Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, dan siklusnya akan terus begitu sampai Bagas menemukan otaknya yang terjatuh di jalan.
Sudah dua kali kami–atau tepatnya Bagas, si b***k b**o–memutari jalanan yang sama. Biar kuceritakan kronologi kebodohan Bagas yang sudah mencapai ambang batas.
Jadi, dua jam yang lalu, Agam, teman satu kelasnya Bagas mengajak rekan-rekan satu kelasnya untuk makan di restoran milik orang tuanya yang baru saja buka dua hari lalu. Dan seperti biasa, Bagas dengan seenak udel malah mengajakku yang bahkan tidak diajak oleh si empunya restoran. Tapi karena Agam yang–entah–memang baik, atau tidak enak menolak permintaan Bagas yang cenderung memaksa, ia hanya mengiyakan saja keinginan Bagas untuk mengajakku. Dan satu jam yang lalu, teman-teman satu kelasnya Bagas, mulai berangkat dari sekolah menuju restoran yang dimaksud. Begonya, Bagas malah salah mengikuti motor. Bukan motor Agam yang dia ikuti, tapi entah itu motor siapa.
Alhasil, aku bersama Bagas dan kebegoannya justru terdampar di jalanan yang antah berantah ini.
“Mending kita pulang aja deh, Bi,” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Bagas.
“Lo manggil gue apa barusan? Baby? Sejenis panggilan sayang?”
“Babi. Bagas b**o plus i***t,” jawabku lempeng. Tapi Bagas malah menghentikan motornya, dan hal itu sukses membuatku panik.
“Eh? Motor lo mogok? Sumpah deh, s**l mulu gue kalo ama lo, Bi!”
“Lo panggil gue Babi sekali lagi, turun lo dari motor gue.” Tanpa melihat wajahnya, aku tahu Bagas lagi serius.
“Iya, maaf,” ucapku pelan.
“Nyalain maps , kita pulang.”
“Pake ponsel lo aja, punya gue lowbat.”
“Gue nggak ada kuota. Cepet nyalain kalau lo mau pulang.”
Dasar gembel!
Dan satu hal lagi, aku juga tidak tahu kenapa, sampai detik ini kemarahan Bagas selalu jadi titik lemahku. Maksudku, si Babi Bagas i***t itu memang menyebalkan dan super b**o, tapi kalau dia marah apa pun bisa terjadi.
Dulu aku pernah bercanda dan tidak sengaja menceburkan Bagas ke kolam ikan di rumah Bu RT. Isinya ikan patin yang sudah sebesar paha orang dewasa dan ikan-ikan air tawar yang aku sendiri tidak tahu apa namanya. Aku tertawa keras waktu itu, dan bukannya menolong Bagas, aku malah makin girang lihat dia terus-terusan terpeleset dan digigiti ikan-ikan raksasa itu. Bagas marah, dia bicara keras banget padaku, setelah itu Bagas tidak bicara denganku selama dua minggu. Hidupku tenang dan damai, tapi tiap hari ibuku ngomel dan menyuruhku buat minta maaf ke Bagas. Terus apa bedanya? Sama-sama terganggu dengan hal yang berbeda, jadi aku putuskan untuk minta maaf. Dan sialnya, Bagas malah menjadikanku babu selama seminggu. Emang dasar manusia laknat!
Dan kali ini, Bagas sudah mulai bicara keras bahkan sampai memintaku untuk turun dari motornya. Dia pasti marah, dan sampai sekarang pun dia juga belum mengatakan apa pun. Harusnya aku bahagia, tapi aku malah jadi merasa bersalah.
“Gas, lo marah?” tanyaku saat motor Bagas berhenti di lampu merah.
“Enggak.”
Fix orang laknat ini benar-benar marah.
“Yaudah, maafin gue ....”
“Bisa diem, nggak? Gue lagi bawa motor,” jawabnya ketus.
Ya siapa juga yang bilang dia lagi bawa gerobak?! Aku kesal sendiri jadinya, dan daripada meladeni Bagas yang sedang dalam mode marah, lebih baik aku ikutan diam. Sampai motor Bagas berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Catat baik-baik, pagar rumahnya!
“Turun.”
Aku turun, mengembalikan helmnya, kemudian berjalan kaki menuju rumahku. Bagas kalau lagi marah bisa lebih menyeramkan ketimbang tante-tante PMS. Jadi daripada aku kena amukannya, lebih baik aku pulang. Sampai tanpa sadar, Bagas mengikuti gue sampai depan pagar rumahku.
“Ngapain lo?” tanyaku sewot. Setelah menurunkanku di depan rumahnya, dia malah ikut ke rumahku. Maunya apa, sih, Bagas sableng?!
“Bensin gue habis, Cuma cukup sampai rumah gue.”
“Oh.” Tadinya aku mau menjawab, ‘Bodo amat,’ seperti biasanya, tapi takut Bagas malah makin marah.
Tidak memedulikan Bagas yang masih berdiri di depan rumahku, aku bergegas masuk. Terserah dia mau apa, aku lapar dan mau makan juga istirahat. Sampai suara cemprengnya berhasil menghentikan langkahku.
“Night, Ladis.”
Aku hanya memutar bola mata, kemudian lanjut masuk ke kamar. Ini bahkan belum malam, dasar Bagas b**o!
***
Bagas itu lahir bulan Februari, enam bulan lebih dulu dariku, makanya kadang dia suka sok tua. Agak jijik sebenarnya kalau aku harus menceritakan ini, tapi tidak bisa aku pungkiri kalau Bagas itu memang salah satu cowok populer di sekolah. Bukan karena dia ganteng, ini pendapat pribadiku, sih. Tapi dia itu b****k, dan tingkat kebegoannya itu sudah cukup bikin aku punya penyakit vertigo di usia tujuh belas tahun.
Penampilan Bagas selalu acak-acakan persis gembel, tapi kalau kata cewek-cewek alay bermata katarak di sekolahku, Bagas itu keren dengan penampilannya yang begitu. Aku saja hampir sakit mata lihatnya, bagaimana tidak? Bajunya berantakkan, tidak pernah dikancing apalagi dimasukkan ke dalam celana. Jangankan dasi, kaus dalamannya saja selalu terurai kemana-mana. Kadang Bagas pakai kaus dalam berwarna hitam, tapi biasanya dia pakai warna merah atau hijau, warna kesukaan Mbak Mirah, tukang pecel langganan Bagas.
Dia selalu pakai celana abu-abu yang ketat macam legging waria, plus ikat pinggang tengkorak yang menggelikan dan sudah ketinggalan jaman. Sepatunya juga buluk, akibat tidak pernah dicuci, tapi selalu bilang kalau itu style kekinian. Halah! Itu Cuma alibi supaya tidak perlu repot cuci sepatu tiap hari Sabtu. Rambutnya juga ikal-ikal kusut macam sarang tawon, bagian yang paling aku suka adalah ketika menjambak rambut itu. Seperti ada manis-manisnya gitu.
Bagas itu doyan pedas, tapi lambungnya selalu menolak tiap kali dijejali makanan pedas. Padahal boncabe itu nikmat, tapi Bagas langsung ke toilet tiap habis makan itu. Serius, aku selalu menertawakan Bagas kalau dia diare karena makan boncabe. Emang dasar perut kampungan, tidak bisa dikasih makanan enak. Aku selalu bilang, kalau usus Bagas itu pendek. Atau mungkin memang ususnya lurus, karena tiap habis makan, pasti langsung ke toilet untuk dikeluarkan, tapi anehnya perutnya tetap buncit macam celengan semar.
Aku masih melamun sendirian di kamar sambil mencari-cari kebegoan Bagas, sampai sebuah notifikasi mengganggu kegiatanku.
[Tetangga: Jan lupa, mie tek-tek.]
Setelah menjawab pesan Bagas, aku buru-buru keluar kamar. Dan ajaibnya, si Bagas dengan kebodohannya yang paripurna sudah berada di teras rumahku dengan hanya memakai kaus oblong dan sarung. Dia mau makan mi tek-tek atau mau main catur di pos ronda?
“Ngapain lo make kostum ginian?”
“Gue mau jadi ninja,” ucapnya sambil mengikat sarung tadi di wajahnya dan membuatnya persis seperti maling jemuran.
“Bukannya ninja, yang ada lo mirip maling jemuran!”
Tanpa menghiraukan Bagas, aku berjalan ke depan pagar, menunggu Mang Uhu, penjual mie tek-tek keliling. Aku tidak pernah tahu nama asli Mang Uhu, karena aku tidak berani bertanya. Pernah satu kali Bagas yang bertanya, dan Mang Uhu hanya menjawab, “Uhu!” dengan tampang datar.
Aku yang harusnya tertawa, malah kesal saat melihat Bagas yang tertawa macam orang kesurupan. Sampai suara Mang Uhu sudah membuyarkan lamunanku.
“Mang, mie tek-tek dua,” ucapku.
“Yang pedes!” lanjut Bagas yang kini sudah duduk lesehan di teras rumahku.
“Lambung alay sok-sokan makan pedes.”
“Kalo nggak pedes nggak enak, Dis. Bener nggak, Mang?”
“Atuh iya, no lada no life,” ucap Mang Uhu dengan bahasa Sunda campuran andalannya.
Sambil menunggu pesananku siap, aku ikutan duduk di teras rumah sembari memainkan game slither yang aku yakini Bagas yang menginstalnya di ponselku. Awalnya aku geli sendiri dengan game aneh itu, tapi lama-kelamaan aku menikmatinya. Aku bisa membayangkan semua cacing-cacing kecil itu Bagas, yang bisa aku tabrak kemudian kumakan. Nyam!
Aku masih asyik memainkan cacing belangku yang kuberi nama Malika, dan ku besarkan seperti anak sendiri. Sampai tanpa sadar si Bagas sudah menarik-narik rambutku, membuat kunciranku jadi berantakan.
“Dis, gue lapar,” ucapnya, masih terus menarik-narik rambutku.
“Sabar kenapa, sih! Dasar b***k!”
Bagas tidak menjawab, si b**o itu malah tiduran sambil guling-gulingan macam orang gila. Hingga Mang Uhu datang sembari membawa pesananku dan Bagas.
“Nih punya Neng Ladis, satunya punya Bang Bagas,” ucap Mang Uhu.
“Makasih, Mang.”
“I lope you, Mang.” Itu Bagas yang bersuara.
“Love me too.”
“Mampus!” Aku tertawa girang, sedangkan Bagas hanya cemberut mendengar jawaban Mang Uhu barusan.
Masih dengan tampang cemberut, Bagas kemudian memakan mi miliknya dengan khidmat. Tenang dan tidak bersuara, sampai satu manusia laknat keluar dari dalam rumahku.
“Beli makan nggak ngajak-ngajak!” ucapnya sambil berkacak pinggang.
Aku hanya menghela napas melihat penampilan Mas Tama yang sebelas dua belas dengan Bagas. Bedanya Bagas pakai sarung, sedangkan Mas Tama membiarkan betis lebatnya terekspos hanya dengan boxer hitamnya.
“Yaudah Mas Tama beli aja.” Bagas berucap santai.
“Lo yang bayarin, Gas?”
“Bayar sendiri, lah!”
“Jingan!”
Aku refleks menoleh ke arah Mas Tama yang malah ikutan duduk di samping Bagas sambil sesekali mencomot mi dari piring Bagas. Anehnya, Bagas sama sekali tidak marah dan terkesan santai. Padahal tadi siang, dia marah-marah macam orang kesurupan padaku.
“Udah dong, Mas! Gue nggak kenyang jadinya!” omel Bagas saat menyadari makanannya hampir habis karena dimakan Mas Tama.
“Yaelah, minta dikit doang.”
Setelahnya mereka malah memperdebatkan hal yang sama sekali tidak penting. Semacam, lebih dulu ayam atau telur, dan sama sekali melupakan mi tek-tek yang sudah habis.
“Heh! Bayar!” ucapku sambil menendang b****g Bagas.
“Kan lo yang traktir.”
“Kapan gue bilang gitu?” tanyaku, tak terima.
“Kemaren lusa, gue yang bilang dan lo setuju.”
“Dih! Mana ada?! Gue nggak ingat, jangan aneh-aneh cepetan bayar!”
“Yaudah, nih!”
Akhirnya Bagas mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu lecek dan melemparnya ke wajahku. s****n memang! Tapi tetap kuterima uang itu. Setelahnya, aku buru-buru masuk ke kamar, takut ikutan gila. Karena kalau dua makhluk itu sudah bertemu, mereka akan membicarakan hal-hal paling aneh yang pernah ada. Jadi sebelum aku ketularan gila, lebih baik aku menyelesaikan tugas sekolah.
***