Sweet Couple

1066 Words
Bel sudah berbunyi tiga kali, tanda kalau jam pelajaran sudah dimulai. Aku berjalan gontai menuju kelas, pasrah akan hukuman yang sudah menanti di depan mata. Untungnya, Pak Ri, si botak galak itu belum juga masuk ke kelas, padahal biasanya guru paling killer satu sekolah itu selalu datang tepat waktu. Beberapa murid mulai menerka-nerka sebab mengapa Pak Ri terlambat datang hari ini, begitu juga Tiara yang masih berceloteh di sampingku. “Mungkin warung nasi uduknya telat buka,” ucap Tiara sambil terkekeh pelan. Tapi sungguh, lawakannya sama sekali tidak lucu. Aku tahu, dan semua orang di sekolah ini pun tahu, kalau Pak Ri itu langganannya warung nasi uduk depan sekolah. Setiap pagi, si botak galak itu tidak pernah absen makan nasi uduk di sana. Daripada warung nasi uduknya yang telat buka, aku malah curiga kalau Pak Ri kena kolesterol karena kebanyakan mengonsumsi nasi uduk. Saat pikiranku masih penuh dengan ekspresi galaknya Pak Ri, Tiara juga masih sibuk menyalin PR—entah punya siapa—si Bgsd malah masuk ke kelasku, dengan lagak sok ganteng. Sambil menyeka keringat di dahi, Bagas berjalan ringan dengan cengiran yang seratus persen bikin aku ingin nampol wajahnya pakai sendal mushola. “Nih,” ucapnya sembari menaruh buku bersampul cokelat di mejaku. “Apaan?” “Ini buku lo, gue tadi ke rumah lo buat ngambilin buku ini. Baik, kan gue?” Dia menaik-turunkan alisnya, sambil sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Oke, kali ini dia berhasil membuatku terkesan. Aku melirik buku itu sekilas, dari tampilannya ini benar buku latihan ekonomi milikku. Buru-buru aku membuka isinya, curiga kalau Bagas dengan kebodohannya justru salah mengambil buku, dan kalau sampai hal itu terjadi, aku akan langsung menenggelamkan Bagas di kolam ikan sekolah. Tapi dugaanku salah, dia membawa buku yang benar. Saking terharunya, aku sampai hampir menangis. “Makasih, Bagas,” ucapku penuh haru. “Ntar malem, traktir mie tektek dua mangkok. Kalau nggak—” “Perut lo udah buncit kayak babi, masih aja makan mie malem-malem!” sambarku, bahkan sebelum Bagas selesai bicara. “Biar buncit gini, tapi lo sayang, kan?” ucap Bagas percaya diri. “Najis!” “Udah ya, Bagas ganteng mau balik ke kelas dulu. Ladis belajar yang bener, jangan mikirin Bagas mulu,” lanjutnya sembari mengacak rambutku. Sumpah aku kesal setengah mati. Terakhir Bagas mengacak rambutku, aku masih sempat balas menjambak rambutnya dengan sekuat tenaga dan penuh dendam. Tapi kali ini cowok laknat itu sedang beruntung, karena belum sempat aku menabok wajahnya dengan buku tugas ekonomi, Pak Ri sudah masuk ke kelasku. Dengan wajah garang, tatapan mematikan, juga kepala botaknya, Pak Ri sukses bikin kelasku yang tadinya ramai bak pasar burung mendadak hening, juga yang tadinya gelap remang-remang, mendadak mendapat cahaya ilahi. *** “Tadi Bagas sweet banget deh,” ucap Tiara dengan ekspresi yang terlihat amat menggelikan. “Sweet gigi lo gendut!” “Kalian tuh cocok tau, nggak? Udahlah pacaran aja sana!” ujar Tiara, masih sambil menatapku dan tentunya masih tetap kuabaikan. Aku sama sekali tidak menggubris ucapan tidak penting Tiara. Fokusku hanya untuk tugas ekonomi laknat ini, persetan dengan Tiara dan mulutnya yang tidak hentinya bicara macam petasan cabe. Pak Ri baru saja keluar dari kelasku, setelah sebelumnya memberikan tugas yang luar biasa. Mungkin dia bosan, karena hari ini tidak ada murid yang absen mengerjakan tugasnya, makanya dia tidak betah berlama-lama. Dasar si botak edan! Aku masih fokus pada tugas ekonomi yang diberikan Pak Ri, sampai dering panjang bel istirahat berbunyi. Suara-suara teriakan terdengar dari sana-sini, dan tak lama lagi si Bagas b***k pasti sudah nongol di kelasku. “Hey, Ladis!” Kan, aku bilang juga apa. Aku mencoba tidak menghiraukan Bagas yang kini malah menyanyi dengan suaranya yang bikin sakit telinga. Dan begonya, Ucup, ketua kelasku yang sama bodohnya macam Bagas malah menimpali. “Seperti mati lampu ya sayang, seperti mati lampu.” Bagas mulai bernyanyi, dan hal itu sukses membuatku kehilangan fokus. “Cintaku padamu ya sayang, bagai malam tiada berbintang.” “Tarekkkkkk mangggg!” Sungguh, aku sudah tidak tahan! Dengan cepat, aku menutup buku latihanku dan membawanya pergi. Aku mau melanjutkan tugas ini di luar kelas saja, daripada benar-benar kena vertigo kalau terlalu lama di kelas yang isinya orang-orang dengan otak setengah. “Cintah mau kemana? Tungguin Rangga, dong!” ujar Bagas sambil mengekor di belakangku. Aku mempercepat langkah, mencoba menahan amarah yang sudah membuncah. Sudah bukan malu lagi, saking tidak terhitung sudah berapa kali Bagas mempermalukanku. Teriak-teriak pakai kata-kata menggelikan di koridor seperti tadi, bukan apa-apa. Bahkan orang gila itu pernah membacakan puisi abal-abal buatku lewat radio sekolah. Dia sudah bukan mempermalukanku lagi, tapi sudah benar-benar membuang harga diriku ke Bantar Gebang! Sorakan-sorakan laknat mulai terdengar, tapi aku masih mencoba acuh. Ingin rasanya aku melarikan diri ke ujung dunia, tapi kurasa itu percuma, karena Bagas pasti akan mengikutiku. Jangankan ke ujung dunia, ke luar angkasa pun, Bagas pasti mengikutiku. “Dis, lo kenal Iwan?” tanya Bagas yang entah sejak kapan sudah berjalan di sebelahku. Tidak langsung menjawab, aku terdiam sejenak mencoba mencari nama itu dalam memoriku. Seingatku, baik aku maupun Bagas sama-sama tidak satu kelas dengan seseorang bernama Iwan. “Iwan yang anak IPA?” tanyaku pada Bagas yang masih setia berjalan di sampingku. Sambil pasang wajah menyebalkan, Bagas menaik-turunkan alisnya. “I wana be your'e boyfriend, maksudnya.” TERKUTUKLAH KAU BGSD! Tanpa bicara, tanganku terulur, mengelus pelan rambut kusut Bagas sebelum akhirnya menariknya kuat-kuat. “ADAWWW SAKIT LADISSS!” pekiknya dengan suara cempreng yang bikin sakit telinga. “Sekali lagi lo gombalin gue, gue buang lo ke rawa-rawa!” “Bilang aja lo baper, kan?” ucapnya pelan sembari membetulkan rambutnya. Buru-buru aku melepas sebelah sepatuku dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ngomong sekali lagi, gue bikin lo ciuman sama sepatu gue!” “Tapi Bagas maunya ciuman sama Ladis.” BUK! Sepatuku terpental entah kemana, sedangkan di hadapanku, Bagas masih nyengir menunjukkan gigi-gigi gingsulnya yang penuh jigong. “MAJU SELANGKAH, LO MATI!” Bagas hanya tertawa, kemudian melarikan diri ke arah kantin. Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Amarahku masih terasa, bahkan saat cewek-cewek alay yang sebelumnya meneriaki Bagas, kini sudah meneriaki orang lain. Terserahlah, aku mau mendinginkan kepala dulu. Tidak sampai satu hari berada dekat-dekat dengan Bagas saja sudah sukses membuat hariku kacau dan emosiku makin tidak terkontrol. Kalau begini terus caranya bisa-bisa aku yang seharusnya sehat, segar dan bugar bisa terkena penyakit darah tinggi karena terus-terusan dibuat emosi oleh manusia laknat bernama Bagas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD