BAB 3 META

624 Words
Aku ingin mati! Hanya itu. Aku mendengar suara mereka, meski tubuhku yang Raihan sentuh Putri yang mendesah. Aku ingin sekali berteriak dan lepas dari kegilaan mereka tapi percuma saja, tubuhku tidak seperti hati dan pikiranku. Aku merasa mengerikan. Aku sadar dan jijik dengan yang sedang terjadi, tapi secara jujur tubuhku menikmati sentuhan lembut Raihan. Satu-satunya hal yang membuat kenikmatan itu berantakan, suara Putri dan kenyataan bahwa tindakan asusila itu haram dan melanggar hukum, semua hukum. "Sudah." Raihan melepasku. "Sekarang berikan kuncinya!" Suara tawa putri terdengar riang, "Kamu memang tidak paham perempuan. Lakukan sampai dia tidur damai." "Apa?! Mana mungkin." "Perlu mereka yang melakukannya?" Aku berontak. Satu orang cukup. Aku akan mati menanggung malu kalau hal ini akan berlanjut lebih biadab dari yang sudah terjadi. "Dia sepertinya suka yang kamu lakukan." "Dia mungkin saja sedang mendoakan keburukan untuk kita. Kamu tidak takut? Dia berasal dari Bangka, yang kata orang-orang kental dengan ilmu sihir paling kuat." "Aku tidak akan percaya hal seperti itu." "Aku percaya perempuan cantik selalu baik hati. Biarkan kami pergi dari tempat ini." "Lakukan sekali lagi." "Setelah itu lepaskan kami. Janji?" "Kamu juga tepati janjimu, atau vidio kalian akan tersebar." Aku merasakan kembali sentuhan Raihan. Dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya tapi kini saat bangun tubuhku berada di sebuah kamar dengan pakaian sudah berganti. "Apa aku mimpi?" Suaraku terdengar serak. "Maafkan aku." Aku melihat Raihan duduk tidak terlalu jauh. "Sungguh, aku minta maaf membuatmu terlibat." Aku hendak duduk, lalu merasakan sakit di sekujur tubuhku. Tak bisa kucegah, mataku menangis lagi. "Kenapa kamu lakukan. Aku lebih baik mati dari pada..." "Meta, kamu hidup." "Aku membencimu!" "Aku akan melamarmu, dan kamu harus menerimanya." Sangat tidak masuk akal. "Kenapa?! Setelah yang kamu lakukan? Aku tidak akan..." "Karena yang telah kulakukan." "Aku tidak mau menikah denganmu." "Kamu akan menjadi istriku, setidaknya sampai kita pastikan kamu tidak hamil." Kepalaku berdenyut cepat. Kata hamil membuat sekujur tubuhku membeku. Aura dingin dan mencekam. Aku menarik selimut. "Tinggalkan aku." "Kamu aman di sini. Tidurlah. Kalau lapar aku akan menghidangkan makanan untukmu." "Di mana aku?" "Rumahku. Dan akan segera menjadi rumahmu juga." Kudengar langkahnya keluar dan pintu tertutup.  Hidupku yang penuh dengan rencana kini semuanya hancur. ××××××× Aku terbangun oleh suara ponsel. Seseorang sedang berdiri membelakangiku dan melihatnya. "Dari siapa?" Raihan berbalik dan menyerahkan, "Kakakmu. Jangan katakan kamu di sini." Aku menjawab panggilan. "Ada apa Kak?" "Meta, kami mendapat kabar kalau Salwa sakit." "Kak Salwa?" "Iya. Kakak akan langsung pergi. Kakak pikir sakitnya parah," katanya terdengar tidak tenang. Aku menghela napas pelan, "Mungkin mereka hanya bertengkar lagi. Tiket Meta juga hari ini." "Kakak tunggu kamu di sini. Nanti Abang akan minta Raihan untuk mengantarmu." Aku sedikit meliriknya, "Baik." "Hati-hati di jalan, Meta." "Baik, Kak." Raihan bersedekap, "Pertemuan keluarga?" "Kakakku sakit. Mungkin sebentar lagi Bang Farhan akan meneleponmu." Suara ponsel terdengar. Raihan segera menjauh. Aku juga segera berdiri, tapi tidak tahu harus melakukan apa. Sekelilingku terlihat rapi, dan bersih. "Aku akan membeli tiket dan ikut," katanya muncul kembali. "Kenapa?" "Aku akan melamarmu, sebaiknya yakinkan keluargamu untuk menerimaku dan menyegerakan pernikahan." "Tapi..." "Aku akan bertanggungjawab sepenuhnya terhadapmu." Kepalaku sungguh akan pecah, rasanya berat. "Beri aku waktu untuk berpikir." "Pikirkan alasan kita untuk menikah, yang akan dipercayai keluargamu." "Berhenti mengaturku!" "Oh, maaf. Bukan maksudku begitu." "Aku perlu barang-barangku di rumah Kak Neli." "Sudah kubawakan." "Kapan? Dan kenapa kamu lakukan hal itu tanpa persetujuanku?!" "Menghemat waktu. Sebaiknya kita pergi sekarang, aku tidak mau Neli menunggu terlalu lama." "Aku juga tidak ingin berlama-lama di sini!" "Oh, kamu akan. Aku yakin orangtuamu akan setuju kalau kamu harus ikut suamimu." "Kita belum menikah!" "Mungkin besok." Aku yakin tidak akan bisa bersama dia. Lelaki satu ini punya lidah yang lebih cepat membantah, dan dia punya kemampuan khusus untuk membuatku marah dengan cepat. Bagaimana bisa kami menikah?! ××××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD