Chapter 2

1141 Words
Namanya Irene. Gadis berumur tiga puluh tahun berkulit bersih bak mutiara putih dan memiliki wajah kecil juga rambut emas keperakan yang sudah ada didalam darahnya secara turun temurun. Gadis yang kini terdiam termenung dihadapan sebuah meja rias cantik dan membiarkan surai halus dan panjangnya disisiri oleh dua orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai pelayan pribadinya. Kata mereka, gadis anggun yang satu ini tak sadarkan diri selama berbulan bulan karena racun yang tak sengaja diminumnya akibat kelalaian pelayan dan pengawalnya dalam memeriksa minuman yang disajikan oleh orang diluar kerajaan. Kata mereka, seluruh rakyat menangisi tidur panjangnya dan selalu ada doa di setiap malamnya yang mereka panjatkan untuknya. Kata mereka, sudah banyak para ahli di berbagai bidang, baik itu keilmuan medis maupun gaib yang mencoba membangunkannya, namun tidak berhasil sampai dititik dimana ia bangun dengan sendirinya kemarin sore. Kata mereka, gadis yang diakui bernama Irene ini kehilangan ingatannya. Menurutmu, siapa yang bisa dipercaya? Gadis yang kehilangan ingatannya, atau orang orang yang mengakui ucapan mereka adalah fakta meskipun sosok yang dibicarakan tak bisa memastikan mana yang benar dan salah. “Sudah waktunya untuk sarapan, tuan putri” Suara lembut dari belakangnya- dari orang yang sedari tadi membuatnya lebih rapih masuk ke indra pendengarannya, membuatnya keluar dari lamunan tak berujung itu karena masih belum bisa menemukan konklusi atas apa yang sudah ia rasakan sejauh hampir dua puluh empat jam ini. Ia tersenyum kecil, bangkit dari duduknya kemudian mengikuti kedua pelayan itu keluar dari kamarnya, hanya untuk merasa terkejut ketika menemukan belasan pelayan lainnya yang memenuhi lorong depan kamarnya, berbaris dengan rapih. Jangan lupakan beberapa pengawal yang sudah disediakan untuknya dan seorang pendekar dengan rambut hitam yang siap sedia menjaganya selama dua puluh empat jam, seumur hidupnya. Lagi dan lagi tersenyum tipis- balasan atas kerja keras tak berguna mereka karena untuk apa menunggui sesosok manusia yang hanya sedang disisiri rambutnya- kemudian kembali melangkahkan tungkai ramping dan pendeknya mengikuti kedua pelayan yang membawanya ke sebuah ruangan besar yang mereka sebut sebagai ruang makan. Sang pendekar tadi dengan sopan namun tetap hati hati mengikutinya dari samping, namun memberi jarak satu langkah kebelakang karena merasa bahwa satu satunya keturunan raja itu mungkin masih merasa shock atas hilang ingatan yang ia rasakan. “Apakah selalu seperti ini?” tanyanya dengan maksud belasan orang yang sampai saat ini masih mengekorinya. Niatnya, ia bertanya kepada dua pelayan yang ada di sampingnya, namun pendekar berambut hitam itu dengan refleks menjawab karena biasanya hanya mereka berdua yang bercengkrama begitu akrab. “tidak, tuan putri. Biasanya hanya saya saja yang menemani anda kemanapun. Para pelayan biasanya akan menunggu di depan tiap ruangan, dan tidak mengekori kita kemana saja. Ini karena kejadian naas beberapa bulan yang lalu” sahutnya dengan nada suara yang ternyata berat. Terkejut dengan sosok yang tidak ia sangka akan menjawab pertanyaan remehnya, Irene sedikit menengok kebelakang untuk melihat siapa sosok yang tadi bicara dengannya. “Siapa namamu?” “Tuan putri bisa memanggilku Aaron” ujar si lelaki setelah sempat terdiam selama beberapa detik. Irene mengangguk angguk kecil.. ya... mengingat dirinya akan hidup disana selama bertahun tahun dengan memori yang seluruhnya terhapus, maka mau tak mau ia harus bisa beradaptasi dengan baik. Maka dimulailah dari sosok yang katanya akan selalu menemaninya setiap waktu itu. Rombongan manusia itu kemudian berbelok dengan serempak ketika sudah sampai di pintu besar dan elegan, yang gadis itu rasa merupakan tujuannya pagi ini. Ia melirik kesampingnya, melihat bagaimana gerombolan orang tadi sudah teriam memunggungi dinding dan berjajar di lorong, beberapa diantaranya mempersilahkannya masuk karena yang disebut sebut sebagai orang tuanya sudah menunggu didalam. Irene melirik kearah dua pelayan tadi, yang kini sudah jauh ada dibelakangnya karena semua pelayan berdiri sejajar, kemudian sedikit melirik kearah pria bernama Aaron dengan wajah bertanya tanya apakah ia benar benar harus masuk ke dalam ruangan asing ini. Well.. ya.. sejujurnya sih semua hal yang ia lihat kini adalah hal yang asing. “Yang mulia raja dan ratu sudah menunggu” ujar Aaron dengan sopan, membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk kedalam. “...yang lain??” “Kami akan makan ketika kalian semua sudah selesai makan, di ruangan yang berbeda” senyum Aaron cangung karena sejujurnya sedikit terkejut dengan konteks yang ditanyakan sang putri. “Kau juga?” “Tentu saja, tuan putri” Merasa sudah mendapatkan jawaban yang pas untuk semua pertanyaannya, kini si gadis memberanikan diri untuk memasuki ruangan tersebut seorang diri. Menatap sepasang love bird yang dengan sumringah memanggilnya, bahkan seorang wanita dewasa membuang tata kramanya untuk sedikit berlari dan memeluknya dengan erat. “Oh.. Irene.. Ireneku yang paling aku sayangi” ucapnya berdesis sedih sembari menciumi pelipis kanannya pelan. “Ibu sangat merindukanmu, anakku. Jangan pernah meninggalkan ibu lagi” ucapnya dengan akhir yang sedikit tersedu sedu karena beberapa rintik air mata mulai turun membasahi pipi. Dengan mata yang masih berkaca kaca, sosok yang memanggil dirinya sendiri sebagai ibu itu membawanya untuk duduk di samping sosok kepala negeri. Kedua perempuan satu ikatan darah itu terduduk mengapit sang kepala keluarga di bangkunya masing masing. “Ehm..” sau satunya lelaki yang ada di ruangan itu berdeham pelan ketika disela sela minumnya. “Ayah... sangat senang kau sudah bangun kembali. Tak usah berpikir yang membuatmu pusing, nikmati saja kehidupan ini. Nantinya memorimu akan terisi kembali” ujarnya dengan suara yang kikuk. Yang dinasihati hanya ikut tersenyum kaku, menimbulkan kekehan dari sang ratu sembari menggoda pelan suaminya. “Ayahmu ini, memang sedari dulu tak bisa mengungkapkan rasa sayangnya secara gamblang” ujarnya yang dibalas tatapan sebal dari si suami. “Ehm.. sudah sudah. Mari makan dengan tenang” ujarnya lagi yang malah kembali memancing tawa dari belahan jiwanya. Disini, Irene sedikit berpikir bahwa ia beruntung dengan fakta bahwa ia dilahirkan di keluarga yang harmonis, meskipun ayahnya adalah seorang pemimpin negara. Sejujurnya, ia sempat takut ketika diberi tahu fakta mengenai itu. Ia takut bahwa ayahnya adalah tipikal orang yang benar benar mengatur semua orang sesuai dengan kemauannya, dan sosok yang keras terhadap keluarga. Sebuah kelegaan jika memang sosok yang sempat ditakutkan olehnya itu bukanlah orang yang seperti itu. Ketiganya makan dengan tenang. Sesekali beberapa pelayan masuk untuk menghidangkan jamuan makan lainnya dan beberapa makanan penutup ketika merasa ketiga orang yang dilayananinya itu sudah selesai dengan piring masing masing. Beberapa diantara mereka dengan sopan dan kepala yang menunduk bertanya pada sang putri apakah dirinya memiliki keinginan untuk memakan hal lainnya, yang saat ini sedang tidak mereka sediakan. Namun bukan hanya tubuhnya yang kecil, tapi sepertinya kapasitas lambungnya pun sama kecilnya. Dengan porsi makan yang sedikit, gadis itu bahkan sudah benar benar merasa penuh dan sepertinya tak sanggup jika harus mengisi perutnya dengan sejumlah makanan lainnya. Maka dari itu, ia menolak dengan sopan. Kedua orang tuanya yang melihat hal itu saling melirik penuh arti, dan tersenyum tipis sebagai balasan. “Kau ingin melakukan apa lagi setelah ini, anakku?” ucap sang ibunda. “ngg.. Apa saja kegiatanku sebelum aku kehilangan ingatan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD