Bab 3

2056 Words
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Begitu pula waktu untuk segera berangkat ke pulau tetangga yang begitu asing untuk Rengga pijaki satu tahun ke depan. Aroma tanah yang basah di depan rumah adalah penutup dan pengiring kepergian dirinya. Semua orang rumah datang mengantarkannya ke Bandara. Tidak terkecuali kakak iparnya yang baru saja pulang dinas luar kota. Mama dan Papanya juga tidak absen untuk mengantarnya. Meskipun Rengga sudah tergolong laki-laki dewasa, namun tetap saja mereka belum pernah sejauh ini dengan Rengga. Profesor Leko pun sengaja datang dan mengosongkan semua jadwalnya hanya untuk mengantarkannya ke bandara. Seharusnya Rengga bisa merasa tersanjung jika ini adalah kemauannya. Sayangnya, Rengga hanya melakukan semua ini karena formalitas saja. Bukan karena datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Setelah mendengar panggilan pesawat akan segera berangkat. Rengga bersiap, menyalami satu-persatu orang yang berada di sana. Ada juga Sakti yang rela datang hanya untuk mengantarkannya. Walaupun Papanya adalah orang yang paling setuju dengan penugasan dirinya, namun Papanya juga orang yang paling sedih ketika harus melihat putra bungsunya berada di daerah terpencil. Suasana tampak haru, begitu pula ketika Rengga mendapatkan sedikit wejangan dari Profesor Leko, orang paling berpengaruh di rumah sakit. Banyak sekali keinginan yang ingin Rengga utarakan, namun rasanya akan semakin berat untuk melangkah pergi. Rengga memeluk Viona, kakak perempuannya yang saat ini tengah hamil muda. Dia juga baru tahu semalam jika akan menjadi seorang om. Bagaimana senangnya dia saat tahu kakaknya akan segera mempunyai anak. Dia juga ingin melihat semua proses itu, namun sayangnya terbatas oleh ruang dan waktu. Rengga juga meminta Dino, kakak iparnya, untuk selalu menjaga Viona. Meskipun mereka pernah terpisah karena Viona kuliah di luar negeri. Lantas tidak membuat keduanya tidak akrab. Terakhir adalah pelukannya untuk Mamanya yang berusaha setegar mungkin untuk tidak menangis. Perempuan itu adalah orang yang sangat Rengga sayangi. Meskipun Mamanya sering membawakan perempuan untuk dijodohkan dengannya, namun Rengga yakin jika Mamanya hanya ingin yang terbaik untuk dirinya. Dia akan sangat rindu omelan Mamanya yang memintanya mendekati perempuan, atau makan makanan yang bergizi ketika sering mengonsumsi mie instan. "Jaga kesehatan ya, Ma. Jangan lupa makan, jangan lupa istirahat, jangan lupa untuk cariin Rengga jodoh." Ucap Rengga yang membuat Mamanya terkekeh pelan. Mungkin akan sedikit menghilangkan rasa sedih di hati Mamanya meskipun hanya sedikit. Sebuah kecupan mendarat di keningnya dengan susah payah, karena Mamanya harus berjinjit. Rengga menundukkan kepalanya, tersenyum seperti anak kecil. Jika dulu, dia sangat malu diperlakukan seperti ini di depan umum, beda dengan sekarang. Dia merindukan menjadi anak kecil yang tidak tahu sakit itu apa. Yang dia tahu hanya malu dengan perlakuan kecil seperti ini. Mereka saling melepas pelukan, diiringi dengan kesedihan yang semakin terasa karena waktu keberangkatan Rengga semakin dekat. Rengga berjalan menjauh, sudah beberapa kali pemberitahuan itu dia dengar. Tidak lucu kan jika sampai ketinggalan pesawat? Apalagi sudah melewati fase haru biru seperti ini. Tangannya melambai, senyuman diwajahnya mulai mengembang. Dia tidak mau membebani keluarganya. Ini hanya sementara, ini hanyalah tugas biasa. Hanya saja, Rengga perlu menetap beberapa waktu. Demi karirnya, mungkin itu saja yang akan dirinya ingat. Rengga memasuki pesawat, mencari tempat duduk sesuai dengan yang tertera di tiket pesawatnya. Pikiran dan hatinya tidak karuan. Rasanya aneh, tidak bahagia, bahkan seperti terserang mood swing yang tidak karuan. Kadang merasa biasa saja, namun disaat yang bersamaan, dia merasa ketakutan. Di dalam pikirannya hanya berisi, bagaimana jika? Terus begitu. Bahkan ketika pesawat sudah siap lepas landas, instruksi dari pramugari sudah dilakukan, ada yang tertinggal namun bukan barang. Berat sekali untuk melanjutkan namun mau bagaimana lagi? Rengga tersenyum samar. Semuanya sudah terlambat, ini adalah keputusan yang telah dia buat sendiri. Mau tidak mau, dia harus menyelesaikan semuanya. Hanya berbekal tiket dan juga keberanian yang setengah, Rengga nekat datang ke pulau yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Walaupun sekedar liburan sekalipun. Rengga tidak tahu akan betah atau tidak, namun sudah banyak ketakutan yang dia simpan di dalam dirinya. Ketakutan yang seharusnya tidak perlu dia tumbuhkan. Rengga merenggangkan badannya, pegal karena harus duduk berjam-jam nantinya. Orang-orang tampak menikmati perjalanan mereka. Mungkin memang tujuan sejak awal akan datang kesana dengan sanak saudara atau teman. Rasanya akan menyenangkan jika dirinya datang bersama dengan keluarganya untuk berlibur. Sudah lama sekali mereka tidak naik pesawat bersama untuk pergi ke suatu tempat hanya untuk menikmati waktu bersama. Rengga kembali mengingat potongan kenangan di masa lalu. Ketika dia dan Viona masih kecil. Mereka sering sekali bermimpi untuk bisa keluar negeri dan menikmati waktu bersama keluarga. Menunggu Papanya yang tidak kunjung pulang dari tugas menjaga negara ini. Papanya juga pernah ditugaskan ke daerah Timor-timur yang sekarang ada Timor-Leste. Rengga sering marah karena Papanya tidak pernah ada waktu untuk keluarga. Sampai mereka tumbuh menjadi remaja yang kehilangan kasih sayang seorang Papa. Namun sekarang Rengga mengerti, dibalik sikap diam Papanya, begitu banyak beban yang telah ditanggung tanpa orang lain mengerti rasanya. Bahkan dia merasa sangat bersalah jika mengingat, betapa kejamnya dirinya dulu. Memvonis Papanya, tidak menyayangi keluarga hanya karena Papanya tidak bisa berlaku sama seperti papa dari teman-temannya. Sekarang dia merasakan, bagaimana rasanya harus meninggalkan keluarga karena diminta untuk mengabdi pada negerinya. Berbeda dengan Papanya, semua dia lakukan karena beberapa alasan untuk kepentingannya sendiri. Sedangkan Papanya bekerja siang malam untuk menjaga semua orang yang disayanginya, bahkan untuk orang-orang yang tidak dikenalnya. Matanya perlahan memejam, sayang sekali waktunya semakin habis untuk berkumpul bersama keluarganya. Belum sampai saja, rasa rindunya mendengar suara celotehan Mamanya yang mengingatkan ini dan itu sudah membuatnya ingin segera pulang. Rasanya belum puas memeluk kakak perempuannya yang akan segera menjadi seorang ibu. Belum lagi, pikirannya terpental jauh kepada Calista. Perempuan yang sudah mendeklarasikan telah jatuh cinta kepadanya. Sayangnya, mereka belum sempat bertemu untuk mengklarifikasi hal itu kembali. Rengga masih belum siap, sampai akhirnya waktunya habis untuk berpikir saja. Rengga juga berharap, dengan jauhnya jarak diantara mereka, Calista dapat membuka lembaran baru dengan orang yang baru. Setidaknya, apapun yang pernah mereka lalui adalah kenangan tersendiri yang selalu Rengga simpan di dalam hatinya. Mungkin, hanya sekedar persahabatan yang mampu dia suguhkan. Bukan perasaan cinta apalagi hubungan percintaan yang sering orang lain tunjukkan. Mereka bukan sahabat yang menjadi cinta. Ya, mungkin itu berlaku pada Calista. Namun tidak dengan Rengga. Rengga belum ingin jatuh cinta. ### Jalanan penuh dengan debu yang berterbangan langsung menyambut dengan hangat. Hamparan hutan dengan pohon tinggi dan masih asri seakan menjadi jajaran prajurit yang siap mengantarkan perjalannya. Rengga mengamati alam sekitarnya dengan heran. Ternyata masih ada hutan yang terjaga kelestariannya sampai saat ini. Masih banyak sekali pepohonan tinggi dengan rumput ilalang yang menutupi area hutan di seberang sana. Jalanan tanpa aspal seakan mendominasi sejak gapura dari kayu menyambut di depan sana. Disinilah dirinya, duduk di sebuah truk milik tentara yang kebetulan baru saja datang untuk bertukar posisi dengan tentara perbatasan yang telah menjaga perbatasan satu tahun yang lalu. Entah mengapa, takdir semacam ini terjadi. Ketika dia kebingungan dengan arah, orang yang telah diutus rumah sakit langsung mendatanginya. Memintanya untuk ikut bergabung dengan kawanan tentara yang baru saja selesai upacara. Awalnya Rengga merasa canggung, apalagi di depannya adalah kumpulan laki-laki yang berseragam doreng dengan wajah tegasnya, ditambah pula badan yang begitu tegap dambaan para wanita diluaran sana. Bagaimana tidak? Rengga teringat dengan kakaknya, bagaimana cara kakaknya menggambarkan sosok laki-laki berseragam doreng seperti ini. Menurutnya, tidak berlebihan jika para perempuan menyukai produk unggulan seperti ini. Persepsi tentang kekakuan mereka seperti langsung sirna begitu saja ketika laki-laki yang sering dipanggil Ndan oleh yang lainnya itu, mulai mendekati dirinya. Laki-laki yang memiliki wajah paling tampan diantara yang lainnya meskipun kulitnya yang hitam legam karena seringnya terpapar sinar matahari. Namanya, Lingga, komandan pleton dari pasukannya yang kebetulan bertugas di daerah perbatasan yang dekat dengan tempat pengabdiannya. Ada semacam penyambutan di bandara dari pemerintah. Mungkin ini kali pertama baginya merasakan seistimewa itu. Disambut oleh orang penting seperti ini. Rengga sibuk mendengarkan celotehan para tentara yang sibuk bernyanyi riang gembira di dalam truk. Sebagian lagi sibuk menatap kanan dan kiri suasana tempat baru mereka. Berbeda dengan Rengga yang masih perlu penyesuaian, mereka tampak begitu tenang bahkan terlihat senang. Seperti biasa, Rengga menjadi orang yang paling diam di perkumpulan. Sesekali dia menjawab pertanyaan Lingga jika ditanya. Mungkin Rengga bingung ingin menanyakan apa. Dia tidak terbiasa berbicara dengan orang baru. Terlebih, orang yang berada di depannya ini adalah orang yang sangat berpengalaman. Semakin lama, mereka semakin masuk ke dalam daerah pelosok yang cukup lebat kayu-kayunya. Jalannya semakin terjal dengan d******i bebatuan. Entah sejak kapan, namun mobil itu sudah berhenti di depan sebuah gapura kayu dengan cat warna yang hampir memudar. Rengga tertegun, apakah ini sudah sampai? Lingga mengajaknya untuk turun. Di depan sana sudah banyak orang yang berjajar bagaikan prajurit dengan mengenakan pakaian adat yang entah apa namanya, Rengga tidak begitu paham. Para pasukan tentara juga sudah mengambil posisi untuk bersalaman dengan kepala desa yang kebetulan memandu acara penyambutan hari itu. Dengan luesnya, laki-laki berseragam doreng itu bersalaman dengan kepala desa dan juga warga. Sebelumnya, roncean bunga dikalungkan di leher mereka semua, termasuk Rengga. Setelah itu ada semacam tari persembahan untuk tamu yang datang ke desa mereka. Perempuan remaja dengan dandanan tradisional dan senyuman yang merekah indah. Benar-benar budaya yang kental dan mempesona untuk dinikmati. Rengga menatap dengan pandangan takjub, dipelosok negeri seperti ini masih peduli sekali dengan budaya. Padahal, dia merasa miris. Di daerah perkotaan, tidak lagi ada budaya penyambutan sesakral ini. Tanpa diminta dan tanpa tahu seberapa penting orang-orang seperti dirinya. Namun mereka rela meluangkan waktu untuk memberikan sedikit perkenalan yang cukup mengesankan. Sayangnya, Rengga belum bisa untuk menyapa atau berbasa-basi. Hanya senyuman setiap kali orang-orang mendekat dan menyalaminya. Berbeda dengan kawanan tentara yang langsung mampu berbaur dengan warga sekitar. Pengalaman adalah guru terbaik! Itulah yang membuat laki-laki berseragam doreng seperti mereka langsung mudah berbaur. Sesaat dia merasa sangat asing dan tidak tahu harus bagaimana. Selama di rumah sakit, selalu dirinya yang dicari. Tetapi di sini? Apakah mungkin posisi itu masih bisa disandangnya? Seharusnya, dia tidak hanya meminta untuk dicari, namun juga harus berani mencari. "Gabung sini, Ga! Jangan diam aja di sana." Ucap Lingga mengajaknya untuk bergabung di tengah warga yang saling berbincang. Mereka tampak sangat akrab dan terbuka menerima orang baru. Setidaknya, semua bayangannya tentang orang pedalaman yang menakutkan sedikit teralihkan. Ternyata perkiraannya salah, warga di sini bahkan jauh dari kata baik. Mereka sangat ramah dan mau menyapanya duluan. Dia, si orang kaku yang tidak tahu caranya berkomunikasi terkadang hanya bisa tersenyum saja. "Dokter Rengga, ini Dokter Raden. Dokter yang sudah tinggal di sini beberapa bulan yang lalu. Semoga bisa saling membantu dan semakin menambah tenaga kesehatan di desa kami." Ucap Pak Ringgo, selalu kepala desa setelah memperkenalkan seorang laki-laki berkacamata yang berada di sampingnya. Laki-laki bernama Raden itu tersenyum ramah. Menyodorkan telapak tangannya ke arah Rengga. Lalu Rengga menyambut uluran tangan itu dengan senyuman tipis. Setahun ke depan, Raden adalah rekannya. Orang yang akan membantunya dan bersamanya. Pengabdian semacam ini seperti memaksa dua orang yang tidak saling mengenal untuk tinggal dalam satu atap yang sama. "Semoga betah di sini ya, Dek. Gini-gini, aku lebih tua lho dari kamu. Jadi sengaja tak panggil begitu. Ada masalah enggak?" Tanya Rengga yang tidak kalah ramah dengan Lingga. Rengga menggeleng, "enggak sama sekali, Kak. Mohon bantuannya juga, saya masih perlu banyak belajar." Ucapnya sopan. Raden menepuk bahu Rengga beberapa kali. "Jangan terlalu formal begitu. Kita ini keluarga, jangan sungkan untuk meminta bantuan. Kamu belum tahu ya, nanti di rumah setiap hari yang kamu lihat cuma aku. Bangun tidur lihat mukaku, tidur lihat mukaku lagi. Kemana saja asal masih di rumah, pasti yang terlihat cuma mukaku." Ucap Raden dengan semangat. Sudah lama dirinya sendirian di rumah. Semuanya dilakukannya sendiri karena tidak ada rekan yang membantu. Sekarang, dia merasa senang karena akhirnya ada orang yang bisa dijadikan teman di rumah dan partner untuk bekerja puskesmas desa. "Kalau begitu baik, Kak. Aku sama sekali belum berpengalaman dan masih butuh banyak latihan. Jadi, misalkan aku salah atau menurut Kak Raden kurang pas, tolong dikasih tahu. Supaya ke depannya aku enggak salah lagi." Ucap Rengga yang menunjukkan kerendahan hatinya. Raden mengangguk, sudah pasti dia akan membantu Rengga selama di sini. Selain ramah, Rengga juga orang yang welcome dengan siapapun. Apalagi ketika mereka akhirnya berbincang dengan Lingga, seperti teman yang bertemu kembali setelah sekian lama. Rengga tidak menyangka, tempat seperti ini terasa nyaman karena ada orang-orang baru yang begitu peduli padanya. Jika saja tidak ada orang seperti Lingga atau Raden, Rengga tidak tahu harus memulai dari mana. Ternyata, keluar dari zona nyaman juga ada hikmahnya. Namun, perjalanannya belum selesai sampai di sini. Bahkan, kisahnya baru saja akan dimulai. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD