Bab 2

1585 Words
Sejak hari itu sebisa mungkin aku menjauh dari Trias, aku tidak pernah mengangkat telepon atau membalas pesan pribadinya. Aku hanya ingin fokus dengan pekerjaan dan melupakan masalah antara aku dan Trias. "Kamu sudah cek stock barang di setiap toko?" Tanyaku ke Mirinda, salah satu staf marketing yang aku tugaskan mengawasi stock di mall-mall. "Sudah mbak, stock untuk 1 minggu ini sudah aku cek dan pihak toko akan menghubungi aku kalau stock mulai habis," balas Mirinda. Aku membaca laporan penjualan bulan ini dan hasilnya lumayan walau belum terlalu wow juga. Hanya satu toko yang penjualannya belum memuaskan, sepertinya hari ini aku harus kunjungi toko itu agar tau kenapa penjualan di toko itu jauh berbeda dibandingkan penjualan di toko lain. "Oh iya, hari ini aku mau ke toko Berlian," aku mengembalikan laporan penjualan tadi ke tangan Mirinda. "Baik mbak," Mirinda pun keluar dari ruanganku. Ponselku lagi-lagi berdering dan ada nama Trias lagi muncul di layarnya. Aku langsung mereject panggilannya dan bersiap menuju toko Berlian. Sesampainya di toko Berlian aku langsung masuk dan melihat kondisi toko yang biasanya ramai sekarang sepi banget. Hanya ada beberapa karyawan sedang duduk-duduk, ada juga yang sedang menyusun barang di etalase dan seorang office boy. "Tumben sepi," aku melangkah menyusuri setiap etalase yang memajang barang produksi perusahaanku. "Ada yang bisa dibantu, mbak?" Tanya salah satu karyawan. "Saya, Shavina dari perusahaan Jaya Kosmetika. Saya hanya ingin tau kenapa penjualan produk kosmetik di sini sangat jauh berbeda ya?" Tanyaku ke karyawan itu. Karyawan bernama Cindy yang aku lihat dari nametagnya mengarahkan matanya ke office boy yang sedang membersihkan lantai toko. "Mungkin karena dia mbak, tapi nggak tau juga ya. Hanya saja sejak dia kerja di sini orang-orang pada malas masuk ke toko ini, soalnya dia itu sedikit rese." Bisik Cindy. Aku mengernyitkan kening. "Ya kalo rese tinggal dilaporkan ke atasan kamu, kenapa didiamkan? Jadi sepi kan toko ini," balasku sedikit bingung. "Buka rese yang gimana-gimana sih, dia itu suka banget ngepel lantai dan pengunjung jadi nggak nyaman gitu." Lanjut Cindy. Aku mengenyitkan kening dan melihat office boy yang sedang mengepel lantai sejak aku datang sampai detik ini tidak kunjung selesai. Aku melangkah menuju tempatnya bekerja. "Permisi," sapaku. Office boy itu menoleh ke arahku, bukannya bertanya maksud aku menyapanya yang ada ia malah mengarahkan alat pelnya ke kakiku. "Permisi, sepatu mbak e ada sampahnya," ujarnya dengan logat medok. Aku berusaha menghindar agar alat pel itu tidak mengenai sepatu yang baru aku beli. "Ya ampun, berhenti dulu mas. Bisa bicara?" Ujarku sambil membuat gerakan bak orang sedang menari agar terhindar dari alat pel basahnya. Office boy itu berhenti mengepel, ia merapikan kacamatanya yang tebal lalu melihatku dengan tatapan bingung. "Oooo mbak e mau ngomong sama saya toh, kirain minta dipel sepatunya yang kotor," jawabnya. Aku melihat nametag yang terpasang di lehernya. Sultan Sukomulyo. "Oke, mas Sultan bisa kan ngepel atau bersihkan toko ini nanti saja saat pembeli sudah nggak ada. Kalau mas setiap saat mengganggu pembeli bisa-bisa toko ini bangkrut dan mas bisa nggak punya kerja loh." "Oooo tapi mbak e, saya nggak bisa lihat lantai kotor. Saya langsung bersihin gitu loh mbak e." Sultan menggaruk kepalanya. "Iya saya ngerti, ya sudah mulai besok mas Sultan bersihin toko ini pas susah sepi pembeli aja ya," ujarku dengan ramah agar ia mengikuti perintahku. Sultan menaikkan lagi kacamatanya. "Nggak ah, lagian bukan mbak e yang gaji saya. Permisi mbak e, di sana masih kotor." Sultan berlalu begitu saja tanpa mempedulikan perintahku. Aku ingin memakinya tapi apa yang Sultan bilang tadi ada benarnya, aku bukan orang yang membayar gajinya jadi aku nggak berhak memberi perintah. "Rese kan mbak," sela Cindy yang muncul dari sampingku. "Iya, rese. Kok bisa sih bos kalian memperkerjakan orang rese kayak gitu, mana medok banget logatnya. Mbak e mbak e emangnya gue embekkkkkk," Cindy tertawa mendengar aku menirukan suara kambing. **** Dengan mata masih terpejam aku mengambil ponsel yang sejak tadi berbunyi dari atas nakas yang ada di sebelah ranjangku. Dengan mata terpejam sebelah aku membuka sebuah pesan singkat melalui aplikasi w******p. Trias : Tanpa mengurangi rasa hormat, izinkan kami mengundang rekan-rekan dan sahabat untuk hadir dan memberikan doa restu pada acara pernikahan kami. ( Trias & Selvi ) Hari/Tanggal : Sabtu, 23 Mai 2020 Jam : 14.00 - selesai Ditempat : Aula Hotel Borobudur Merupakan Suatu Kehormatan dan kebahagiaan bagi kami apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan hadir di acara pernikahan kami. Bola mataku langsung membesar, ditengah malam seperti ini Trias mengirimkan undangan pernikahannya. Ponselku kembali berbunyi. Trias : Aku akan menikah lusa, Shavi. Apakah kamu tidak mau mengubah pendirianmu? Aku membalas pesannya. Shavina : Selamat, semoga bahagia. Aku langsung mematikan ponsel setelah mengirim balasan pesan dari Trias tadi. Aku mencoba untuk kembali tidur tapi mataku benar-benar tidak bisa untuk kembali terpejam. Aku gelisah dan mencari posisi tidur yang nyaman tapi gagal juga. "Sial!" Makiku. Aku mengaktifkan ponselku lagi dan mencari nama Trias tapi sebelum aku menghubunginya nama Trias muncul lagi di layar. "Halo!" Jawabku dengan ketus. "Aku butuh kamu, keluarlah." Aku turun dari ranjang dan mengintip melalui jendela, aku melihat Trias sedang berdiri di dekat mobilnya, aku langsung menyambar kimono tidur dan segera keluar untuk menemuinya agar sesak didadaku hilang dan aku bisa tidur malam ini. Dengan diam-diam aku keluar dari rumah agar daddy dan Ryan tidak mendengar gerakanku. Aku langsung menghampiri Trias dan melayangkan tangan kananku ke pipinya. "Jahat!" Makiku. Trias langsung memelukku. "Aku mencintai kamu, Shavi. Menikahlah denganku! Jangan biarkan aku menikah dengan wanita itu," bisiknya pelan. Aku mendorong tubuhnya dan menatapnya dengan tatapan kesal. "Menikah! Menikah! Dalam pikiran kamu pernikahan itu sangat penting hah? Aku sudah bilang kalau aku tidak mau menikah, tidak sekarang ini." Ujarku dengan lantang. Trias menjambak rambutnya, "Lalu aku harus bagaimana hah? Ibu memaksaku menikahi wanita pilihannya sedangkan aku hanya mencintai kamu! Tapi kamu menolakku!" Balas Trias. Aku mendekatinya, memegang pipinya dengan tanganku. "Saling mencintai tidak harus dengan menikah kan?" Bisikku pelan. Trias menggeleng pelan, "Bagi ibu, aku harus segera menikah dan aku tidak bisa membatalkannya. Hari sabtu aku akan menikah dengan kamu atau wanita itu," balas Trias. Percuma melanjutkan pembicaraan ini, Trias tidak akan pernah mengerti kalau aku tidak bisa menikah hanya karena permintaan ibunya. "Maaf," balasku sambil mundur beberapa langkah untuk kembali ke dalam rumah. Baru saja melangkah tiba-tiba Trias kembali memelukku. "Ragaku memang bersama wanita itu tapi jiwaku bersamamu, Shavi. Bisakah kita terus melanjutkan hubungan ini? Pernikahan itu hanya untuk membungkam mulut ibu, dia akan menjalankan tugasnya sebagai menantu saja tapi tidak istri. Aku menganggap kamulah istriku walau kita tidak akan pernah menikah," ujarnya pelan. Aku diam dan mencerna ucapan Trias barusan. Apakah aku harus mengalah dan merelakan laki-laki yang aku cintai menjadi milik orang? Tidak, aku tidak sedermawan itu, Trias milikku walau kami tidak terikat janji suci pernikahan. Selagi Trias menginginkan aku dan aku juga menginginkannya maka hubungan ini akan tetap berjalan. "Menikahlah dengan wanita itu tapi setelah itu kembali padaku," jawabku dengan pelan. **** Ya, itu awal mula aku menjadi wanita kedua dalam rumah tangga Trias. Setiap senin sampai dengan jumat Trias selalu menghabiskan waktu bersamaku di apartemen, kami saling bercerita dan diakhiri dengan hubungan seksual penuh gairah Weekend waktunya aku pulang ke rumah daddy begitupun Trias yang akan menghabiskan waktunya bersama istrinya. Apakah Trias pernah menyentuh istrinya? Aku rasa pernah walau Trias tidak pernah membahas dan aku juga tidak pernah bertanya. Apa yang dilakukan sepasang suami istri saat berdua di rumah tidak perlu aku jelaskan. Aku paham dan tidak pernah mempermasalahkan asal Trias masih kembali padaku. Hingga dua tahun lamanya aku menjadi wanita keduanya, hubungan kami kadang naik turun karena kesibukanku di kantor begitupun Trias. Selama dua tahun ini kami benar-benar lihai menutupi hubungan terlarang ini, aku juga selalu menjaga diri agar tidak hamil dengan mengkonsumsi pil kb. Hanya saja sepertinya Tuhan ingin aku segera mengakhiri hubungan terlarang ini. Setelah dua tahun akhirnya aku terpaksa menerima kenyataan kalau kini aku memegang benda yang menampilkan dua garis merah sebagai tanda kalau di rahimku kini sedang tumbuh janin tidak berdosa hasil perbuatan keji ayah dan ibunya. Aku menyimpan alat itu di dalam laci agar Trias tidak melihatnya, untuk saat ini aku belum siap memberitahunya. Setelah merapikan diri aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Trias sudah tidak berada di atas ranjang lagi tapi ia sedang berdiri di dekat jendela sambil memegang cangkir teh. Baju kami masih berserakan di lantai setelah semalam aku dan Trias b******a lagi. "Kamu sudah bangun," aku memungut satu persatu baju untuk diletakkan di keranjang baju kotor. "Selvi ... Hamil," ujar Trias. Aku langsung berhenti memungut baju terakhir dan menelan ludah, setelah dua tahun kenapa hari ini aku mendengar berita itu. "Wah, selamat." "Sepertinya ..." "Mau akhiri hubungan ini?" Selaku langsung. Trias tidak menjawab dan aku yakin ia mau mengatakan itu. "Baiklah, jaga bayimu ya. Semoga dia lahir dengan sehat," aku tidak mengambil tas serta kunci mobil yang tergeletak di dekat Trias berdiri. "Selamat tinggal, Trias." Aku segera meninggalkan apartemen agar tangisku tidak pecah, aku berlari menuju lift dan langsung pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini. Percuma aku bertahan menjadi yang kedua saat akhirnya Trias lebih memilih yang pertama. Dengan langkah gontai aku meninggalkan apartemen dengan berjalan kaki, aku memegang perutku dan aku sama sekali tidak tau mau ke mana. Aku tidak mungkin pulang karena daddy dan Ryan akan sangat kecewa mengetahui selama ini aku menjadi wanita kedua dalam rumah tangga orang. Aku tau daddy sangat membenci hal tersebut dan aku akan menyakiti hatinya. Langkahku semakin jauh meninggalkan apartemen Trias dan saat hendak menyeberang tiba-tiba sebuah sepeda yang sedang melaju kencang menabrakku. Aku terjatuh, begitupun orang yang menabrakku. "Oalahhhhhh," hanya kata itu yang aku dengar sebelum aku tidak sadarkan diri. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD