Tetangga

1280 Words
Matahari bersinar cerah pagi ini, saking teriknya mataku sampai tidak bisa terbuka. Sayangnya, suara-suara laknat yang berisik dari balik pintu kamarku, memaksa mata ini untuk terbuka. “Dis, bangun!” “Hmm ….” Aku tidak langsung bangun, mencoba mengumpulkan kesadaran yang masih tercecer di alam mimpi. "Hey, Ladis! Jangan mau dibilang kebo! Cepet bangun atau gue siram pakai kopi!" Hingga suara laknat barusan, sukses mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. s****n! Harusnya kemarin-kemarin aku tidak mengurungkan niat untuk memasukkan racun ke makanan atau minuman manusia itu. Aku masih belum menjawab, sampai akhirnya suara yang bikin sakit telinga itu mulai terdengar lagi. “Hey, Ladis—” “Bacot!” Tidak menghiraukan balasanku, dia malah melanjutkan nyanyiannya. Yang barusan itu lagunya Rossa, judulnya Hey Ladies yang tentunya sudah diganti liriknya dengan seenak perut oleh manusia laknat itu. Dengan langkah berat, aku menyambar handuk di pinggir ranjang kemudian keluar kamar. “Tuan putri baru bangun, mau berangkat sekolah jam berapa, Non?” tanya orang menyebalkan itu sembari memasukkan sepotong roti ke dalam mulut. “Suka-suka gue!” Sambil cemberut, aku melesat ke kamar mandi. Dalam hati aku merapal, semoga saat aku selesai mandi si manusia menyebalkan itu sudah pergi dari rumahku. Oh, iya, gara-gara manusia menyebalkan itu, aku jadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Ladisha Saraswati, aku anak bungsu dari dua bersaudara, juga menyandang status sebagai siswi kelas dua SMA yang baik hati dan tidak sombong. Tapi, sayangnya kebaikanku selalu terabaikan berkat keberadaan Bagas. Ya, manusia menyebalkan yang sejak tadi mengganggu di rumahku itu Bagas, dia tetanggaku dari kecil, tapi dia bukan temanku. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mengakui dia sebagai teman. Tidak akan pernah. Sampai aku selesai mandi, tapi ternyata Bagas masih asyik ngopi bareng Bapakku di teras. Rasanya, aku ingin melempar dia pakai tabung gas tiga kilo saking kesalnya. “Ladis, cepetan dong itu Bagas udah nunggu dari tadi,” ucap ibuku dari arah dapur. “Ya.” Aku hanya menjawab singkat, kemudian berlalu ke kamar. Lama-lama, aku bisa jadi anak durhaka hanya karena Bagas. Dan hari-hari penuh kemalangan seperti hari ini, tidak hanya terjadi sekali, tapi setiap hari. Rasanya aku tidak akan sanggup, kalau harus menghabiskan sisa hidupku dengan gangguan makhluk bernama Bagas. Aku tidak sanggup. Kalau kenyataan ini adalah reality show, aku pasti sudah melambaikan tangan ke arah kamera sejak dulu. Tapi ini hanya sepenggal, aku akan menceritakan secara keseluruhan ceritaku. Tentang hari-hari malangku. Tentang segudang kesialanku. Juga tentang makhluk bernama Bagas Danuartha. *** “Mau sampai kapan lo duduk di motor gue?” Suara yang tidak enak didengar itu, mulai mengganggu pendengaranku. Tanpa menjawab, aku buru-buru turun dari motor matic Bagas dan lari secepat mungkin ke kelas. Sampai lagi-lagi, suara cempreng Bagas sudah memenuhi indra pendengaranku. “Lepasin dulu helm gue, Maemunah!” Bertahun-tahun aku ditempeli Bagas, sampai tanpa sadar kebegoan Bagas juga sudah ikut menempel pada diriku. Cepat-cepat aku melepas helm gembel itu, kemudian melemparkannya ke wajah Bagas. Tapi sialnya, refleks dia lebih bagus dari lemparanku. Karena detik berikutnya, Bagas sudah menangkap helm yang barusan kulempar dengan gaya sok keren. “Cemberut aja mbaknya,” ucapnya sambil memamerkan cengiran mengerikan di wajahnya. “Bodoamat.” Setelahnya aku buru-buru masuk kelas. Tidak sekelas dengan Bagas adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untukku Karena setidaknya, tujuh jam dari dua puluh empat jam waktuku dalam sehari bisa terhindar dari makhluk itu, meskipun tiap jam istirahat dia tetap menggangguku. Padahal kelas Bagas sudah amat terasing di lantai tiga bangunan sekolah kami, yang jaraknya cukup jauh dari kelasku di lantai satu, tapi dia tetap saja mengacau di kelasku. “Eh, Dis! Lo udah bikin tugas ekonomi?” Yang barusan itu Tiara, teman sebangkuku sekaligus satu-satunya manusia yang mau dekat-dekat sama aku—selain Bagas. Aku hanya mengangguk, kemudian mengeluarkan buku latihan ekonomi milikku dari dalam tas. Untungnya, aku tidak lupa membawa buku keramat itu, karena kalau sampai ketinggalan, Bagas akan jadi korban pembunuhan. Karena setiap pagi, Bagas sudah menghancurkan hariku dengan mengacau di depan pintu kamarku. “Ini buku catatan, Dis, bukan latihan,” ucap Tiara, membuat tubuhku seketika menegang. “Hah?” Dengan cepat, aku mencari-cari buku latihan PR di dalam tas, tapi tidak kunjung kutemukan.  “Jangan bilang… lo nggak bawa bukunya.” “Bukunya nggak ada, Ra.” Aku terdiam, menatap kosong pada seisi kelas yang mulai ramai, begitu juga dengan Tiara yang entah kenapa malah ikutan cengo.  “Dis? Lo kesambet? Dis!” “Hah?! Apa? Kenapa?” aku gelagapan, sedangkan Tiara malah menatapku bingung. “Jangan bengong! Telepon orang rumah, minta bawain buku lo kalau lo masih sayang nilai!” ujar Tiara mengingatkan. Aku mengangguk, kemudian berlari keluar kelas mencoba menghubungi Mas Tama, kakak kandungku—yang sesungguhnya tidak mau kuakui sebagai kakak. Dia kakakku satu-satunya, usianya sudah dua puluh empat tahun, sudah lulus kuliah juga, hanya belum dapat pekerjaan. Kerjaannya di rumah hanya tidur-tiduran sambil main game, harusnya dia bisa mengambilkan buku tugasku yang ketinggalan. "Halo, dengan Pratama Mahendra yang tampan seirama, paripurna dan memesona,"  ucapnya begitu panggilanku tersambung. “Najis.” "Oke, gue matiin, ya!" “Eh! Mas Tama!” panggilku, sebelum Mas Tama benar-benar memutuskan sambungan. “Gue mau minta tolong.” "Apa?” “Buku latihan ekonomi gue ketinggalan di rumah, tolong anterin ke sekolah, bisa?” “Mohon maaf, gue sibuk." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Tama sudah memutuskan sambungan telepon plus mematikan ponselnya sekalian, karena ketika aku mencoba menghubunginya sekali lagi, nomornya sudah tidak aktif. Menyebalkan! Sibuk apanya, sih? Dia itu di rumah cuma jadi bangkai. Aku semakin panik, karena Bapak juga sudah berangkat kerja, dan Ibu tidak bisa dihubungi. Pasti Ibu sedang mencuci, makanya tidak mengangkat telepon. Di saat seperti ini, perasaanku mendadak tidak enak, dan benar saja, tidak lama kemudian Bagas sudah menampakkan batang hidungnya di depanku. Rasanya belum cukup kesialan bertubi-tubi yang menimpaku hari ini, sampai Bagas juga harus muncul di saat seperti ini. Dia berjalan sok keren sambil membenarkan rambutnya yang berantakan. Halah! Manusia buluk itu lagi mencoba tebar pesona. “Ih, Bagas! Mau ke mana?” “Bagas ganteng banget, deh!” “Bagas, pulang sekolah jalan, yuk!” Dasar cewek-cewek katarak! Beruk buncit begitu dibilang ganteng! Daripada telingaku berdarah mendengar jerit histeris cewek-cewek alay di koridor, buru-buru aku masuk ke kelas. Meskipun kelasku juga tidak kalah ramai, setidaknya tidak ada si Bagas dan pengikutnya. “Eh, Mileah! Di samperin cowok ganteng malah kabur,” ucap Bagas sembari bersandar pada pintu kelasku yang terbuka lebar. “Gas, mendingan lo balik deh, kalau nggak mau nyawa lo melayang.” Tiara berucap pelan, sembari melirik ke arahku yang mulai tampak tidak bersahabat. Aku hanya berdiri, sembari menggenggam ponselku erat-erat, menahan untuk tidak segera melemparnya ke wajah Bagas. Pelan, aku menarik napas dan mengembuskannya lewat mulut mencoba menenangkan diriku. “Emang kenapa tuh princess Maemunah? Mukanya udah kayak banteng kesurupan.” Bagas tertawa, diikuti seisi kelas yang kini sudah menatapku dengan tatapan beragam. “b*****t!” pekikku tertahan. Daripada aku mati karena tekanan darah tinggi, aku memilih pergi ke pinggir lapangan. Bel masuk sudah tinggal sepuluh menit lagi, kalau pun Mas Tama mau mengambilkan buku tugasku yang ketinggalan, waktunya tidak akan cukup, dan aku sudah sama sekali tidak peduli. Aku hanya mau mencari ketenangan saat ini. Sembari duduk tenang di bawah pohon angsana, aku menghela napas pelan, mencoba meratapi nasibku yang malang. Kenapa Tuhan harus mengirimkan Bagas ke kehidupanku? Maksudku, ada jutaan manusia menyebalkan lainnya di muka bumi ini, tapi kenapa harus Bagas? Dia itu selain menyebalkan, sok ganteng, b**o, narsis, dan segala kebobrokannya, juga pembawa s**l. Dan kalau pembunuhan di negeri ini dilegalkan, sudah dipastikan orang pertama yang kubunuh itu Bagas. Aku menghela napas sekali lagi, memikirkan Bagas hanya akan membuatku kena vertigo. Jadi, dengan kesadaran dan kewarasan yang masih tersisa, aku mencoba memikirkan cowok lain. Afgan, misalnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD