “Tunggu sebentar ya, aku bawain dulu piring plastik buat wadahnya.”  Ane pergi meninggalkan Alcander sendirian di dalam kamar. Alcander menatap bungkusan yang tergeletak di depannya. Meski dirinya sudah menjadi anjing, bukan berarti dia jadi bodoh. Tentu dia masih bisa membaca dan tahu persis isi bungkusan itu merupakan makanan untuk anjing.  “Tunggu, apa dia bermaksud menyuruhku memakan makanan anjing ini?” Kening Alcander mengernyit tajam saat memikirkan ini. “Aku manusia dan aku seorang pangeran. Berani sekali dia menyuruhku memakan makanan anjing. Jika aku sudah kembali ke tubuh asliku, pasti kuhukum gadis tak tahu sopan santun itu,” katanya.  Sosok Ane muncul setelahnya, seperti yang dia katakan tadi, dia datang sembari membawa piring berbahan plastik.  Dia merobek bungkusan berisi makanan anjing, lantas menumpahkan isinya ke dalam piring plastik. Kemudian dia menyodorkannya pada Alcander.  Refleks Alcander beringsut mundur, tak sudi sekedar mencicipi makanan anjing yang menurutnya menjijikan. Hello, dia seorang pangeran yang biasa memakan makanan mewah ala istana, sekarang disuruh makan makanan anjing oleh gadis asing, jelas dia tak sudi.  “Ayo makan. Kamu pasti lapar, kan?”  Ane masih berusaha menyodorkan piring berisi makanan anjing tersebut, namun Alcander selalu beringsut mundur menghindari.  “Manja juga ya ternyata kamu, gak mau makan sendiri. Ya udah, aku suapin kalau gitu,” kata Ane.  Dia mengambil sepotong kue kering untuk anjing tersebut, lantas mendekatkannya ke mulut Alcander. Alcander memundurkan wajah, terus menghindari tangan Ane yang memaksa memasukan makanan anjing ke dalam mulutnya.  Kesal dengan penolakan Alcander, akhirnya Ane melakukan tindakan. Dia menangkap Alcander, meletakannya di kedua pahanya.  “Ayo, cepat buka mulutmu,” katanya, sembari membuka paksa mulut Alcander. Dia pun memasukan makanan anjing itu ke dalam mulut Alcander.  Awalnya Alcander berniat memuntahkannya, namun saat menyecap rasa lezat dari makanan itu, Alcander urung memuntahkannya. Sebaliknya, dia mulai mengunyah.  “Ini enak,” katanya, dengan wajah semringah.  Guk ... Guk ... Guk  Di telinga Ane begitulah suara Alcander yang didengarnya.  “Gimana? Enak, kan?”  Guk ... Guk ... Guk  Ane terkekeh geli, merasa si anjing menyahuti ucapannya. Dia pun meletakan tubuh Alcander di dekat piring. Membiarkan anjing kecil itu memakan makanannya sendiri. Dan benar saja kali ini Alcander memakan makanan anjing itu dengan begitu lahap.  “Sial. Apa aku benar-benar menjadi seekor anjing sekarang? Bahkan aku mulai menyukai makanan anjing,” gerutu Alcander, dalam hati sembari lahap menyantap makanannya.  Ane memperhatikan dengan seksama bagaimana anjing yang ditolongnya tadi pagi makan dengan lahap. Dia tersenyum mendapati sang anjing menyukai makanan yang dia belikan.  “Mulai besok, aku pasti rajin beliin kamu makanan,” ujarnya. “Oh ya, kayaknya aku harus ngasih kamu nama deh. Biar enak manggilnya.”  “Hmm ... aku kasih kamu nama apa, ya?”  Ane berpikir keras dengan jari telunjuknya yang tiada henti mengetuk-ngetuk pelipisnya. Kepalanya miring ke kanan, beberapa detik kemudian miring ke kiri. Memutar otak guna menemukan nama yang cocok untuk anjing tersebut.  Hingga sosok kartun favoritnya saat kecil terlintas di ingatannya, Ane tersenyum lebar.  “Oh, aku tahu. Nama kamu, Lala. Iya, panggilan Lala cocok banget buat kamu. Habisnya kamu lucu kayak Lala.”  Lala adalah salah satu nama tokoh Teletubbies kesukaan Ane saat dia anak-anak. Karena kakak perempuannya dulu selalu mencekokinya dengan tontonan anak-anak itu, alhasil Ane menjadi orang yang begitu menggilai sosok Teletubbies bahkan hingga usianya mencapai usia dewasa seperti sekarang.  Ane memangku tubuh Alcander, memeluknya erat hingga Alcander kesulitan bernapas. Lalu dia juga mengangkat tubuh Alcander, menatap lekat wajah si anjing yang menurut Ane begitu lucu. Ane tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat dan kedua matanya menyipit, sembari menempelkan hidungnya ke hidung si anjing, Ane tak tahu sama sekali tindakannya itu membuat napas Alcander memburu cepat hingga dadanya kembang kempis, dia panik sekaligus salah tingkah berada dalam jarak sedekat itu dengan seorang gadis.  “Mulai sekarang nama kamu, Lala. Kita akan tinggal bersama mulai sekarang ya.” “Oi, aku ini laki-laki bukan perempuan,” sahut Alcander, tak terima diberi nama Lala.  Sayangnya suara hati Alcander tak bisa didengar oleh Ane yang kegirangan karena memiliki hewan peliharaan mulai hari ini. Meyakini dirinya tidak akan kesepian lagi karena kehadiran anjing tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD