BAB 2 RAIHAN

1536 Words
Patah hati. Sekarang aku yakin bisa mendeskripsikan perasaan itu secara jelas. Dulu aku menertawakan orang yang patah hati, tapi sekali pertama merasakannya aku merasa tubuhku sakit seluruhnya. Bertengkar, terluka dan masuk UGD rasanya belum separah patah hati. Makan tidak enak, dan segala hal membuatku kelelahan. Aku memang salah menempatkan hati, wajar saja bagiku menanggung akibatnya. Tapi Nellyana Syifa benar-benar membuatku jatuh cinta. Farhan punya keberuntungan yang langka. Wajahnya tampan. Fisiknya mempesona. Kemampuan memimpin yang bagus. Istri yang sangat setia.   Selama ini aku menunggu saat yang baik, perpisahan mereka. Tapi tidak begitu yang terjadi. Farhan meskipun sibuk dan bertemu banyak perempuan, cintanya masih hanya Neli. Neli meskipun menunggu seperti janda kembang, tetap selalu menyambut dan menanti kepulangan Farhan dengan persiapan maksimal. Hatiku sakit sekali melihat Neli pergi. Kini Farhan bahkan tidak mempercayaiku lagi untuk menjaga Neli. Hilang kepercayaan dan hilang kesempatan. Aku merasa sangat tidak baik.   Ponselku berdering. Aku tetap di tempatku. Berbaring dan menutup bantal di wajah. Panggilan itu tidak mungkin dari Farhan untuk menjaga Neli, karena saat ini mereka sedang di stadion menyaksikan pembukaan Asian Games. Akhir-akhir ini Neli pergi ke mana saja Farhan pergi. Dan Neli tampak sangat bahagia dengan wajah merona malunya yang manis. Suara ponsel tetap berdering, mengganggu khayalan tentang gurat kebahagiaan Neli bersama Farhan. Aku mengambilnya setengah hati. "Kamu di mana?" "Rumah." "Anak itu benar-benar merepotkan. Bisa kamu pastikan dia..." "Aku sibuk." "Aku akan menambah bayaranmu. Terakhir dia di..." "Aku sakit." "Sakit? Benarkah? Perlu kupanggilkan dokter?" Nada khawatir itu tulus. Sayang sekali bukan Neli yang mengatakan itu. Sakit ini akan berakhir kalau Neli yang mencemaskan aku. "Aku tidak bisa hari ini. Aku perlu istirhat." "Baiklah." Helaan napas terdengar. "Kuharap ada seseorang yang bisa menjaganya sepertimu." "Hedy. Dia paling mungkin daripada yang lain." "Aku sudah mengutusnya tadi. Kamu masih menolak menjadikannya sebagai istri?" Aku menggeleng. Patah hati ini cukup sekali. Dan jatuh cinta, sungguh hal merepotkan itu jangan sampai terjadi lagi. "Dia punya banyak kekasih. Restui saja salah satunya sebagai menantu." "Aku masih menunggumu sebagai menantuku." Aku segera memutuskan panggilan. Rasanya sangat berat. Sebelum mengenal Neli aku tidak pernah mengimpikan sebuah kasih sayang, tapi kini aku lebih suka diriku yang sebelum bertemu Neli. Aku harus lebih waras sebelum Farhan membunuhku dengan kecemburuannya. ××××××××××××××   Aku baru selesai mandi saat ponselku kembali berteriak. Sangat meresahkan tidak mendapat hari libur sebagai momentum keberkabungan patah hati. "Daddy mencarimu," kataku mendahuluinya. "Kapan kamu akan dewasa dan berhenti merepotkan orang lain?" "Mungkin setelah ini." Senyum terdengar, "Aku berulah. Datanglah." Aku malas sekali mendapat gangguan di hari berduka ini. "Hari ini aku bebas tugas. Terserah kamu dengan keinginan gilamu." Aku mematikan sambungan lalu ponsel mendapat pesan. "Kekasihmu bersamaku. Segera datang kalau kamu ingin dia utuh dengan pakaiannya. 30 menit." Ancaman itu mustahil. Aku tidak pernah punya kekasih, bahkan sekali jatuh cinta dan seketika patah hati. Tapi yang paling aku khawatirkan adalah istri Farhan. Menyebalkan sekali perasaan yang seperti belenggu ini. Aku menghubungi Farhan. "Kamu aman?" "Tentu. Kamu ingin bergabung?" Mana mungkin. Patah hatiku bisa remuk redam kalau melihat mereka secara langsung. "Neli, apa dia bersamamu?" "Ya. Kenapa kamu mencarinya?!" Aku sangat tidak ingin bermasalah. "Aku hanya bertanya. Sungguh. Dengar... bisa serahkan ponselmu kepadanya sebentar?" "Apa yang ingin kamu bicarakan?!" Aku tahu akan kalah darinya, tapi sekali ini mendesak. "Farhan, ini penting." "Raihan? Ingin bicara denganku?" Aku bisa mendengar nada bingung Neli. Bahkan kuyakin gambaran ekspresinya dalam benakku tidak salah. "Rai?" Aku memaksa tersenyum, "Aku hanya ingin mengucapkan selamat bersenang-senang." "Berkatmu juga, terima kasih." "Aku tutup." Cukup melegakan. Tapi kemudian ponselku berdering lagi. "Ada apa lagi?" "Kamu sungguh tidak akan datang?!" "Tidak." "Ini kekasihmu, bicaralah." "Bodoh, aku tidak punya kekasih!" Aku sedikit mengenal suara itu. Kemampuan daya ingat dan sensorik otakku sangat bagus. "Meta?" "Raihan?" Nada terkejut yang tak terduga. "Kalian salah orang, aku bukan kekasihnya!" "Oh, benarkah, padahal kamu berada di rumah itu. Apa yang sebaiknya kulakukan pada perempuan ini?" "Jangan sakiti dia," cegahku cepat. "30 menit. Kamu setuju untuk datang." Meski Meta memang bukan kekasihku, malah sebenarnya kami tidak saling mengenal. Meta, adik Neli. Meski mereka satu darah, keduanya seperti air asin dan air tawar. Tapi aku harus membebaskannya daripada Neli ikut membenciku, apalagi kalau terbongkar identitasku yang sebenarnya. ××××××××××× Aku segera bersiap. Aku kenal beberapa perempuan sinting, dan dari semuanya, Putri punya kedudukan paling atas. Dia merepotkan, dan begitu merepotkan. Aku datang ke tempat yang dikatakannya. Hal pertama yang kulihat Meta terikat. Sayang sekali, meskipun aku pernah menjuarai berbagai kompetisi bela diri tapi jika lawannya  banyak dan rekanku pula, aku akan kalah juga. Jadi jalan terakhir yang bisa kulakukan hanya negosiasi. Aku tahu ini tidak mudah, tapi tidak salah untuk mencoba. "Aku datang, lepaskan dia." "Tidak semudah itu. Gara-gara kamu tiga kekasihku selingkuh!" Aku sangat paham. Tapi Putri tentu tidak paham kalau aku sedang perlu mengenang patah hatiku yang pertama. "3 kekasih. Artinya kamu juga selingkuh." "Kamu tidak paham situasimu. Biar kujelaskan." "Aku paham, kalian menangkap orang yang salah. Dia bukan kekasihku." Putri mengangguk, "Benar. Tapi aku tidak peduli. Biar kuberi kamu pilihan." Dia cantik, dan saat ini baik, padahal sebelumnya dia tidak pernah baik. "Tidak perlu, aku hanya perlu melepasnya dan pergi." "Dia berjilbab, tentu dia munafik. Apa dia perawan? Kuyakin lelaki yang tak mengerti kesenangan sepertimu pasti tidak punya nafsu kecuali terhadap uang." Hoho. Dia tidak tahu apapun tentang hati lelaki. "Bayaran dari ayahmu cukup." "Hajar dia." Aku tentu melawan, tapi lawanku adalah mereka yang biasanya bertempur bersamaku. "Ini curang." "Seperti itu yang kamu lakukan terhadapku. Kuyakin perempuan ini juga punya keinginan sepertiku. Dia belum merasakan kesenangan karena jilbabnya, sebenarnya dia ingin. Biar kutunjukkan padanya kenikmatan itu apa." "Jangan...!" Putri tersenyum, "Mulai!" Seorang dari mereka mendekati Meta dan robek jilbabnya lalu seorang yang lain merobek bajunya. Meta tidak bisa menjerit meskipun dia berontak dengan tubuh terikat. Aku sudah mencegah dan coba melepaskan rantai yang membelenggu Meta tapi percuma. Aku tidak peduli lagi terhadap apa yang akan terjadi padaku, tapi Meta harus menjauh dari segala hal ini. Masalah ini harus cepat selesai agar aku bisa beristirahat cukup. "Baiklah, apa yang kamu inginkan?" "Ikat dia juga." Aku merasa seperti boneka. Dan lebih parah dari segala hal, teman-teman yang biasanya membantuku kini berpihak kepadanya. Putri bersedekap, "Berjanjilah. Kamu tidak lagi menggangguku, tidak bekerja dengan ayahku dan berhenti mengekang kesenanganku." "Setuju. Sekarang lepaskan kami." "Tidak semudah itu. Harus ada seseorang yang membencimu, sepertiku. Kalau beruntung kamu bisa dipenjarakan." "Apa maksudmu?" "Dia." Aku tercengang saat teman-temanku melepas Meta dan mengunci tubuhnya di tempat tidur. Tempat tidur dengan empat sisi tiang dan besi pengekang tiap sisinya. Suara berantakan yang Meta lakukan terdengar begitu keras, tapi tubuhnya tentu tidak bisa leluasa dengan empat orang lelaki yang mengunci tangan dan kakinya. "Kamu bisa memilih, memberinya sendiri, atau sepuluh orang lain yang menikmatinya? Sama saja, aku akan tetap mengabadikan sebagai vidio kualitas HD." "Tidak! Aku lebih baik mati daripada menanggung hal seperti itu," teriak Meta berhasil melepas ikatan mulutnya. Putri mendekat, mengambil cuter dan menyayat paha Meta. "Jangan merintis, katamu lebih baik mati." Meta tampak menyedihkan. Dia kesakitan dan tentu saja ketakutan, matanya menangis dan wajahnya sangat merah menahan malu juga marah. Pilihan yang Putri beri seperti hukuman yang lebih berat daripada kematian. "Bunuh saja aku!" Putri mengambil garam dan menaburkan di atas sayatan tadi. Meta menggeram menahan perih. "Di sini aku punya segala hal untuk memuaskan keinginanmu. Kamu akan merenggangkan kakimu supaya bisa membiarkannya masuk, dan itu akan membuatmu menyukainya." "Berhenti!" Aku yakin kalimat seperti itu tidak pantas diperdengarkan, terutama bagi perempuan yang taat seperti saudari Neli. "Berhenti." Putri berbalik mendekatiku, "Jadi, kamu mau menolongnya dari kematian?" "Tidak. Aku lebih baik mati." Putri secara cepat mundur lalu menampar Meta. "Mau wajahmu yang kugores?!" "Akan kulakukan." "Bagus!" Putri tersenyum mengusap wajahku, "Harusnya kamu tidak menolakku. Kamu harusnya mencintai perempuan, hati dan tubuhnya bukan uang." "Lepaskan dia," pintaku sungguh-sungguh. "Kesempatanmu sudah habis." "Daddy memintaku menikahimu, kamu berminat?" "Harusnya tawaran itu terjadi sebelum hari ini. Sayang sekali, aku terlanjur membencimu." "Putri..." "Tidak perlu merayuku. Aku tidak bodoh. Tidak akan kuberikan kuncinya kecuali aku mendapat vidio HD," katanya melepas ikatanku. "Dia sungguh tidak ada hubungan apapun denganku..." "Aku... tidak peduli," katanya lalu mendorongku kepada Meta. Sebelumnya aku hanya melihat uluran jilbab dan gamis, kini mata bekas tangis dan ketakutan itu menyita segala hal. "Rai, aku lebih suka mati. Ambil pisau dan tusuk jantungku. Aku akan berterimakasih kalau kamu mau melakukannya." Sebelumnya aku tidak pernah merasa sangat buruk, tapi saat ini pilihan yang harus kuambil membuat diriku sendiri menjijikkan. "Pejamkan matamu, dan bayangkan seorang yang paling kamu cintai yang melakukannya." "Rai, aku tidak mau! Aku akan menikah dulu..." Aku mengusap wajah berdebu, berkeringatnya yang memohon dan takut. "Dengan nama Allah, kuhalalkan dirimu, sebagai istriku. Allah dan para malaikat sebagai saksinya." "Bukan seperti itu pernikahan!" teriaknya berontak. "Aku tidak akan membawa penghulu untuk kalian," kata Putri tersenyum mengarahkan kamera. "Rai jangan!" Aku merobek bajuku dan mengikat mata Meta lalu menutup mulutnya juga. "Jangan lihat, dan jangan memikirkan apapun. Aku tidak akan menyakitimu." "Ah, tubuhnya indah." Putri melepas kancing celana yang kupakai, "Tubuhmu juga tidak mengecewakan." "Kuharap kamu berbaik hati mengusir mereka keluar. Mereka akan malu dengan gagahnya diriku." Putri tertawa, "Benar juga." Aku mencoba kebaikan lain yang mungkin masih berbekas di hatinya. "Bagaimana kalau tidak mengabadikannya dengan vidio juga?" Putri tersenyum lebar dan menggeleng. "Mulai!" Aku tahu, setelah malam ini seluruh kebebasan yang kumiliki semula bukan milikku lagi. ××××××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD