Bagas dan Kelakuannya

1513 Words
Dalam keheningan suasana sekolah, aku masih memegangi kepalaku yang berdenyut. Mungkin penyakit vertigoku kambuh, atau entahlah! Kutatap sekali lagi ponsel malangku yang layarnya sudah tidak berbentuk. Bukan lagi retak, tapi sudah hancur berkeping-keping. Tidak perlu kuberi tahu pelakunya, karena hanya ada satu spesies manusia super b***t dengan kebegoan yang paripurna di muka bumi ini yang tentunya bisa melakukan hal terkutuk itu terhadap ponselku. Makhluk itu bernama Bagas. Mengingatnya membuatku semakin sakit kepala, tapi tetap akan aku ceritakan rangkaian kebodohan paripurna yang hanya ada di dalam diri Bagas. Satu jam lalu, atau tepatnya saat jam istirahat masih berlangsung tiba-tiba saja bulu kudukku merinding, menandakan kehadiran makhluk astral bernama Bagas. Dan benar saja, sesi makanku yang tenang dan nikmat, segera hancur akibat kehadiran Bagas bersama kelakuan begonya. Dia datang sendirian, karena Ucup sedang sibuk godain Nina di pojokan, dan dengan santainya si b***k itu duduk di sebelahku. Bukan masalah besar sebenarnya, hanya saja si Bagas b**o itu malah mengambil es batu dari dalam gelas es kelapa milikku dan memasukkannya ke dalam seragamku.  Aku yang terkejut karena keberadaan benda dingin itu di dalam bajuku, refleks bangkit dan tidak sengaja menjatuhkan ponsel yang memang kutaruh di atas meja. Separuh kuah bakso milikku juga sampai tumpah akibat gerakan tiba-tiba yang kulakukan, dan hal yang paling menyebalkan adalah: Bagas yang tertawa kencang. Dia ketawa kencang banget, sampai menggelegar ke seluruh penjuru kantin. Hal itu sukses membuatku kalap. “Hape gue rusak, Bagas!” pekikku tertahan. Setengah mati aku mencoba menahan emosi, tapi lagi-lagi yang dilakukan bagas hanya tertawa sembari memegangi perut buncitnya. “Hahahaha! Mampus kau!” Buru-buru aku mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja di lantai, dan betapa terkejutnya aku saat mendapati layar ponselku yang sudah tidak berbentuk. Layarnya hancur, bahkan ketika aku nyalakan, beberapa bagian yang rusak hanya menampilkan warna hitam. “Ponsel gue ancur, Gas!” ucapku sembari menunjukkan layar ponsel malang itu ke wajah Bagas. Masih sambil tertawa, Bagas berucap santai, “Yaelah, palingan tempred glass-nya doang.” “TEMPRED GLASS GIGI LO GENDUT! INI LAYARNYA BAGAS! LAYAR!” ucap gue yang kini benar-benar sudah kesal. Biar kuberi tahu sedikit, kalau android milikku ini bukan android kekinian yang masih banyak di pasaran. Aku memakai benda ini sudah dua tahun, dan sebelumnya ini adalah ponselnya Mas Tama. Jadi totalnya, ponsel ini sudah berumur empat tahun. Kalau aku memaksa mencari ponsel jenis ini di toko, jelas tidak akan ada, begitu juga dengan aksesorisnya, tempred glass dan kawanannya. Tidak akan ada di toko, setidaknya aku harus beli online. Yang jadi masalah, tempred glass ponselku baru saja dihancurkan oleh Mas Tama, dan aku juga belum sempat beli lagi. Dan hari ini, si Bagas dan kelakuan begonya malah dengan seenak udel ketawa keras-keras setelah menyebabkan kehancuran yang fatal pada ponselku.  “Yaudah, lah, beli baru aja,” ucapnya santai. “BELI? BELI LO BILANG?!” Aku benar-benar emosi, sampai tidak sadar kalau seisi kantin sudah menatapku.  “Iya, beli lagi aja, Mileah! Jan kek orang susah,” ucapnya lagi, masih sambil tertawa. “ENAK LO NGOMONG SEENAK PERUT! DASAR BODOH! NGGAK ADA OTAK!” Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, karena sebelum Bagas punya gelar almarhum, aku sudah bergegas meninggalkan kantin. Mungkin orang lain akan bilang aku berlebihan hanya karena sebuah ponsel, tapi mereka tidak pernah tahu bagaimana perjuanganku untuk bisa mendapatkan ponsel bekas ini. Aku harus belajar mati-matian supaya bisa masuk SMA negeri, dan ponsel ini adalah reward berkat kerja keras dan pengorbananku selama tiga tahun aku di SMP. Keluargaki bukannya tidak mampu membelikanku ponsel baru, tapi memang begini cara orang tuaku mengajarkan anak-anaknya tentang bagaimana menghargai sebuah barang. Dan baru saja, manusia yang paling ingin kubunuh dibanding siapa pun, baru saja merusak ponselku satu-satunya. Tanpa ada perasaan bersalah, bahkan sekedar kata maaf. Aku kesal sekali, bahkan sampai tidak masuk kelas. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya ingin mencari ketenangan dan menjauh dari makhluk itu. Bahkan menyebut namanya saja aku malas.  Saat ini, aku masih duduk sembari memeluk lutut di pojokan perpustakaan. Bagian paling sepi, di dekat rak yang berisi ensiklopedia. Masih sambil menatap ponselku yang malang, seseorang tiba-tiba datang dan duduk persis di sampingku. Aku tidak kenal siapa dia, karena saat aku menoleh ke arahnya dia malah nyengir sambil bilang, “Gue boleh duduk di sini, kan?” Aku yang sedang malas bicara, hanya mengangguk kemudian beralih lagi pada ponselku. Mencoba memikirkan bagaimana cara menjelaskannya ke bapak. Kalau beliau tahu, aku pasti bakalan kena omel—meskipun tahu kalau pelakunya itu Bagas. Tanpa sadar, aku menghela napas kencang sampai orang yang tadi duduk di sebelahku menoleh. “Lo lagi banyak masalah?” Aku hanya menggeleng pelan. “Maaf, bukannya gue mau ikut campur, tapi lo bisa cerita ke gue.” Aku menatapnya sekilas. Kalau dilihat-lihat, dia lumayan ganteng. Kulitnya putih bersih, dengan senyuman yang menawan.  Seragamnya juga bersih dan rapi, rambutnya juga lurus terawat, seperti tipikal cowok idaman. Gue menggeleng pelan, menolak tawarannya barusan. “Oke. Nama gue Sagara, lo bisa panggil gue Saga.” Ucapnya sambil tersenyum. “Ladis.” Setelah itu, aku kembali menatap nanar pada ponselku. Sedangkan Saga, entahlah, mungkin dia sedang membaca ensiklopedi. “HP lo rusak?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk pelan, “Bukan rusak lagi, ancur.” Dia terkekeh pelan, kemudian mengambil ponselku yang memang sejak tadi kuletakkan di lantai. Aku yang sudah pasrah, hanya menghela napas dan diam saja saat Saga malah mengotak-atik ponselku. Percuma, mau diapakan juga ponsel itu sudah tidak tertolong lagi. “Masih nyala, tapi LED-nya ancur banget, kalaupun diganti harganya lebih mahal ketimbang beli ponsel baru,” ucapnya sambil mengembalikan ponselku ke tempatnya. “Makasih sarannya.” “Emanya lo apain sampe ancur gitu?” tanyanya sambil terkekeh pelan. Aku kembali menghela napas. Mengingatnya kembali membuat kepalaku berdenyut. “Ada, manusia super b**o, t***l, d***o, g****k, i***t, b***t, b****k… gue juga nggak tau, dia itu manusia apa bukan! Sampe bisa-bisanya ngancurin HP gue!” Sudah kubilang, mengingat makhluk itu malah membuatku makin emosi. “Santai, dong.” “Sori.” Aku diam lagi, membuat suasana hening terasa lagi. Sampai sebuah sepatu butut tiba-tiba mengganggu pandanganku. “Dis,” Tanpa menoleh, aku buru-buru bangkit. Aku kenal betul makhluk pemilik suara itu. Aku menepuk pelan bahu Saga kemudian benar-benar pergi. Di belakang, aku tahu kalau Bagas mengikutiku, sampai suara cemprengnya mulai terdengar. “Lo marah, Dis?” Pake nanya! “Yaudah, maafin gue, ya.” Nggak segampang itu, kambing! “Dis, jawab, dong!” Bodoamat. Aku masih diam, dan hanya menjawab ucapan-ucapan Bagas di dalam hati. Hingga tanpa kusadari, aku sudah tiba di depan kelas. Untungnya sedang tidak ada guru, jadi aku bisa langsung masuk dan mengunci pintunya dari dalam. Buru-buru aku duduk di tempatku, kemudian merebahkan kepala dan menaruhnya di atas lipatan tangan. Aku sama sekali tidak peduli pada Bagas yang terus memanggil-manggil namaku dari luar jendela. “Dis, lo samperin dulu tuh si Bagas. Berisik banget,” ucap Tiara yang mungkin juga ikut terganggu oleh suara Bagas. “Nggak!” “Yaudah, gue bukain pintunya.” “SAMPAI ADA YANG BUKAIN PINTU, MATI KALIAN!” Seisi kelas seketika hening, kemudian kembali ramai detik berikutnya. Beberapa ada yang menertawakan Bagas, sisanya hanya mengobrol biasa dan Ucup, yang tentunya sedang dangdutan di depan kelas. Terserah mereka mau apa, aku sama sekali tidak tahu dan tidak mau tahu. Kepalaku pusing, dan hanya itu yang kurasakan. Aku tidak mau memikirkan hal lain, setidaknya untuk saat ini. *** Akhirnya, aku sampai di rumah dengan selamat. Seharian aku menghindari Bagas, dan sungguh, itu lebih melelahkan ketimbang harus lari keliling lapangan dua puluh putaran. Hingga tadi saat pulang sekolah pun, Bagas masih mengikutiku. Padahal aku sudah memesan ojek online dan meminta si abang driver untuk menjauh dari motor butut Bagas. “Dis, tuh Bagas nyariin,” ucap ibu sambil mengetuk pintu kamarku. Bahkan sampai saat seperti ini pun, si Bagas masih saja mengganggu hidupku. “Ladis capek, Bu, mau istirahat. Suruh pulang aja si Bagas.” Ibu tidak bersuara lagi, semoga beliau berhasil mengusir Bagas. Suara Ibu tidak lagi terdengar, digantikan oleh ketukan yang berasal dari jendela kamarku. Ah, aku bahkan lupa kalau kamar ini ada jendelanya. Buru-buru aku bangkit, dan menutup gorden. Bagas sudah berdiri di depan jendela kamarku dengan memasang ekspresi memelas. Dari kecil, Bagas memang terbiasa mengetuk jendela kamarki kalau dia mau main, dan Ibu tidak mengizinkan. Tapi kali ini, Bagas mengetuk jendela kamarku dengan tujuan yang sama sekali berbeda. “Ladisha, maafin Bagas, ya,” ucapnya lirih. Enak saja dia minta maaf, aku tidak akan semudah itu memaafkan dia. Gue masih belum menjawab, sampai sekali lagi Bagas memanggil namaku. “Ladisha ….” Kebiasaan Bagas memang begitu kalau dia habis berbuat dosa sama aku, dia akan memanggil namaku dengan baik dan benar sambil pasang ekspresi menyedihkan. Biasanya, aku tidak akan tega dan langsung memaafkannya, tapi kali ini aku tidak akan terpengaruh. Karena aku sama sekali tidak melihat tampangnya di balik jendela kamarku. “Pokoknya Bagas akan terus berdiri di sini sampai Ladisha maafin Bagas.” “Bodo amat!” Setelah mengatakan itu, aku bergegas keluar kamar untuk mandi. Persetan dengan si Bagas yang entah mau berdiri di sana sampai kapan, aku sama sekali tidak mau peduli. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD