Bab 2

2005 Words
Rengga menghela napas panjang, menunggu adalah hal yang sangat amat membosankan. Dia adalah orang yang tepat waktu dan paling benci dengan kaum-kaum dengan kapasitas jam karetnya. Baginya, jika ada waktu kenapa tidak digunakan dengan baik? Selalu ada kesibukan atau kegiatan lainnya daripada harus stay menunggu hal yang tidak pasti. Seperti saat ini, dia menunggu sang Mama yang sedang menjalankan perawatan di salah satu salon kenalannya. Walaupun sudah berumur, Mamanya adalah pemuja perawatan tubuh. Katanya untuk diberikan kepada Papanya yang wajib diberikan hal terbaik. Andaikan semua perempuan seperti Mama dan Kakaknya, Viona. Mereka berdua adalah perempuan yang paling memahaminya meskipun sering membuatnya terjebak dengan kencan buta bersama perempuan yang sama sekali tidak dia kenali. Sungguh, meskipun Rengga kadang kesal, namun mereka adalah perempuan yang menemaninya setiap waktu. Teleponnya sudah bergetar beberapa kali. Namun Rengga memilih untuk mengabaikan panggilan itu. Tanpa melihat pun, dia sudah tahu siapa orang yang sedang berusaha menghubunginya. Bukan bermaksud untuk mengabaikan, namun Rengga tidak ingin membahas masalah apapun dengan orang di seberang sana. Biar saja, dia dibilang berengsek atau sejenisnya, namun itulah kenyataannya. Rengga tidak ingin membahas semuanya sekarang. Calista mungkin adalah salah satu perempuan yang spesial di dalam hidupnya. Namun perlu digarisbawahi, jika Calista bukan orang yang spesial di dalam hatinya. Memiliki hatinya itu sulit sekali, jangankan memiliki, untuk mengetuk sedikit saja rasanya tidak bisa dilakukan oleh siapapun. Rengga masih terjebak di dalam masa lalu, masa di mana hanya dirinya yang paham bagaimana sakitnya kehilangan. Biar, cukup dia yang tahu dan menyimpannya sendirian. "Rengga, Mama udah nih. Gimana, cantik enggak?" Tanya Mamanya yang baru saja keluar dari salon dengan memamerkan wajahnya yang bersih karena sehabis facial. Rengga meneliti dari atas sampai bawah. Seperti menilai namun tidak ada artinya. "Biasa aja deh, Ma. Enggak ada bedanya kok waktu Mama masuk sama keluar. Udah ah, Rengga mau makan. Nungguin Mama nyalon itu cukup buat umroh." Jawab Rengga yang nyelonong masuk ke dalam mobilnya. Mamanya yang mencibir, memang anak laki-lakinya itu adalah orang yang cuek. Rengga seperti tidak bisa dirubah lagi. Memang seperti itu pribadinya. Jarang bicara dan super cuek. Padahal tidak ada keturunan pendiam sama sekali. Dirinya adalah orang yang cerewet, begitu pula dengan sang suami yang merupakan ayah Rengga, juga bukan orang yang cuek walaupun jarang bicara. Rengga membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Mamanya baru saja masuk ke dalam mobil dengan wajah yang menekuk sempurna. Mungkin kesal dengan tanggapan Rengga yang biasa saja. "Kamu itu, selalu aja bikin Mama enggak tenang. Harusnya kamu bisa bilang Mama cantik kek, awet muda kek, kapan sih kamu bisa memuji Mamamu sendiri? Seperti yang sering Mama dengar dari anak-anak teman Mama. Mereka selalu memuji mama mereka. Lah kamu?" Sindir Mamanya dengan kesal. Dengan santainya Rengga menggeleng pelan. "Karena Rengga orangnya memang apa adanya, Ma. Enggak dibuat-buat kaya anak teman-teman Mama itu. Lagian kenapa sih kalau tua? Dibilang tua atau awet muda juga sama aja. Yang paling penting kan Rengga sayang Mama. Udah!" Jawabnya cerdas. "Ih, kamu kok bisa so sweet kaya gitu deh, honey." Teriak Mamanya sambil mencubit kedua pipi Rengga yang sedikit tembam. Beberapa orang yang kebetulan lewat hanya menatap aneh. Rengga langsung menutup kaca mobilnya, bisa-bisanya orang-orang memandangnya seperti itu. "Duh, Mama! Enggak enak dilihatin orang. Dikiranya aku kencan sama tante-tante lagi." Tegur Rengga yang melepaskan cubitan Mamanya dari pipinya. Image yang dia bangun selama ini tidak ingin dirinya rusak hanya karena rumor dirinya yang pergi dengan tante-tante. Setelah Calista mengatakan dirinya gay, jangan lagi ada rumor. Tetapi, jika mengingat kembali tentang perdebatan dirinya dengan Calista kemarin, seharusnya perempuan itu ada baiknya marah saja. Setidaknya Rengga tidak akan sulit dan merasa bersalah. Namun, pada kenyataannya, Calista berusaha mati-matian untuk menghubungi dirinya. Rengga menghela napas panjang lalu menstater mobilnya meninggalkan salon kecantikan itu. Suasana kembali tenang dengan Rengga yang fokus menyetir mobilnya. Mamanya pun ikut diam karena merasa aneh dengan perubahan wajah Rengga yang tiba-tiba murung. Orang seperti Rengga memang sulit mengatakan apapun yang dia rasakan. Termasuk masalah dan beban yang ada di dalam benaknya. Sejak kecil, Rengga memang tidak pernah curhat dengan siapapun. Tidak dengan keluarganya, apalagi dengan orang lain. Hidunya terlalu sempurna kelihatannya. Mempunyai orang tua yang lengkap dan harmonis, kakak perempuan yang baik dan cantik, kekayaan yang melimpah, diberikan wajah rupawan dan otak yang terlampau cerdas. Siapa yang tidak mau dengan Rengga? Hampir setiap perempuan yang ditanya, apakah mau memiliki pasangan seperti Rengga? Mereka akan langsung menjawab dengan cepat, mau! Sayangnya, orang seperti Rengga bukanlah laki-laki yang pandai memilih. Dia tidak mau terlihat menonjol karena harta keluarganya atau karena keluarganya. Dia hanya ingin dilihat sebagai Rengga yang apa adanya dan tidak punya apa-apa. Maka dari itu, dirinya berusaha membangun semuanya sendirian. Pintar selama sekolah, fokus dengan karirnya yang sekarang, lalu berjalan sesuai dengan koridor yang dirinya buat sejak kecil. Percintaan hanyalah potongan kecil yang tidak terlalu ingin dia pikirkan. Jika ingin bilang sosok Rengga adalah workaholic, maka dia sendiri tidak bisa menyangkal. Karena itulah dia! Terlalu mencintai pekerjaannya sampai lupa dengan percintaan yang bagi orang tuanya sangat penting. Rengga membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan padang yang sering dirinya kunjungi. Makanan favoritnya setelah masakan Mamanya. Mungkin hampir setiap Minggu, Rengga datang hanya untuk sekedar menikmati makanan itu. Baginya, rasa masakannya berbeda dengan warung padang lainnya. Entah itu hanya persepsinya atau memang karena berbeda. "Sekali-kali ngajak Mama makan bakso beranak gitu. Jangan makan padang terus." Protes Mamanya yang memang setiap kali pergi dengan Rengga akan diajak untuk makan nasi padang. "Enak Ma, lagian bakso beranak di daerah ini jauh. Rengga belum packing juga." Jawabnya enteng lalu masuk ke rumah makan itu. Mamanya hanya mengikuti, jika sudah seperti ini Mamanya memilih untuk mengalah. Punya anak laki-laki seperti Rengga memang menguras emosi. Namun Rengga adalah anak yang penurut dan tidak pernah merepotkan. Selama ini Rengga selalu membuat nama orang tuanya melambung dengan prestasinya. Entah prestasi akademik maupun non akademik. Suasana warung makan tampak ramai karena sudah jam makan siang. Apalagi posisi rumah makan yang dekat dengan gedung perkantoran maupun sekolahan menjadi tempat yang pas untuk makan siang bersama dengan orang-orang terdekat. Sayang, rumah sakit tempatnya bekerja jauh dari rumah makan ini. Jarang sekali bisa menikmati makanan berat dan berkolesterol jika memang tidak keluar sendiri mencari. Ya, sekali-kali bolehlah untuk mencicipi makanan seperti ini. Yang paling penting tidak sering. Dengan ikut mengantri di belakang pengunjung yang lain, Rengga sudah menyiapkan piring. Sebelumnya, dia sudah memberikan satu piring kepada Mamanya. Maklum lah, karena di sini prasmanan. Jadi bisa mengambil makanan sendiri. Setelah selesai makan baru dibayar di kasir. Masih cukup tradisional dibanding beberapa rumah makan yang telah menerapkan bayar dulu sebelum makan. Mungkin ada beberapa oknum nakal yang tidak membayar setelah kenyang. Tibalah waktunya Rengga untuk maju dan mengambil makanan. Nasi putih yang banyak lalu dicampur dengan daun ketela rebus yang disiram kuah khas ditambah lagi dengan sambal ijo pedas tiga sendok. Tidak lupa lauk wajib yang menurutnya harus dia makan ketika di sini adalah rendang. Ada juga kerupuk kulit yang berada di topeles, biasanya Rengga memang menambahkannya. Setelah selesai memilih makanan, Rengga mengajak Mamanya untuk duduk di tempat yang paling ujung. Dia butuh kipas angin untuk menetralkan panas di tubuhnya. Padahal Rengga yang biasanya rapi dengan celana kain dan kemeja saja, hari ini sudah memakai kaos lengan pendek dengan celana pendek selutut. Tampak berbeda dan sangat menawan. "Kamu baru ada masalah sama Calista, ya? Calista tadi hubungin Mama, tanya kamu di mana. Mama enggak ngerti deh, kemarin kalian baik-baik aja, kenapa sekarang jadi begini? Kalau ada masalah ya diselesaikan, bukan kabur kaya anak kecil. Mau sampai kapan?" Tanya Mamanya sambil mengambil kerupuk di piring Rengga. Laki-laki itu tidak menanggapi, memilih untuk menghabiskan makanan di piringnya. Lagipula, hal itu lebih baik tidak usah dibahas. Karena apa? Karena Rengga tidak punya jawaban atau pembelaan atas dirinya sendiri. Rengga sadar, cinta tumbuh dalam persahabatan itu wajar. Namun, dia tidak siap menerima cinta sahabat baiknya sendiri. Bukan karena Calista kurang di matanya. Tetapi, dirinyalah yang belum siap untuk menyambut cinta itu sendiri. Calista tidak salah, dialah yang patut disalahkan. Cinta bukan kuasa manusia, jadi apa salahnya jika Rengga menepi sejenak. Membiarkan Calista berpikir, apakah pantas, orang sepertinya untuk dicintai. "Rengga, Mama enggak ngerti kenapa kamu begini. Mama kira, kamu akan sembuh dengan berjalannya waktu. Ternyata Mama salah! Kamu tidak pernah bisa disembuhkan." Ungkap Mamanya prihatin. Rengga menggeleng, "ketika banyak dokter hebat di rumah sakit, pasien mungkin akan cepat disembuhkan. Entah karena pengalaman dokter atau memang karena obat penyakit yang mudah ditemukan. Tapi, jika pasien sendiri menolak untuk disembuhkan, Rengga rasa, penyakit sekecil apapun tidak akan pernah sembuh. Kesalahannya bukan pada dokternya, tapi pada pasiennya. Sama seperti Rengga, Ma. Rengga pintar menjadi dokter, tapi Rengga tidak pintar menjadi pasien." Mereka berdua diam. Mamanya tahu apa yang sedang Rengga pikirkan namun memilih diam. Tidak perlu meminta anaknya untuk bicara, insting keibuannya bahkan sudah menjelaskan semuanya. "Ada beberapa hal dalam hidup Rengga yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Meskipun dengan adanya orang baru dan cerita baru. Rengga mungkin bisa menerima mereka, tapi apa bisa mereka menerima masa lalu Rengga? Kenyataan bahwa Rengga tidak bisa menyimpan satu orang perempuan pun di dalam hati Rengga sebagai pacar. Mereka mengharap kisah cinta seperti itu, Ma. Sedang Rengga belum bisa memberikan apa yang mereka inginkan. Rengga benci dihadapkan dengan posisi seperti ini. Tapi Rengga yakin, perjalanan kali ini akan membawa makna yang besar. Meskipun Rengga enggak suka pergi keluar pulau hanya untuk memajang kata kemanusiaan. Tapi ada baiknya Rengga menepi untuk mencari hal baru." Ucapnya diakhiri dengan helaan napas panjang. Mamanya tersenyum, "itu kalimat terpanjang yang pernah Mama dengar selama ini." Rengga menghela napas panjang, ketika dia serius kenapa Mamanya begitu? Tetapi itulah Mamanya, tidak perlu menunjukkan ekspresi apapun namun membuatnya merasakan arti kepedulian seorang ibu. Walaupun selama ini keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing, namun ada satu waktu yang harus mereka habiskan bersama. Memang, sejak kecil dia dan Viona jarang bertemu dengan Papanya. Mengingat tugas Papanya sebagai tentara yang kadang harus tugas sana-sini. Pahit getirnya hidup di rumah dinas pun sudah menjadi bumbu-bumbu dikala mereka kecil. Mamanya sendiri sejak masih muda senang sekali membuat kue dan bisa mendirikan cabang toko kue beberapa tahun belakangan ini. Keluarga mereka tidak langsung instan, tiba-tiba kaya. Namun perlu perjuangan ekstra. Memang, ketika jaman SMA dulu, perekonomian keluarganya sedang bagus. Papa dan Mamanya bisa membeli rumah bahkan mobil. Toko kue Mamanya yang awalnya hanya ngontrak di sebuah ruko sudah berkembang pesat menjadi beberapa outlet di berbagai kota. Kakaknya, Viona, juga mendapatkan beasiswa keluar negeri dan pulang setelah kuliahnya selesai waktu itu. Ditambah lagi, Viona memiliki bisnis laundry ketika menunggu lamarannya diterima di sebuah perusahaan asing. Itulah keluarganya, terlalu bahagia untuk dilihat. Mungkin hanya dirinya yang memiliki hidup biasa saja. Tanpa sepak terjang yang bisa diceritakan kepada banyak orang. Rengga terlalu pendiam dan cuek dengan orang lain. Dia tidak banyak bicara dan sering menghabiskan waktunya untuk sendirian. Ya, ada untungnya karena dia bisa fokus dengan belajarnya. "Ma, kalau misalkan Rengga enggak betah tugas di sana gimana?" Tanya Rengga kepada Mamanya yang baru saja menghabiskan makanannya. "Ya, harus betah lah! Kamu bilang mau kuliah lagi setelah ini? Harus banyak berjuang dong." Semangat Mamanya. "Rengga kan enggak tahu Ma, orang asli sana seperti apa. Rengga takut aja kalau mereka suku pedalaman yang suka makan orang baru." Ucapnya dengan bergidik ngeri. Entah sejak kapan, namun tangan Mamanya sudah berhasil menoyor kepala Rengga. "Kamu pikir mereka kanibal? Duh, tolong kecerdasannya dong. Masa iya kamu ditempatkan di daerah yang begitu? Tempat pengabdian itu pasti sudah dilakukan riset. Aman enggaknya atau paling tidak bisa tidak untuk dimasuki orang baru. Makanya, sekali-kali kamu harus ditempatkan di tempat yang seperti itu. Biar bersosialisasi!" Tandas Mamanya lalu keluar menenteng tas. Rengga menghela napas panjang, itulah yang dia tidak sukai, bersosialisasi dengan orang baru. Padahal dokter, tapi tidak pernah bersosialisasi. Sayangnya selama ini Rengga berhasil bersosialisasi dengan pasien meskipun dengan susah payah. Namun untuk berteman? Rasanya lebih sulit dan membutuhkan kursus cara untuk berteman terlebih dahulu. Sudah terbiasa sendirian dan tidak bergantung dengan orang lain, membuatnya malas berteman. Berteman hanya buang-buang waktunya menurutnya. Apalagi, jaman sekarang, banyak teman palsu. Teman yang hanya datang ketika membutuhkan dan menghilangkan ketika dibutuhkan. Dan Rengga, tidak suka dengan hal itu. Bukankah lebih nyaman seperti ini? ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD