My Dog, 03

3138 Words
Sembari bersenandung, Ane tengah sibuk memasak di dapur mungilnya. Kamar apartemen yang dia tempati bisa dikatakan cukup luas. Ada satu kamar tidur di sana, ruang tengah yang cukup luas, kamar mandi beserta dapur kecil untuk memasak dimana ada ruangan sempit di dekat dapur yang Ane tata menjadi ruang makan.  Sesekali dia menoleh pada kursi yang dia letakan di dapur, tersenyum lebar saat mendapati sosok anjing putih tengah meringkuk di sana. Tentu dia yang meletakan sang anjing di sana dengan dalih dia kesepian dan ingin ditemani anjing yang dia beri nama Lala tersebut.  Tanpa dia ketahui sejak tadi si anjing yang sebenarnya jelmaan dari Alcander, tidak henti-hentinya memutar bola mata bosan. Dia juga beberapa kali menguap lebar, terlebih aroma pedas dari sambal yang sedang dibuat Ane benar-benar membuat hidungnya tak nyaman. Sejak berubah menjadi anjing, indera penciumannya memang dua kali lipat lebih tajam dibanding sebelumnya.  “Sebentar ya Lala, kalau aku udah selesai masak, kita makan sama-sama. Kamu pasti udah laper, kan?” tanya Ane. Dia berjalan menjauhi panci berisi sup sayur asam yang sedang dia buat. Mendekati Alcander dan mengelus puncak kepalanya lembut.  “Lala, kamu lucu banget sih. Aku nggak pernah lihat anjing selucu kamu.”  Ane mengangkat tubuh Alcander, saat gadis itu mendekatkan wajahnya, Alcander tiba-tiba panik. Dia menepis wajah Ane dengan tangan mungilnya. Namun Ane tak gentar, dia terus mendekatkan wajah dan mengecup lembut hidung anjing dalam gendongannya. Ane tak tahu, ya sama sekali tak tahu bahwa tindakannya ini membuat anjing malang itu malu setengah mati.  “Sialan,” gerutu Alcander, sayangnya Ane tak bisa mendengarnya.  Alcander memberontak minta dirinya dilepaskan karena Ane sedang mendekapnya erat. Dia tak bisa banyak melawan karena luka di kakinya yang masih berdenyut sakit.  “Ok ... Ok ... aku lepasin kamu. Kamu itu ya gak bisa diem.”  Dengan hati-hati Ane menurunkan Alcander dan meletakannya lagi di atas kursi.  “Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana. Aku lanjutin dulu masaknya.” “Memangnya siapa yang mau pergi? Kakiku sedang sakit, mana bisa aku pergi,” sahut Alcander, dalam hatinya.  Ane masih bersenandung riang, sedikit lagi dia menyelesaikan masakannya.  Ketika sup sayur asam yang dia masak akhirnya mendidih, Ane bersorak girang membuat Alcander yang mengantuk itu seketika terkesiap, nyaris terjatuh dari kursi kecil yang dia tempati.  “Gadis itu berisik sekali. Terlebih suka mengagetkan orang lain, menyebalkan. Aku benar-benar tidak suka padanya,” ucap Alcander sambil memicing sebal pada Ane, sebelum dirinya menguap lebar dan kembali meletakkan kepalanya di kursi.  Dengan cekatan Ane menata meja makannya dengan berbagai hidangan yang dia masak sendiri. Tak banyak masakan yang dia buat, hanya ada tempe goreng, telur dadar, sambal dan terakhir sup sayur asam.  Tak lupa dia menuangkan makanan anjing pada piring plastik yang dia siapkan untuk tempat makan anjing peliharaannya. Piring itu dia letakan di lantai, dekat kursinya. Setelahnya, dia mengangkat tubuh Alcander, meletakannya dengan perlahan di dekat piring yang sudah berisi banyak makanan anjing.  “Makan yang banyak ya, supaya Lala cepet sembuh dan gemuk badannya,” kata Ane. Puncak kepala Alcander, Ane elus penuh sayang, membuat Alcander lagi-lagi memutar bola matanya malas.  “Gadis ini tidak sopan, beraninya memegang kepala putra mahkota,” gerutu Alcander, untuk kesekian kalinya, tak peduli meski dia tahu Ane tak bisa mendengarnya.  Ane kembali duduk di kursinya, menatap sekali lagi pada si anjing yang tengah mengendusi makanannya. “Selamat makan, Lala,” ujar Ane riang. “Sudah kukatakan aku ini laki-laki. Jangan memanggilku Lala lagi, gadis aneh!”  Seandainya Ane mengerti bahasa anjing, mungkin dia akan mendengar bagaimana Alcander sedang berteriak saat ini. Menyuarakan ketidaksukaannya karena dengan seenak jidat Ane memberinya nama Lala di saat dirinya seorang laki-laki.  Ane berniat menuangkan nasi ke dalam piring, namun gerakannya terhenti saat telinganya mendengar suara seseorang menekan bel di pintu apartemennya.  “Siapa yang datang malam-malam gini?”  Saat ini waktu menunjukan pukul 7 malam, jadi Ane dan Alcander tengah menyantap makan malam mereka.  Ane bangkit berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke depan dengan langkah gontai. Padahal perutnya sudah keroncongan dan meraung minta diisi sejak tadi.  Tanpa ragu Ane membuka pintu setibanya dia di dekat pintu utama. Senyuman seketika terulas tatkala menemukan siapa gerangan yang sekarang tengah berdiri di depan pintu apartemannya.  “Kak Edo,” ujarnya girang, dia menarik tangan pria bernama Edo tersebut untuk masuk ke dalam apartemennya.  Edo Dimitra, namanya. Dia adalah tetangga Ane di kampung halaman. Rumah mereka bersebelahan dan sejak dulu mereka memang sudah dekat. Berkat Edo pula Ane bisa menempati apartemen ini. Pria itu juga menetap di gedung apartemen yang sama dengan Ane, hanya saja lantai apartemen mereka berbeda.  “Kamu kayaknya lagi makan sup sayur asam, ya?” terka Edo, aromanya memang tercium hingga ke ruang tengah.  Ane mengangguk dengan malu-malu, “Iya, iseng masak sendiri. Aku kangen masakan nenek. Dia sering masakin sup sayur asam kalau aku berkunjung ke rumahnya.”  “Nenek kamu bukannya tinggal di Bogor?”  Ane kembali mengangguk, “Iya. Tapi satu tahun lalu dia meninggal.”  Edo terbelalak, terkejut mendengar kabar duka itu. Terbilang dirinya memang jarang pulang ke kampung halaman di Indramayu sejak dirinya menetap di Jakarta.  “Oh maaf, aku gak tahu,” sahut Edo, merasa bersalah karena membuat Ane terlihat murung sekarang. “Nggak apa-apa, Kak.” Ane berucap disertai senyum. “Ayo, Kak. Kita makan bareng. Udah makan belum?”  Edo tiba-tiba mengangkat plastik hitam yang dia tenteng di tangan kanannya. “Aku emang mau ngajak kamu makan bareng. Nih, aku beliin ayam goreng.”  Ane mengambil bungkusan plastik itu, mengintip isinya dan wajahnya berbinar senang. “Kebetulan aku cuma masak tempe goreng sama telur dadar tadi,” katanya dengan memasang wajah semringah karena Edo dengan baik hati membawakannya ayam goreng yang terlihat menggiurkan jika dipandang dari penampilannya. Ane sudah tidak sabar ingin menggigit ayam goreng yang pastinya renyah dan gurih itu.  “Ayo, Kak. Kita makan bareng!”  Tanpa permisi, Ane menarik tangan Edo, membawa pria itu ke ruang makannya yang sempit. Edo tak menolak, dia ikuti kemana pun Ane membawanya.  Edo mengernyitkan dahi saat melihat keberadaan seekor anjing putih yang sedang asyik menyantap makanannya. “Anjing itu, sejak kapan kamu pelihara? Aku kok baru lihat?” tanyanya.  Ane terkekeh, memangku Alcander yang tengah asyik makan. Sontak sang anjing menggonggong tak suka. “Hei ... turunkan aku, gadis aneh. Apa kau tidak lihat aku sedang makan?” Sebenarnya begitulah yang dikatakan Alcander, yang didengar manusia dia sedang menggonggong layaknya anjing normal.  “Tadi pagi aku menemukan dia di jalan. Lihat, dia terluka.”  Ane menunjukan luka di kaki Alcander yang terbalut perban.  “Dia ketabrak mobil. Nggak ada yang mau nolongin dia makanya aku bawa aja ke sini. Dia lucu, kan, Kak? Aku mau pelihara dia.” Ane menjelaskan.  Edo berpangku tangan, menatap si anjing yang masih menggeliat tak nyaman dalam pelukan Ane yang tampak menyayangi anjing tersebut. Terlebih saat dilihatnya Ane terus mengelus kepala si anjing.  “Kamu nolongin dia pagi tadi?”  Ane mengangguk, mengiyakan.  “Apa anjing ini alasan kamu telat datang ke kantor tadi pagi?”  Ane menegang kali ini. Dia terka pasti Kiran yang memberitahu Edo. Kiran memang kekasih pria baik hati tersebut. Dan hal inilah yang membuat Ane tak nyaman. Gadis itu tahu Edo bersikap baik padanya karena suatu alasan. Namun, tanpa pria itu ketahui, Ane menyimpan perasaan khusus padanya. Perasaan yang lebih dari sekadar tetangga maupun teman. Sejauh ini Ane selalu menyembunyikan perasaan sukanya pada Edo, dia tahu sampai kapan pun cintanya pada pria itu akan bertepuk sebelah tangan.  Setelah lama terdiam, akhirnya Ane mengangguk, “Kiran yang cerita sama Kak Edo, ya?” tanya Ane, dan kali ini giliran Edo yang mengangguk.  “Tadi dia nelepon aku, ngasih tahu kamu telat satu jam ke kantor padahal hari pertama kamu masuk kerja. Dia nyuruh aku nasihatin kamu berangkat lebih pagi lagi supaya gak telat besok.” “Aku janji gak akan telat lagi ke kantor, Kak. Maaf ya, padahal aku udah diterima kerja di perusahaan itu atas bantuan Kiran. Pasti dia kecewa banget sama aku ampe cerita ke kakak.” “Dia cuma khawatir kamu dimarahi lagi sama atasan. Kamu kan masih karyawan baru jadi harus hati-hati, harus lebih disiplin.” “Iya kak, pasti. Lain kali aku gak bakalan ngecewain kakak atau Kiran lagi,” sahut Ane, disertai senyuman lebar hingga kedua matanya menyipit.  “Oh ya, gimana kerjaannya? Betah?” tanya Edo lagi. “Kerjaannya sesuai kemampuan aku sih, Kak. Jadi aku betah-betah aja.” “Bagus kalau gitu. Apalagi kan di sana ada Kiran. Kamu kalau butuh apa-apa atau mau nanya sesuatu, bilang aja ke Kiran. Aku udah ngasih tahu dia supaya bantuin kamu di kantor.”  Ane tanpa sadar mengeratkan pelukannya pada Alcander, membuat anjing itu meringis kesakitan.  “Kiran baik kan sama kamu di kantor?”  Beberapa detik lamanya Ane terdiam dengan kepala tertunduk, dimana pelukannya semakin erat pada Alcander yang terus menggerutu tanpa sepengetahuan gadis itu.  Hingga anggukan kecil diberikan Ane. Tak mungkin bukan dia berkata jujur bahwa Kiran memarahinya tadi pagi. Bahkan gadis itu tidak mau bergaul dengannya di kantor terbukti dari Ane yang mengajak Kiran makan siang bersama, namun Kiran menolaknya mentah-mentah. Membuat Ane harus makan siang sendirian di kantin kantor.  “Bagus deh kalau gitu. Aku tenang sekarang,” ucap Edo, tulus. Dia memang sangat menyayangi Ane. Gadis itu sudah dia anggap adiknya sendiri. Mungkin karena Ane adalah adik gadis cinta pertamanya.  Dulu, saat Edo belum menetap di Jakarta, dia pernah jatuh cinta pada kakak perempuan Ane yang kini bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Indramayu. Namun, pernyataan cintanya ditolak. Meski begitu, kedekatannya dengan Ane sama sekali tak terpengaruh. Dia tetap menyayangi gadis itu karena dulu mereka memang sering menghabiskan waktu bersama. Edo sering datang ke rumah keluarga Ane dengan niat mendekati kakak perempuan Ane. Dan nyatanya selalu berakhir Ane yang menemani dirinya. Usia mereka terpaut 4 tahun, hal yang wajar hingga Edo menganggap Ane sebagai adik sendiri.  Tatapan Edo tertuju pada anjing putih dalam pelukan Ane. Entah hanya perasaan Edo saja atau memang kenyataan, dia merasa si anjing tengah menatapnya tajam.  “Anjing itu ...” Edo menjeda ucapannya, dia menelisik penampilan si anjing dengan seksama. Anjing itu memang lucu, bulu-bulunya juga bersih seolah dia anjing yang dipelihara oleh seseorang sebelumnya. Selalu dirawat dengan baik. Edo berpikir mungkin pemiliknya dulu seseorang yang kaya raya karena sang anjing terlihat berbeda dari anjing biasanya, terlihat begitu terawat. Edo sendiri tak mengerti kenapa dirinya bisa berpikir begitu. Hanya saja tatapan si anjing memang begitu tajam bagai tatapan seorang manusia yang memiliki kedudukan tinggi. Sungguh mengintimidasi tatapan si anjing peliharaan Ane tersebut.  “ ... kamu udah kasih nama?” Edo melanjutkan ucapannya yang menggantung.  Ane mengangguk seraya mengecup puncak kepala si anjing, membuat Alcander mendecih jijik dalam hatinya.  “Udah,” jawab Ane, disertai cengiran lima jari. “Siapa namanya?” “Lala,” jawab Ane, tanpa ragu. “Dulu aku ngefans banget sama Teletubbies. Jadi anjing ini aku kasih nama Lala kayak salah satu nama karakter Teletubbies.”  Edo mendengus geli, menurutnya Ane tak pernah berubah. Tetap kekanakan seperti dulu. Dia memfokuskan atensinya pada wajah si anjing untuk kedua kalinya. Keningnya mengernyit saat menyadari sesuatu.  Edo berjalan mendekati Ane, merebut anjing dalam pelukan gadis itu tanpa permisi. Lantas, dia mengangkat si anjing untuk melihat benda di antara dua kakinya.  Tanpa diduga, si anjing berontak seolah memahami apa yang sedang diperiksa Edo. Dia mencakar wajah Edo, membuat pipi mulus pria itu terdapat luka cakaran meski kecil namun mengeluarkan darah.  “Ya ampun, Kak Edo. Kakak nggak apa-apa, kan?”  Edo mengaduh kesakitan. Si anjing dia letakan di atas kursi. Ane panik luar biasa, terlebih saat dilihatnya luka cakaran itu mengeluarkan darah.  “Lukanya berdarah tuh. Haduuh ... maaf, Kak,” ucap Ane, semakin panik.  Ane berlari ke kamarnya, mengambil kotak P3K yang dia letakan di sana. Setelahnya dia mengobati luka cakaran di wajah Edo dengan perlahan dan hati-hati.  Pertama, dia mengoleskan alkohol di luka cakaran itu, membuat Edo meringis karena rasa perih yang seketika dirasakannya. Ane ikut meringis, dia meniup-niup luka itu. Saat tatapan mereka saling bertemu, Ane mematung di tempat. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat, dia baru sadar berada dalam jarak sedekat itu dengan Edo. Bahkan bibir Edo yang sedikit tebal dan sedang terkatup rapat itu menjadi satu-satunya objek yang Ane pandangi.  Edo kembali meringis kesakitan hingga matanya terpejam dan hal itu kembali menyadarkan Ane dari keterpakuannya. Ane berdeham untuk menenangkan dirinya sendiri. Mungkin di antara mereka, hanya Ane yang tiba-tiba gugup dan salah tingkah karena Edo tetap bersikap tenang seolah tak terpengaruh meskipun wajahnya dan Ane berdekatan. Ane kembali dengan telaten mengobati luka cakaran itu, kini dengan perlahan dia mengoleskan betadine. “Sakit ya, Kak? Maafin Lala ya, Kak. Dia emang belum jinak. Sama aku juga sering berontak dia.”  Edo terkekeh melihat ekspresi panik Ane, sangat menggemaskan menurutnya. “Aku nggak apa-apa kok, An,” jawabnya, menenangkan. “Lukanya mau ditutupi kapas atau plester nggak, Kak?” tanya Ane. “Ada emang plesternya?”  Ane mengangguk sembari memperlihatkan sebuah plester yang masih tersegel rapi. “Ada dong, Kak,” katanya bangga sembari tersenyum lebar. “Waah, lengkap juga ya peralatan P3K kamu.” “Iya dong, Kak. Buat jaga-jaga.” “Bagus, bagus, emang harus begitu,” sahut Edo. Dia mengangkat kedua ibu jarinya. Ane semakin tersenyum lebar. “Jadi, mau ditutupi plester atau nggak?” “Boleh deh, tolong pasangin ya.”  Ane mengangguk antusias. Dengan perlahan membuka bungkus plester tersebut. Di saat dirinya siap menempelkan plester untuk menutupi luka cakaran di wajah Edo, Ane kembali mematung karena melihat Edo sedang memejamkan mata.  Ane tersenyum kecil, menurutnya wajah Edo yang sedang memejamkan mata terlihat semakin tampan. Walau dilihat dari sudut mana pun, Edo memang memiliki paras yang menawan. Ane jadi iri pada Kiran yang menjadi kekasih Edo. Gadis itu begitu beruntung. Andai saja dirinya yang ada di posisi Kiran, Ane sempat berpikir demikian, namun cepat-cepat dia menggeleng untuk menepis pemikiran konyol itu. Ane sangat menyadari sampai kapan pun dirinya dan Edo hanya akan menjadi teman, sangat mustahil hubungan mereka akan berkembang lebih dari itu.  Ane mengembuskan napas pelan tanpa sadar, dan hal itu membuat Edo membuka kembali kedua matanya. Pria itu mengernyitkan dahi, bingung melihat Ane yang tak kunjung memasangkan plester di lukanya, malah sedang sibuk melamun.  “Kenapa melamun, An?”  Ane terkesiap hingga plester di tangannya jatuh ke lantai. “Ah, maaf. Plesternya jadi jatuh,” katanya sambil cepat-cepat memungut plester itu.  “Yaah, plesternya jadi kotor, nggak bisa dipake lagi deh.” Ane mengerucutkan bibirnya beberapa centi ke depan, begitu melihat plester yang sudah dia buka itu jadi kotor karena debu di lantai menempel di sana.  Edo terkekeh melihat ekspresi Ane itu, “Ganti aja plesternya, An. Nggak usah memasang wajah sedih gitu,” katanya. “Masalahnya cuma sisa satu plesternya, Kak,” jawab Ane, kecewa sekaligus menyesali kebodohannya karena sudah ceroboh menjatuhkan plaster yang tinggal satu-satunya itu.  “Aku pergi ke warung dulu deh, beli plester yang baru.”  Ane sudah berdiri dari duduknya dan bersiap melangkah pergi, namun urung karena tangannya tiba-tiba digenggam Edo. “Nggak usah, An. Lukanya nggak usah diplester aja.” “Tapi ....” “Nggak apa-apa, toh cuma luka kecil kok. Nggak dalam lukanya. Udah kamu obatin pula,” ucap Edo.  Ane mengembuskan napas pelan untuk yang kesekian kalinya, “Maaf ya, Kak. Aku ceroboh banget tadi.” “Nggak apa-apa,” sahut Edo sambil tersenyum tipis. “Tadi kenapa kamu melamun?”  Ane dibuat terhenyak lagi oleh pertanyaan sama yang untuk kedua kalinya dilontarkan Edo. Tidak mungkin bukan, Ane berkata jujur bahwa dirinya melamun karena merenungi kisah percintaannya yang menyedihkan. Terlebih Edolah yang sedang dipikirkannya tadi.  Ane cepat-cepat menggeleng, “Aku nggak melamun kok, Kak. Tadi tiba-tiba kepikiran tugas kantor aja.” Pada akhirnya Ane memilih berbohong. “Hm, gitu. Mikirin kerjaan ya?” Ane mengangguk-anggukan kepala. “Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan bilang sama aku atau Kiran ya. Kami pasti bantuin kamu.” “OK, Kak. Makasih.” Ane mengangkat kedua jarinya membentuk kata OK. Edo ikut mengangkat ibu jari.  Inilah salah satu alasan yang membuat Ane terpikat pada Edo. Sejak dulu, Edo selalu baik padanya. Pria itu juga perhatian dan begitu peduli pada Ane. Di masa lalu, Ane tidak akan segan-segan mengadu pada Edo jika dirinya sedang tertimpa kesulitan atau masalah meski sekecil apa pun. Edo akan mendengarkan keluh kesahnya dengan seksama, dan tak segan-segan memberikan bantuannya. Baik itu bantuan berupa memberikan saran ataupun solusi untuk Ane.  Ane tak mungkin lupa suatu kejadian yang membuatnya jatuh cinta pada Edo. Dulu, saat dirinya masih duduk di bangku SMP, pernah ada teman sekelasnya yang selalu mengganggu Ane. Membully Ane bersama teman-temannya bahkan pernah membuntuti Ane saat hendak pulang ke rumah. Teman Ane itu seorang laki-laki dan Ane risih sekaligus takut karena pemuda itu selalu mengganggunya.  Ane pun menceritakan kejadian itu pada Edo, siapa sangka keesokan harinya Edo mendatangi sekolah Ane saat jam istirahat. Lalu tanpa ragu memarahi pemuda yang selalu mengganggu Ane itu sehingga dia pun tak pernah lagi mengulangi perbuatannya. Ane yang awalnya selalu merasa tertekan di sekolah SMP-nya menjadi bisa menikmati masa-masa sekolahnya dengan tenang dan damai. Dan semua itu berkat bantuan Edo. Ane mengagumi kebaikan dan keberanian Edo, hingga kekaguman itu mulai berubah menjadi cinta.  Meski sekarang sikap Edo masih sama seperti dulu dan pria itu tidak akan keberatan membantu Ane. Tapi Anelah yang merasa sungkan meminta bantuan pada Edo. Situasi mereka sekarang sudah berbeda. Edo sekarang berpacaran dengan Kiran. Ane cukup tahu diri untuk tidak melewati batas. Dia harus menjaga perasaan Kiran juga yang mungkin saja tidak suka melihat Ane dekat dengan pacarnya.  Apalagi sikap Kiran juga seperti itu, Ane tidak yakin gadis itu mau membantunya di kantor saat Ane mengalami kesulitan. Ane bahkan mulai berpikir, dulu Kiran merekomendasikannya bekerja di kantor karena terpaksa menuruti permintaan Edo.  “Kau melamun lagi? Hari ini aku perhatikan, kamu banyak melamun deh?”  Semua lamunan Ane buyar seketika, bergegas dia menggeleng untuk menepis mentah-mentah ucapan Edo yang sebenarnya tepat sasaran, “Nggak kok, Kak. Aku nggak melamun. Beneran.”  “Nggak melamun tapi dari tadi nggak nyahut waktu aku panggil?”  Ane terkesiap, dia bahkan tidak sadar sejak tadi Edo memanggil dirinya.  “Pasti sedang punya masalah ya?” terka Edo. “Ayo, cerita aja. Jangan ragu apalagi malu. Biasanya juga kalau lagi ada masalah, kamu langsung cerita kan sama aku?”  Ane menggigit bibir bawahnya, kembali merutuki kebodohannya karena banyak melamun di depan Edo. Lihat, sekarang Edo curiga dirinya sedang tertimpa masalah. Meski sebenarnya iya, Ane memang mempunyai masalah di kantornya karena sikap Kiran yang selalu menjauhinya. Tapi rasanya mustahil Ane menceritakan yang sebenarnya pada Edo.  Ane bagai membeku di tempat ketika Edo kini mendaratkan satu tangannya di puncak kepala gadis itu, mengusapnya perlahan dan penuh kasih sayang. “Cerita sama aku ya kalau ada masalah. Janji aku pasti bantu.”  Ane tertegun beberapa detik lamanya, sebelum akhirnya dia tersenyum lebar kemudian mengangguk antusias. “Pasti, Kak. Kalau ada masalah, aku pasti langsung cerita.” “Janji?” “Janji!” teriak Ane, bagai anak kecil yang baru saja berjanji akan menjadi anak penurut pada orangtuanya. “Nah, gitu dong. Ini baru Ane yang aku kenal,” sahut Edo, masih setia mengusap puncak kepala Ane. Entah dia sadar atau tidak, wajah Ane yang kini memerah bagai kepiting rebus.  Edo menjauhkan tangannya dari kepala Ane setelah dirasa gadis itu sudah kembali ceria seperti biasanya, hingga tatapannya kini berpaling pada si anjing yang sedang duduk manis di atas kursi. “Oh iya, anjing itu jangan dikasih nama Lala,” katanya. “Kenapa emangnya?” Respon heboh Ane mengudara. “Kakak nggak suka namanya, Lala?” “Bukan nggak suka. Cuma dia itu anjing jantan, bukan anjing betina.”  Ane mematung, memutar leher dengan gerakan perlahan pada si anjing yang tengah balas menatapnya. “D-Dia  ... anjing jantan?” tanyanya, memastikan.  Edo mengangguk, “Barusan udah aku cek kelaminnya. Makanya itu dia cakar muka aku, kayak ngerti aja tuh anjing.” Edo terkekeh geli setelahnya.  Sedangkan Ane mengangguk-anggukan kepala, mengerti.  Ane memasang pose sedang berpikir, mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “Hmm, berarti aku harus ganti namanya. Kukasih nama apa ya  dia?” gumamnya, pada dirinya sendiri.  Setelah beberapa detik berpikir, seolah ada lampu baru saja menyala di dalam otaknya, Ane terenyak dari duduknya.  Lantas dia menjentikkan dua jarinya. “Oh, aku tahu ...” ujarnya heboh sembari menatap semringah pada Edo yang sedang menatapnya bingung.  “Dipsy. Namanya Dipsy.” “Bukannya itu karakter Teletubbies juga, ya?” Ane mengangguk, dia menyengir lebar. “Iya, namanya harus tetep karakter Teletubbies favorit aku dong.”  Ane merangkul Alcander, kembali mendekapnya dalam pelukan erat.  “Aku ganti nama kamu jadi Dipsy ya. Cocok deh namanya buat kamu. Habisnya kamu lucu kayak Teletubbies.”  Edo menggelengkan kepala sembari tertawa lepas.  Sedangkan Alcander, “Jangan memberiku nama menggelikan seperti itu. Namaku Alcander Cirrilo Soungga. Aku ini putra mahkota kerajaan. Aku pria terhormat!!” hanya mampu berteriak mengutarakan penolakannya tanpa seorang pun mengerti bahasanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD