Bab 2 - Semoga Saja

1798 Words
Pagi ini saat memasuki kantor, Yosi langsung menghampiriku dan bertanya mengenai proyek yang kami kejar kemarin. “Yash ... proyek kemarin gimana? Kira-kira peluang kita gede nggak? Lawannya siapa?” tanyanya. “Breeze Crew Inc. mbak,” jawabku. “Wah berat kalau mereka lagi,” ucap Yosi karena memang kami sudah beberapa kali gagal setiap berhadapan dengan perusahaan yang sedang berkembang pesat itu. “Iya mba... apalagi kemarin mereka udah curi start bawa draft desain dan kebetulan banget pihak klien kelihatan tertarik sama draft itu,” aku kembali menjelaskan. “Ahh ... gila sih ini. Cara pendekatan klien mereka fresh banget. Pantesan si anjing penjilat balik ke kantor lagi semalem. Ternyata harus menjilat lagi supaya nggak kena omel karena bakal kehilangan proyek lagi ya hahaha,” Yosi kembali berkata dan mengejek si “anjing” yang kutahu siapa yang dijulukinya seperti itu. Informasi dari Yosi itu pun cukup mengejutkanku. “Pak Roy balik ke kantor lagi mba semalem?” tanyaku. “Ya pasti dong Yash ... kalau gagal pasti dia bakal menjilat Bu Lasyi. Kayak nggak tahu aja lo,” jawab Yosi dan akhirnya membuatku ingin mencoba bertanya hal yang sudah lama ingin kutanyakan. “Mba ... kenapa setiap gagal Pak Roy harus menghadap ke Bu Lasyi?” aku melontarkan pertanyaanku. “Aduh lo ini ya Yash. Gue udah tiga tahun ngoceh lo belum ngerti juga? Roy menghadap Bu Lasyi itu untuk menjilat ... men ... ji ... lat ....” ucapnya dengan wajah serius tapi nada mengejek dan malah membuatku semakin bingung saja. ***** Waktu kerja pun mendekati akhir dan aku segera menuju toilet untuk merapikan dan merias kembali wajahku. Malam ini aku akan pergi dinner dengan Roy dan tentu aku ingin tampil layak, mengingat sudah lama sekali kami tidak keluar berdua alias ngedate. Aku menuju basement dan segera memasuki mobilnya, setelah itu mobil itu pun melaju keluar dari gedung kantor membawa kami bergabung dengan kemacetan kota Jakarta di jam pulang kantor. Setelah melalui kemacetan selama 30 menit, mobil Roy berhenti di sebuah restoran dalam sebuah mall yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta di lokasi outdoor-nya. Benar saja, pelayan restoran ini mengantarkan aku dan Roy untuk duduk di salah satu meja yang menghadap ke langit malam ibukota yang sibuk ini. Ada angin yang berhembus kuat terasa di sini dan hal itu membuat malam ini semakin menyenangkan bagiku. Aku tersenyum ketika hembusan angin menggelitik wajahku. “Kamu senang?” aku mendengar suara Roy dan membuka mataku yang baru saja memejam menikmati angin. “Heem ... aku suka bisa bertemu angin bebas,” ucapku dan membuatnya terkekeh halus. “Masih aja kamu. Suka banget sama angin ya? Aku lupa deh kamu sudah pernah cerita belum sih kenapa kamu suka banget sama angin?” tanya Roy yang malah membuatku menjadi sebal. Benarkah dia tidak ingat bahwa selama tiga tahun terakhir, mungkin aku sudah sekitar 15 kali memberi tahunya apa alasanku menyukai angin. Kini, dia akan menanyakannya lagi untuk yang ke-16 kali? Aku pun mendengus kesal sebagai jawaban “Huft.” “Kenapa? Aku udah pernah tanya ya? Kamu udah pernah kasih tahu?” tanyanya kembali. “Ini yang ke-16 kali ya aku jelasin. Awas kamu nanya lagi besok-besok,” ucapku dan direspon dengan tawa lepasnya. ***** Makan malam kami sudah habiskan dan malam sudah semakin larut saat kami berjalan menuju parkiran mobil. Saat sedang bersenda gurau karena perasaan yang bahagia, mendadak langkahku terhenti akibat perkataan Roy yang kuharap hanyalah sebuah gurauan. “Aku nginep di hotel seberang, kamu ikut ke sana yuk?” bisiknya di telingaku dan membuatku terpaku. Aku tidak tahu respon apa yang harus kuberikan. Ini bukan yang pertama kali Roy mencoba mengajakku memasuki tahap hubungan yang lebih “intim”. Akan tetapi, aku belum siap bahkan kurasa aku tidak akan pernah siap. Saat itu juga aku melepaskan rangkulan lengannya di pinggangku. Aku memberi jarak antara tubuh kami dan tersenyum kikuk sambil menggeleng. “Not now,” jawabku. “Ayolah Yash ... kalau bukan sekarang terus harus sampai kapan aku nunggu kamu? Kamu itu percaya nggak sih sama aku? Kamu serius nggak sih sama hubungan kita?” kini Roy mulai terlihat emosi. Melihat Roy yang emosinya mulai tidak terkendali, aku pun semakin menjauhkan jarak kami. Ingatan kejadian sebelumnya saat Roy pernah memaksaku teringat dengan cepat dan alarm tubuhku berdering untuk segera menjaga jarak. “Roy ... aku nggak bisa!” ucapku namun terputus karena genggaman tangannya yang kencang di pergelangan tangan kananku. “Awww ... sakit Roy!” pekikku. “Ikut aku ya Yash!” ajaknya sambil menarikku untuk segera masuk menuju mobilnya. Tidak butuh waktu lama, karena hotel itu hanya ada diseberang mall ini dan kami pun sampai di depannya. Roy kembali memaksaku untuk turun dan segera menarikku masuk ke lobby hotel. Aku masih tetap mencoba melepaskan diri dan kami sempat menarik perhatian sedikit orang yang sedang berada di lobby itu. “Lepasin Roy!” sekali lagi aku berusaha melepaskan diri saat kami sedang menunggu lift paling pojok dari lobby ini. “Kamu yang selalu nanya Yash, kita ini masih pacaran nggak sih? Malah harusnya aku yang nanya sama kamu ... kamu beneran pacar aku nggak sih? Masa hal seperti ini aja nggak pernah kamu bisa kasih?” lontaran kalimat Roy yang penuh emosi kembali dimulai. “Aku nggak mau Roy. Aku nggak bisa!” lirihku kali ini hampir akan menangis. “Kenapa nggak bisa? Jadi yang lo bisa apa sih Yash? Kerja nggak becus ... hal begini juga nggak bisa ... terus gue bisa pakai lo buat apa? Sok jual mahal banget sih lo!” Roy dengan emosi yang memuncak bahkan kini sudah dalam mode atasan yang berlo-gue padaku. Mendengar kata-katanya barusan aku tidak kuasa lagi menahan tangis. Aku segera menghentakkan genggaman tangannya dan berlari menjauh. Saat berlari dengan mata yang kabur akibat air mata, aku menabrak seseorang. “Sso-sorry ....” ucapku lirih dan akan segera melanjutkan langkah kakiku berlari. Namun sebuah tangan menghentikan upayaku. “Yasha kan ya?” tanya suara itu, suara yang sangat dalam dan menenangkan seperti suara hembusan angin. Aku mendongakkan wajahku dan mendapati wajah yang kutemui kemarin. Matanya masih sama menghanyutkanku dalam ketenangan. Hingga aku menangkap sosok Roy yang dibelakang tubuhnya mengamati sekelilingnya kelihatan sedang mencari-cari keberadaanku disekitar lobby hotel ini. Segera aku menyembunyikan tubuhku dengan tubuhnya sebagai tameng agar Roy tidak melihatku. “Please tutupin aku sebentar,” pintaku. “Aku mau keluar. Aku antar kamu pulang aja sekalian gimana?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan kuat. “Iya tolong bantu aku keluar dari sini,” ucapku dan dia pun membawaku melangkah mundur dengan tubuhnya yang masih menutupiku hingga kami keluar dari lobby hotel dan menuju mobilnya. Laki-laki itu tidak menanyakan apa-apa lagi selain ke mana dia harus mengantarku. Dia benar-benar mirip dengan angin yang paham bahwa aku hanya perlu ketenangan. Bahkan seperti sudah mengenalku lama, dia membuka kaca mobil sejak kami berangkat dari hotel tadi agar angin masuk ke dalam mobilnya. Hingga akhirnya angin bisa menerpa wajahku dan menenangkan hatiku. Angin hadir bersamanya di saat aku sedang sangat membutuhkan. Angin terdengar di suaranya, nampak di matanya, dan terasa disekitarnya. Sebenarnya siapa dia? Lalu kenapa angin yang bersamanya terasa sangat menyejukkan? ***** Tanpa kusadari mobil telah berhenti dan hembusan angin dari jendela pun tidak bisa kurasakan lagi. Padahal rasa sesak masih belum berhenti kurasakan. Aku melihat rumah Eyang dihadapanku, tempat di mana Ken menghentikan mobilnya. Aku segera beranjak, melepaskan sabuk pengaman, dan mencoba membuka pintu mobil. Tidak berhasil. Ternyata pintu masih terkunci dan membuatku menengokkan wajah ke arah sosok penolongku ini. “Eh masih kekunci ya? Sorry,” ucapnya saat mendapatiku menghadapnya. Aku pun keluar dari mobil dan menunduk melalui kaca untuk menyampaikan terima kasihku. “Terima kasih untuk bantuan dan tumpangannya ya Pak,” ucapku. “Ken. Panggil aku Ken aja ya, Yash!” jawabnya dengan senyuman lebar seperti menunggu perkataanku berikutnya. “Hah? Oh ... Oh oke! Terima kasih ya Ken,” aku kembali mengulangi rasa terima kasihku. Ingin rasanya aku mengucapkan lagi terima kasih untuk segalanya. Terima kasih sudah menahanku pergi di lobby tadi, terima kasih sudah membantuku menyembunyikan diri, terima kasih sudah menawarkan mengantarkanku pulang, terima kasih karena tidak menanyakan apapun, benar-benar terima kasih. Saat aku telah membalikkan badan dan berjalan ke arah gerbang rumah Eyang, suara yang dalam itu menghentikan gerakku. “Good night Yash! Sleep tight and emm ... see you again maybe?” suara itu terdengar tetapi tidak lagi berasal dari dalam mobil. Ken ternyata sudah berdiri di depan kap mobilnya, sedikit menyender, dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Hal yang paling membuat detakan jantungku memburu secara tiba-tiba adalah tatapan matanya saat mengatakan “see you again maybe?”. Sorot mata itu kembali seperti menunggu jawabanku untuk menyetujui kemungkinan kami untuk bertemu kembali. Aku pun hanya bisa tersenyum, tanpa mengiyakan ataupun menolak dan segera berlalu memasuki rumah Eyang. Setelah menutup pintu kamarku, aku pun jatuh terduduk lemas di lantai. Berbagai peristiwa lama yang pernah dilakukan oleh Roy, yang sama seperti yang dilakukannya hari ini kembali muncul diingatanku. Roy dan egonya sebagai seorang laki-laki. Roy dan obsesinya pada hubungan intim sebagai sepasang kekasih. Roy yang semakin hari semakin tidak bisa lagi kupahami. Masih bisakah hubungan ini dipertahankan? ***** Aku sangat tidak ingin masuk kerja hari ini. Namun aku sudah berjanji akan menyerahkan salah satu coloring design pada tim produksi hari ini. Sudah hampir selesai sebenarnya, tapi aku tidak membawa copy-nya dan mau tidak mau jika ingin menyelesaikannya aku harus ke kantor. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangkat tubuhku untuk beranjak mempersiapkan diri. Bukan hanya mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor, lebih dari itu aku pun mempersiapkan diri untuk bertemu Roy. Benar saja, saat lift membuka dihadapanku aku langsung bertemu dengan sosok yang ingin kuhindari hari ini. Bodoh, pikirku. Aku harusnya naik tangga saja tadi, jadi bisa mengurangi resiko naik lift yang telah dinaiki oleh Roy dari lantai basement. Akan tetapi sekarang sudah terlambat. Mau tidak mau aku memasuki lift tersebut bersama beberapa orang yang tadi juga sedang menunggu bersamaku. “Pagi Yas!” sapanya seperti tidak pernah ada masalah yang terjadi di antara kami semalam. “Pagi Pak!” sahutku pelan sambil menganggukan kepala, sebelum memilih posisi sejauh mungki darinya di dalam lift yang sempit ini. Perjalanan singkat lift membawa kami di lantai tempat kami harus keluar. Setelah keluar dari lift, Roy langsung menahanku beranjak ke arah mejaku berada. “Nanti jam 3 ikut aku meeting lagi ya. Ada penjelasan calon klien buat iklan motor baru brand Hando. Kamu bisa buat draft penawaran nggak sampai jam 3 ini? Riset semampu kamu kayak yang kamu jelasin waktu itu, seperti punyanya Breeze Crew bisa nggak?” tanyanya. Aku yang cukup kaget mendengar perkataannya pun langsung membulatkan mata. Sesaat aku lupa dengan masalah kami sebagai sepasang kekasih dan sangat mengapreasiasi kemauan Roy untuk mengubah cara kerjanya yang biasa. Roy yang mencoba mempercayakan informasi klien lebih dahulu kepada bawahannya adalah Roy yang tidak pernah ada sebelumnya. Dia belajar memahami arti teamwork ternyata. Kenyataan itu entah kenapa sangat membuatku bersemangat. Akhirnya aku berkata riang “Oke! Aku riset dulu iklan produk Hando selama ini bagaimana! Sebelum makan siang, aku kasih draft-nya ke kamu ya. Kamu kasih masukan kalau ada yang perlu diperbaiki sebelum meeting, aku sambil kerjain di perjalanan. Bagaimana?” Senyuman pun muncul di wajah itu. Tangannya bergerak ke atas kepalaku. Mengusap sambil mengacaukan tatanan rambutku. Roy terlihat mengangguk dan hal itu membuatku kembali berharap bahwa hubungan ini mungkin saja masih bisa diselamatkan. Ya, semoga saja. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD