NANA OH NANA - BAB 1

1223 Words
Duka terdalam menyelimuti keluarga Nana. Hari ini tepat seusai Nana melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas, Nana kehilangan sosok penguat dalam hidupnya. Tadi siang, seusai dia pulang sekolah, dia mendapat kabar ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Nana menangis dengan memeluk adiknya yang masih berusai lima tahun. Di usianya yang masih menginjak usia lima belas tahun, Nana di tinggalkan seseorang yang sangat ia sayangi. Nana sekarang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pitaloka, adik Nana, dia masih belajar di taman kanak-kanak. “Kak, ayah nanti pulang tidak?” tanya Pitaloka. Adik kesayangan Nana. “Pita, ayah sudah di surga, jadi ayah tidak bisa pulang lagi. Pita jangan rewel, ya?” jelas Nana. “Berarti ayah sudah meninggal, Kak? Kata Febi teman Pita, kalau orang di surga berarti sudah meninggal,” ucap Pitaloka. Nana tidak bisa menjawabnya. Dia hanya menangis dengan memeluk adiknya. Nana melihat ibunya yang dari tadi menangis histeris karena kehilangan ayahnya. Nana mencoba menjadi penenang ibu dan adiknya. Dia harus memasang hati yang kuat dalam dirinya, agar ibu dan adiknya tidak terpuruk dengan keadaan sekarang. Padahal sebenarnya, hati Nana pun rapuh, kehilangan sosok ayah yang sangat menyayangi dirinya. “Na, kamu sudah makan?” tanya Ayu, adik dari ibunya. “Nanti, Bi. Nana belum lapar,” jawab Nana. “Pita makan, ya?” bujuk Ayu. Pita menganggukan kepalanya. Ayu langsung menggendong keponakannya dan menyuapinya. Candra, paman Nana, hanya melihat Nana yang dari tadi menangis di dalam kamarnya. Dia mendekati keponakannya, dan merasa trenyuh melihat keponakannya kehilangan ayahnya. “Na, makan dulu. Jangan seperti ini, kamu anak pertama, kamu harus kuat,” ucap Candra. “Paman, Nana belum ingin makan,” jawab Nana. “Kak, makan, ya? Yuk makan sama Sekar,” ajak Sekar. Sepupu Nana yang masih kelas empat SD, tapi Nana tetap tidak mau makan. Sekar adalah anak pertama Ayu dan Candra. Dia sangat akrab dengan Nana, dan sangat lengket dengan Marlina, ibunya Nana. “Nanti, Sekar. Kak Nana belum lapar,” jawab Nana. “Ya sudah, paman tinggal, ya? Sekar, temani Kak Nana,” ucap Candra dan meninggalkan keponakannya yang sedang menangis. Nana tidak tahu, nasibnya ke depan akan bagaimana setelah di tinggalkan ayahnya. Sebentar lagi dia akan naik kelas tiga. Tentunya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA). Dan dia juga ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang Dokter. ^^^ Lima bulan setelah kepergian ayahnya. Nana merasa ibunya selalu mengeluh soal perusahaan ayahnya. Pasalnya ibunya Nana tidak bisa mengurus persuhaan peninggalan ayahnya. Marlina, ibunya Nana hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Beliau tidak terlalu paham soal perusahaan. Marlina memutuskan untuk mengalihkan perusahaan Rahmat, mendiang suaminya pada Kakak laki-lakinya yang bernama Aziz. Tapi, Aziz juga tidak bisa sendirian untuk menangani perusahaan Rahmat yang sangat besar dan sedang maju. “Lina, bagaimana kalau aku kelola Perusahaan Rahmat bersama Candra?” tanya Aziz. “Mas, semua Lina serahkan sama, Mas. Yang terpenting, itu bisa berjalan, agar Nana bisa melanjutkan sekolahnya, dan kuliah, sesuai apa yang Nana cita-citakan” jawab Marlina. Marlina terlahir tiga bersaudara. Dirinya anak kedua, yang pertama adalah Aziz, dan yang ketiga adalah Ayu Paramita, istri dari Candra. “Mas Rahmat anak satu-satunya, dia tidak memiliki saudara, papa dan mamanya juga sudah meninggal, aku mau meminta bantuan dengan siapa lagi kalau tidak dengan Mas Aziz dan Kamu, Candra?” ucap Marlina. “Baik, Mbak. Saya akan membantu Mas Aziz. Tapi, pembagian hasilnya juga harus jelas, Mbak,” ucap Candra. “Iya, itu aku serahkan pada Mas Aziz. Yang terpenting, Mbak minta, agar Nana bisa melanjutkan SMA san kuliah,” ucap Marlina. “Tenang, Lin. Aku pun akan berusaha, agar keponakan ku semua bisa sekloah dan mendapat pendidikan yang baik. Kamu jangan khawatir itu, aku akan mengelola perusahaan Rahmat dengan baik,” ucap Aziz. “Benar apa kata Mas Aziz, Mbak. Aku pun ingin membantu Mbak, agar keponakanku bisa sekolah dan mendapat pendidikan yang baik,” imbuh Candra. Marlina semakin yakin, kalau perusahaan peninggalan suaminya akan dikelola dengan baik oleh kakanya dan adik iparnya. Tapi, Nana yang tidak enak hati, seakan tidak rela perusahaan ayahnya akan di pegang oleh pamannya juga. Mungkin kalau Pakdenya, Nana tidak akan ragu, tapi Nana ragu saat mendengar Candra, pamannya ikut serta mengurus perusahaan ayahnya. Meski umur Nana belum dewasa, dan belum mengenal apa itu arti cinta dan selingkuh, Nana sudah tahu kelakuan b***t pamannya. Semua Nana tahu, karena teman sekelasnya adalah anak dari selingkuhan pamannya. Candra memiliki hobi dunia malam dan sering kepergok selingkuh oleh istrinya. Ayu pun hanya bisa pasrah mendapat perlakuan suaminya. Bagaimanapun suaminya adalah pilihannya dulu. Padahal Rahmat, kakak iparnya sangat tidak setuju kalau Ayu menikah dengan Candra. Karena mata hati Ayu tertutup oleh cinta, akhrinya dia menikah dengan Candra. Dan, sekarang dia menuai hasil dari pernikahannya yang tidak pernah harmonis sedikitpun. Hanya kepedihan yang selalu Ayu terima. Bahkan jika Ayu meminta nafkah lahir dari suaminya, harus uring-uringan dulu. Padahal Candra seorang manager, dan pengahsilannya sangat besar, tapi uangnya ia gunakan untuk foya-foya bersama wanita lain. Beruntung Ayu bisa bekerja sendiri, menjadi seorang perawat di rumah sakit swasta. Nana masih tidak percaya ibunya akan menyerahkan semua perusahaan ayahnya pada Pakde dan pamannya. “Mungkin, kalau hanya Pakde Aziz saja yang memegang perusahaan ayah, aku rela. Tapi, kalau paman Candra, aku sedikit tidak rela. Bahkan aku sama sekali tidak rela,” ucap Nana dengan lirih. Nana masih belum bisa tidur. Dia memikirkan sebentar lagi akan masuk SMA, dan perusahaan ayahnya akan di kelola oleh pamannya yang kurang ajar itu. Marlina masuk ke kamar anak sulungnya. Dia ingin membicarakan keputusannya yang akan menyerahkan perusahaan peninggalan suaminya pada Aziz dan Candra. “Belum tidur, Na?” tanya Marlina. “Belum, Bu,” jawab Nana. Marlina duduk di samping anaknya yang masih memegang ponselnya, karena baru saja dia bertukar pesan dengan temannya. “Bu, ibu yakin akan menyerahkan perusahaan ayah pada Pakde dan paman?” tanya Nana. “Iya, Nak. Mau siapa lagi yang akan mengelola, ibu hanya punya saudara laki-laki ya mereka. Pakdemu dan pamanmu itu,” jawab Marlina. “Mungkin kalau hanya Pakde saja, Nana rela, Bu,” ucap Nana. “Kenapa begitu?” tanya Marlina. “Ibu tahu bagaimana kelakuan Paman Candra, kan? Dia sukanya menghamburkan uang, Bu. Untuk main perempuan,” jawab Nana. “Kamu itu seperti ayahmu saja. Jangan ditiru sikap ayah kamu yang selalu tidak menyukai paman kamu itu,” tutur Marlina. “Bu, bukan aku meniru sifat ayah, karena itu memang adanya, Bu. Paman itu selingkuh terus, dan dia sekarang sedang selingkuh dengan....” ucapan Nana terhenti, dia berfikir sejenak, karena tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, kalau Nana tahu pamannya sedang memiliki wanita simpanan lagi, yaitu ibu dari teman sekelasnya yang janda kaya raya. “Selingkuh dengan siapa? Kamu anak kecil sudah tahu soal selingkuh, Nak,” ucap Marlina. “Dia selingkuh dengan ibunya Vivi, Bu,” jawab Nana tapi dalam hatinya. “Ya selingkuh dengan wanita lah, Bu,” jawab Nana dengan gugup. “Sudah, Paman Candra tidak mungkin selingkuh lagi, karena dia sudah janji dengan Eyang Kakung dan Eyang Uti, juga orang tua Paman Candra juga.” ucap Marlina. “Kamu tidak usah khawatir, Nak. Ibu percaya pada Paman dan Pakde kamu, sudah kamu tidur,” imbuh Marlina. Nana tidak bisa berkata apa-apa, karena dia juga tidak mau menambah masalah lagi. Percuma saja juga, Nana mengatakan yang sebenarnya pada ibunya, toh ibunya terlalu percaya pada Pamannya yang kurang ajar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD