Bab 1 - Bukan Atasan dan Bawahan

2067 Words
Aku melangkahkan kaki dengan tidak begitu semangat memasuki gedung kantor di mana aku bekerja hampir tiga tahun ini. Wind Creative Inc, adalah tempat kerja pertama dan satu-satunya bagiku. Dulu saat pertama kali magang di kantor ini, aku melangkahkan kaki dengan semangat layaknya seorang mahasiswa yang ingin banyak tahu. Begitu juga, ketika aku mendapatkan penawaran untuk bekerja sebagai pegawai kontrak bahkan sebelum wisuda. Pastinya aku sangat merasa beruntung dan karena itu aku selalu berusaha bekerja sebaik mungkin di sini. Namaku, Ayasha Ilya Greeze. Namaku yang unik membuat banyak orang memberikan nama panggilan yang bermacam-macam padaku. Aku memiliki seorang saudara kembar bernama Ayashi Isya Greeze, sehingga di rumah aku dipanggil sebagai Sasa dan adikku Sasi. Aku juga memiliki seorang abang bernama Aditama Greeze (Bang Tama, biasa aku menyapanya) dan Ayah serta Bunda yang tinggal di Bali. Teman-temanku di kuliah dan di kantor lebih familiar dengan panggilan Yasha padaku. Aku yang memang cukup dikenal sebagai pribadi yang bersemangat pun cukup cepat akrab dengan banyak orang disekitarku. Sayangnya, semangat itu akhirnya sering padam beberapa waktu terakhir. Layaknya api yang padam karena tidak ada hembusan angin yang membantu kobarannya. ***** “Gimana Roy? Kita menang proyek iklan smartphone itu?” tanya Yosi salah satu desainer grafis senior di kantor ini, ketika Roy memasuki kantor sehabis mengikuti seleksi proyek siang ini. Roy tidak menjawab apapun dan ingin langsung berjalan menuju ruangannya yang terletak di ujung lorong. Namun Yosi tidak membiarkannya pergi begitu saja, ia kembali melontarkan pertanyaan ketusnya. “Nggak menang? Kasih tahu aja Roy, biar kita sama-sama tahu,” ucap Yosi sekali lagi dan membuat Roy benar-benar menghentikan langkahnya kali ini. Roy kemudian mendekat ke depan meja Yosi dan membanting berkas penawaran yang sejak tadi memang dibawanya ke meja tersebut. BRAKKKKK “Iya nggak menang. Kenapa? Karena ide desain kalian semua ini kuno,” suara tinggi Roy memenuhi seisi ruangan. “Story board lo mainstream, Yos. Gambar lo kuno, Rik. Pemilihan warna lo norak, Yas,” lagi Roy berteriak menyalahkan Yosi, Erik, dan juga diriku karena proyek yang gagal dimenangkan. Sebenarnya kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi, bahkan pasti akan selalu terjadi. Roy yang selalu emosi dan melampiaskan emosi pada semua staf bagian kreatif karena gagal memenangkan proyek. Berulang kali kami selalu disalahkan padahal memang brief dari dirinya sebagai yang menerima penawaran yang tidak jelas. Ya, walaupun aku adalah kekasih diam-diam Roy selama tiga tahun ini aku tetap tidak bisa membelanya. Roy harus mengakui bahwa dirinya pun tidak becus memastikan setiap anggota memahami apa proyek iklan yang ingin dikerjakan dan seperti apa maunya calon klien. Jangan mau seenaknya saja marah-marah tanpa koreksi dirinya sendiri. Sayangnya, semua hal ini tidak bisa kuungkapkan padanya di kantor. Tidak ada satu orang pun di kantor yang tahu kami berpacaran. Aku mengerti jika di awal kami berpacaran Roy masih ingin merahasiakannya. Akan tetapi kenapa sudah tiga tahun menjalin hubungan pun, Roy masih tidak ingin orang-orang mengetahui bahwa kami berpacaran. Berbagai alasan dilontarkannya. Salah satu yang paling sering diucapkan adalah “aku nggak mau orang-orang mikir aku istimewain kamu nanti kalau mereka tahu kita pacaran Yas.” Jadi akhirnya aku pun menyerah untuk berdebat dan terus mencoba memahaminya sambil terus berusaha bekerja sebaik mungkin. Walau efeknya besar pada perasaanku. Setiap Roy sedang kambuh marah-marah di kantor, dia benar-benar membuatku merasa dia orang lain dan bukan Roy kekasihku. “Yas malah bengong lo,” teguran Erik menyadarkan pikiranku yang berkelana dan ternyata Roy sudah berlalu pergi ke ruangannya. “Eh iya kenapa Bang?” tanyaku kemudian. “Udah duduk ngapain diri mulu lo? Udah pergi tuh si anjing galak,” ucap Erik lagi yang langsung disahuti tawa kencang oleh Yosi. “Anjing galak, gila, nggak tahu diri. Biasanya abis kalah proyek gini tuh anjing bakal menjilat ke Bu Laysi deh. Tunggu aja beberapa menit lagi,” Yosi berkata. Benar saja tidak lama kemudian Roy keluar dari ruangannya berjalan langsung menuju lift dan memencet tombol ke atas yang pastinya adalah menuju ruangan Bu Laysi. Bu Laysi adalah Direktur Operasional Wind Creative Inc. Wanita yang berusia 46 tahun itu memang sangat percaya dengan kinerja Roy di kantor ini. Roy pun pernah menjelaskan padaku bahwa setiap dia gagal dia harus berusaha menenangkan Bu Laysi agar tidak kecewa. Namun sampai saat ini, aku tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan menenangkan olehnya. Jika sudah pergi ke ruangan Bu Laysi, Roy akan kembali beberapa jam berikutnya. Setiap kembali, jika Yosi masih ada di ruangan ini biasanya Yosi akan kembali menyindirnya dengan kata-kata “udah menjilatnya?” yang hanya akan diabaikan oleh Roy begitu saja. Selama tiga tahun bekerja menjadi bawahan pacar sendiri itu tidak mudah. Selalu saja ada perasaan ingin bertanya “pas kamu marahin di kantor itu kamu nggak lihat aku sebagai pacar ya?” tapi kesannya tidak profesional sama sekali. Aku tidak mau meragukan Roy, karena aku yakin dia menyukaiku sejak dulu. Itulah juga sebabnya dia berani mengambil resiko merekomendasikanku untuk direkrut walau aku belum wisuda. Jadi aku selalu mencoba mengalah walau terasa sesak di d**a. Saat rasa sesak ini muncul, aku akan mencari angin. Benar-benar angin. Aku membutuhkan angin karena bisa seketika melegakan sesak ini. Satu-satunya lokasi di kantor yang bisa ada angin bebas hanyalah di atap. Jadi sesegera mungkin aku akan mencapai atap kantor ketika sedang kesal seperti saat ini. Sambil menanjaki tangga yang akan membawaku ke atap kantor, aku mengucapkan harap “semoga anginnya lagi kenceng di atas,” walau akhirnya kecewa karena hanya ada angin-angin lemah yang menghembus di wajahku kini. Bersandar di salah satu dinding atas atap, aku meraih telepon genggamku ingin mengirimkan pesan pada Roy. From: Yasha Roy, nanti pulang bareng ya? Aku lagi capek banget, nggak kuat kayaknya harus naik transjakarta. Sebenarnya aku tidak berharap banyak Roy akan membalasnya, apalagi jika dia sedang berurusan dengan Bu Laysi. Namun tidak ada salahnya ‘kan mencoba. Apalagi biasanya jika aku sedang mengeluh karena kelelahan, Roy mau pulang bersamaku langsung dari kantor. Tidak seperti biasanya kami akan sembunyi-sembunyi dan aku baru akan berani naik ke mobilnya di dua halte setelah halte dekat kantorku. Masih memandang bangunan-bangunan tinggi dari atas atap kantor, sambil mencuri-curi hembusan angin yang tidak terlalu kencang aku merasakan ada pesan masuk. From: Roy Yash, sorry aku ada meeting sama Bu Laysi sampai malam. Kamu pulang sendiri aja ya. Seperti itulah hubunganku dan pacarku saat ini. Bahkan ia tidak menanyakan terlebih dahulu apakah aku bisa pulang sendiri. Dia langsung menyuruhku layaknya tidak peduli dan aku tidak merasa kondisi ini adalah kondisi yang bisa dimengerti. ***** Keesokan harinya aku masih kesal dengan Roy. Aku bahkan tidak menghubunginya lagi sepanjang malam kemarin hingga siang ini. Saat jam istirahat menjelang, Roy mendadak mendekati mejaku. “Hari ini Yasha ikut gue meeting sama calon klien. Iklan provider pulsa besar di Indonesia ‘nih. Please banget kali ini gue harap kita bisa menang,” ucap Roy. Aku pun tidak bisa mengelak karena ini urusan pekerjaan, walau aku tahu bahwa nanti pasti Roy akan berusaha membicarakan mengenai perilakuku yang mengacuhkannya seharian ini. Sepanjang perjalanan aku tidak mengucapkan apapun padanya. Aku memilih memandang jalanan yang cukup padat di siang hari ini. “Yash ... kamu marah karena kemarin aku nggak bisa antar kamu pulang?” tanya Roy mendadak. Aku hanya menoleh padanya sesaat lalu menggeleng pelan. “Terus kenapa kamu diemin aku dari tadi?” tanyanya lagi. “Aku cuma bingung aja Roy. Sebenarnya kita ini masih pacaran ‘kan?” tanyaku akhirnya. “Maksud kamu apa sih Yash? Ya iyalah ... Kalau nggak pacaran terus kita ini apa?” tanya Roy balik. “Kita nih menurutku kayak atasan sama bawahan aja Roy. Aku ketemu kamu kalau di kantor aja ‘kan? Kamu juga marah-marah aja kalau di kantor ... Kapan terakhir kali kamu ajak keluar? Ngedate? Kapan terakhir kali kamu perlakukan aku seperti pacar? Dua tahun yang lalu? Awal kita pacaran doang ‘kan kayaknya? Jadi aku kayak ngerasa nggak punya pacar sih saat ini Roy,” akhirnya aku mengeluarkan keluh kesahku. “Yash ... itu pasti karena kamu kesal aku marah-marah kemarin. Aku selalu berusaha jadi pacar yang baik kok untuk kamu. Aku sayang sama kamu Yash,” kini Roy bahkan sudah meraih sebelah tanganku masuk ke dalam genggaman tangan kirinya. Akan tetapi, genggaman itu tidak menenangkan malah menyesakkan. Genggaman itu tidak meyakinkan tetapi seperti memaksakan bahwa aku harus mempercayai perkataan sayangnya barusan. Aku sesak. Aku melepaskan genggaman tangan kami dan segera membuka jendela mobil. Aku butuh angin. Aku ingin menghirup angin bebas, aku ingin angin berhembus ke wajahku. Hingga akhirnya rasa sesakku hilang. ***** “Hari ini kita akan mendengar dua penawaran desain iklan dari dua perusahaan iklan terbaik. Ada Wind Creative Inc. dan Breeze Crew Inc. wah keren banget sih ini,” ucap salah satu pihak klien saat memasuki ruangan meeting hari ini. “Hai ... saya Roy dan ini Yasha, kami dari Wind Creative Inc.,” ucap Roy mengenalkan diri pada pihak klien. Selanjutnya, aku mendengar perwakilan dari Breeze Crew Inc. yang memperkenalkan diri. “Halo ... saya Ken dan rekan saya Aga dari Breeze Crew Inc. Mohon arahannya,” ucap laki-laki yang suaranya sangat dalam bahkan terkesan tenang dan seperti angin menyejukkan. Saat aku dan Roy akan kembali duduk, ternyata pihak dari Breeze Crew Inc. itu turut menghampiri kami untuk bersalaman dan memperkenalkan diri. “Ken ... hai,” ucap si pemilik suara dalam saat menjabat tangan Roy. “Hai ... saya Roy,” jawab Roy kemudian. Setelah itu, pria tersebut mengulurkan tangannya ke depanku dan kembali mengenalkan diri. “Ken,” ucapnya. “Yasha,” jawabku sambil menjabat tangannya dan detakan aneh muncul di dadaku saat mataku menatap langsung matanya. Refleks aku pun melepas jabatan tangan itu terburu-buru dan mengalihkan pandanganku. Saat itu juga aku kembali duduk dan fokus mempelajari berkas petunjuk desain dari calon klien. Saat aku mengangkat wajahku kembali, pria bernama Ken dan rekannya telah berlalu pergi untuk duduk di tempatnya semula. Meeting selesai dengan kondisi mood Roy yang tidak terlalu baik. Penyebabnya adalah tim kami yang kalah cepat dibandingkan Ken dan timnya yang sudah membawa draft desain. Hal yang lebih membuat Roy kesal adalah respon dari calon klien yang sangat menyukai draft desain. “Gila bisa-bisanya dia udah bawa desain bahkan sebelum lihat berkas penawaran klien maunya gimana. Emang mungkin ya? Dia punya kemampuan meramal atau gimana?” gerutu Roy sepanjang perjalanan kami pulang. “Mungkin kok dan bukan meramal pastinya,” aku memberikan tanggapan. Roy pun tertarik dengan tanggapanku barusan dan bertanya “Gimana caranya?” “Yha dia lakukan riset duluan, cari tahu desain-desain iklan calon klien sebelumnya gimana. Cari tahu apa kelemahannya dan di mana bisa diperbaiki untuk ikutin tren sekarang. Buat draft gambaran terus bawa deh di first meeting,” ucapku percaya diri. “Kenapa kamu nggak lakuin kayak gitu sebelum kita meeting tadi?” tanya Roy dan malah terlihat jengkel setelah penjelasanku sebelumnya. “Gimana aku mau riset calon klien, kalau kamu aja baru kasih tahu mau meeting sesaat sebelum berangkat? Cara kerja kamu sebagai atasan itu yang perlu diubah Roy ... harusnya kamu lebih banyak komunikasi sama tim kamu,” akhirnya aku tak kuasa menahan kritik keluar dari mulutku. “Udah pinter ngajarin kamu sekarang ya. Kalau kamu sepinter itu, harusnya kamu bisa cari kerja di tempat lain tanpa perlu bantuan aku buat masuk ke Wind Creative Inc. kayak sekarang,” Roy mengeluarkan kata-kata andalannya setiap kali kami bertengkar. Selalu saja dia merendahkan diriku dan potensi diriku. Selalu saja dia memosisikan dirinya adalah orang paling berjasa dalam hidupku. Ya, selalu saja berakhir dengan aku yang mempertanyakan masihkah hubungan ini layak dipertahankan? “Iya aku emang nggak pinter, aku bisa dapet kerja emang karna bantuan kamu. Iya Roy aku emang cuma bawahan kamu,” ucapku lirih dan kemudian dilanjutkan dengan permintaan agar dia menghentikan mobilnya “stop di sini aja.” “Mau pulang naik apa?” tanyanya saat melihat aku melepaskan seat belt dan akan turun. “Transjakarta,” jawabku singkat sebelum turun dengan hati sesak akibat pertikaian yang baru saja terjadi. Aku menyusuri pinggir jalan di senja menjelang. Angin menjelang malam pun berlalu disekitarku. Salah satu angin yang kusuka selain angin di atap bangunan adalah angin malam. Saat sudah menaiki jembatan menuju halte transjakarta terdekat, aku tidak langsung memasuki halte. Aku memilih bersandar di pinggir jembatan. Angin yang berhembus saat bersandar di sebuah jembatan memang terasa lebih kencang. Aku membutuhkannya sekarang. Kupuaskan untuk menghirup sebanyak-banyaknya udara bebas ini. Aku puaskan juga wajahku diterpa angin selama mungkin. Setelah ketenangan mulai kudapatkan, barulah aku memasuki halte transjakarta. Sambil menunggu bis datang, aku memeriksa telepon genggamku dan mendapatkan pesan dari pelaku yang membuatku sesak barusan. From: Roy Maafin aku Yash. Aku lagi pusing karena kita kehilangan proyek terus. Maaf aku jadi marah-marah sama kamu. Besok kita pulang bareng ya, aku mau ajak kamu dinner. Sedikit kelegaan mulai terasa saat membaca pesannya. Setitik harapan mulai muncul, paling tidak besok adalah pertama kalinya kami keluar bersama lagi, dengan status pacar bukan atasan dan bawahan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD