BAB 4 RAIHAN

644 Words
"Jadi, apa alasan yang tepat?" Aku tidak tahu. Ada yang salah dengan otakku. Barangkali sinting yang Putri punya ikut menjangkitiku. Kepalaku terus saja mengulang kejadian teragis kemarin. "Kamu mendengarku?" tanyanya lagi. "Aku dengar. Alasan apa yang bagus? Mungkin kita saling jatuh cinta pada pandangan pertama?" Matanya segera meremehkanku, tidak lupa dengan gerik melotot. "Pertemuan pertama kita di Bangka. Saat kamu menguntit Kak Neli." "Kamu lupa? Pernikahan Kakakmu, aku datang. Katakan saja alasan sebenarnya kamu ingin ke Padang karena aku." "Aku mengejarmu, begitu?" "Apa salahnya? Itu akan terdengar sangat wajar." "Orangtuaku akan sangat percaya." Dia mencibir, "Meta yang selama ini tidak punya teman lelaki tiba-tiba mengejar cinta ke Padang. Romantis sekali." Dia tidak cantik. Tapi, kepalaku berdenyut mengerikan. Betapa indah tubuh dengan kulit putih, bersih, mulus miliknya. Ada yang salah dengan semua hal ini. "Kenapa aku yang harus terlihat mengemis kepadamu? Aku tidak mau," tolaknya bersedekap. Aku juga tidak ingin menikah, belum pernah berkeinginan sama sekali. "Keluargamu yang perlu diyakinkan. Bagaimana kalau mereka menolak lamaranku dan ternyata kamu hamil?" "Terdengar mengerikan," katanya meringis. "Apa pekerjaanmu benar-benar bodyguard?" "Sejenis itu, tapi karenamu aku berhasil dipecat. Kamu akan aman bersamaku." Aku tahu yang akan terjadi malah sebaliknya, tapi dalam kasus ini meyakinkannya untuk percaya akan sangat penting. "Semenjak bertemu denganmu masalah selalu menjumpaiku. Hal paling mengerikan." "Maaf, biasanya orang akan mengatakan mereka beruntung bertemu denganku." Meta menggeleng, "Bukan aku." ××××××× "Semoga Salwa baik-baik saja," kata Neli gelisah. "Dia akan baik-baik saja," Farhan menenangkan. "Tenanglah." "Biasanya Kak Salwa menyembunyikan sakitnya, jadi mungkin ini ulah Bang Athan," timpal Meta apatis. Tidak tampak khawatir, bahkan peduli pun tidak. "Meta, kamu sakit? Sepertinya kamu menangis. Ada apa?" "Mungkin dia takut," jawabku seadanya. Tentu mengerikan segala hal yang dialaminya, dan yang akan dialaminya sesaat lagi lebih mengerikan. Menikah dengan lelaki yang tidak dikenal, dan mengakui jatuh cinta secara tidak wajar. Aku sangat mengerti perasaannya. Neli tersentak, "Apa yang kamu takutkan?" "Sebenarnya kami ingin menikah," jawabku tenang. "Apa?!" Suara serempak Neli dan Farhan. Aku tersenyum. Cukup menyenangkan melihat raut Neli yang terkejut, apalagi Farhan ikut terkejut. "Kalian selalu meyuruhku menikah, kenapa sekarang terkejut?" "Dengan adikku?" "Dia perempuan juga. Tidak salah, bukan?" "Hanya sedikit mencurigakan," kata Farhan memicing. Aku tidak bisa menyembunyikan kebenaran darinya, tapi mungkin perlu kulakukan semampuku. "Sama halnya saat kamu merengek ingin menikahi Neli." "Aku tidak merengek." "Meta? Bagaimana bisa kalian... Seingat Kakak kalian bertemu baru sekali ini." "Kami pernah bertemu sebelumnya," kataku dengan senyum perih. "Diamlah, Rai. Aku ingin dengar alasan Meta!" potong Neli. "Aneh sekali mendengar kalimat tegas darimu." Farhan berdeham pelan. Aku segera diam. Mobil ini akan segera keluar jalur saat Farhan menunjukkan api cemburunya. Dia benar-benar bisa menghilangkan nyawa kami berempat dengan satu pukulan ke supir taksi. "Allah pemilik hati manusia. Harusnya Meta bersyukur karena jatuh cinta kepada seorang yang juga merasakan hal yang sama." Aku terharu. Senyum lembut di akhir kalimat Meta terlihat tulus. Dia cukup cantik saat tidak melotot. Saat mengatakan kalimat bijak seperti itu dia tampak anggun, tapi juga pasrah. ×××××××× Aku merasa asing. Sebelumnya tidak pernah terpikir akan menikah karena pekerjaanku bisa membahayakan nyawa orang-orang terdekatku. Tapi setelah menyentuhnya tidak mungkin aku pergi dengan sebuah kata maaf saja. "Siapa dia?" "Teman," jawab Meta atas pertanyaan ibunya. Aku menyodorkan tangan, "Raihan, Tante." "Dia juga datang waktu dulu Neli menikah Ma, dia sahabat Abang." Senyum lebar tergambar, "Ah, begitu. Masuklah." "Terima kasih, Tante." "Mama sudah ke rumah Salwa? Bagaimana keadaannya?" tanya Neli segera. "Belum. Kata Athan kita boleh berkunjung kalau Rika sudah di sini. Mama jadi khawatir." "Mungkin sakitnya cukup parah," kata Farhan sekaku biasa. Neli menatapnya dengan permohonan, "Abang." "Oke. Salwa pasti baik-baik saja." Aku tersenyum geli karena kini Farhan seperti menuruti semua keinginan Neli. Kalau saja kami hanya bertiga aku tentu sudah menertawakannya. Tapi aku harus mengutamakan hal yang memang utama. Meta akan jadi istriku, artinya nyawanya akan selalu dalam bahaya, begitu pun dia akan selalu digunakan musuh sebagai kelemahanku. Sungguh merepotkan. ××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD