Mencari Lukas

1506 Words
Hari ini untuk pertama kalinya Luna mencari kontak Lukas di grup obrolan kelasnya. Tidak susah. Karena satu-satunya kontak yang tidak ia simpan adalah milik Lukas. Karena menurut Luna, Lukas itu tidak penting. Jadi tidak ada keuntungan juga jika ia menyimpan kontak Lukas. Empat pesan sudah Luna kirimkan. Isinya biasa saja. Hanya sekadar menanyakan kapan Lukas bisa diajak berdiskusi untuk menentukan sekolah mana yang akan mereka kunjungi untuk melakukan observasi. Tetapi sedari tadi belum ada balasan dari Lukas padahal beberapa kali Lukas terlihat online. Ketika perempuan itu barusaja meletakkan ponsel di atas nakas, tiba-tiba saja benda pipih itu berbunyi, membuat Luna harus mengambilnya kembali karena takut ada pesan yang penting. Dan ternyata pesan tersebut adalah balasan dari Lukas. Luna berhasil membulatkan bola mata dengan sempurna ketika membaca balasan dari Lukas. Lukas: Siapa? 17.40 Bukan kaget karena ternyata kontaknya juga tidak disimpan oleh Lukas. Tetapi yang Luna tidak habis pikir adalah, karena Lukas masih bertanya siapa padahal jelas-jelas Luna sudah memperkenalkan dirinya di pesan pertama yang ia kirimkan sepanjang dua tahun mereka satu kelas dan juga tiga pesan lainnya yang membahas tentang observasi tersebut. Luna: Iqro', Lukas. 18.42 Lukas: Sorry. Nggak fokus. Lagi nyetir. 18.44 Luna memutuskan untuk menunda membalas pesan dari Lukas. Ia harus membiarkan Lukas menyetir tanpa gangguan dari dirinya. Luna terlalu pede, tidak mungkin juga Lukas rela fokus menyetirnya terganggu hanya untuk membalas pesan dari Luna. Dan tentang balasan yang baru saja, mungkin Lukas tidak sengaja membaca pesan tersebut, jadi sekalian dibalas. -::---:::::---::- Sekarang sudah pagi. Luna kembali mengecek ponselnya. Sejak semalam, ketika ia membuka ponsel, selalu saja nama Lukas yang ia cari. Dan jika laki-laki itu tidak mengiriminya pesan, ia akan berembus lelah, lalu meruntuki Lukas dalam hati. Karena tidak ada juga pesan yang Lukas kirimkan untuknya, Luna berinisiatif untuk menelfon saja laki-laki itu. Toh, informasi terakhir dilihat di bawah nomor Lukas tidak terpaut lama dengan saat ini. Tanpa banyak berpikir lagi, Luna menekan tombol telepon di ujung ruang obrolannya bersama Lukas. Panggilannya tidak diangkat. Berapa kali Luna mencoba menelpon kembali  laki-laki itu. Tetapi nihil, Lukas tidak juga mengangkatnya. Luna menyerah. Ia tidak mau paginya terasa menyebalkan karena Lukas yang tidak kunjung memberinya kabar. Sekarang ini belum pukul enam. Mungkin Lukas sedang mandi, karena mereka akan ada kelas jam tujuh pagi. Luna beringsut dari duduknya. Ia hendak kembali ke kasur untuk sejenak rebahan menunggu jam di atas nakas menunjukkan pukul enam tepat. Tetapi baru saja perempuan itu meletakkan kepalanya di atas bantal, ponselnya berdering panjang dan ada nama Lukas tertera di sana. "Apa?" Belum juga Luna berbicara, Lukas sudah berkata dengan ketus di seberang sana. "Nanti jangan lupa bahas sekolah tujuan," kata Luna dengan datar sebelum akhirnya panggilan tersebut putus. Luna manatap ponselnya lekat-lekat. Seperti ada indikasi bahwa wajah laki-laki itu memasang ekspresi dingin di sana yang membuat Luna ingin segera membanting ponselnya. Beruntung, ia  cepat tersadar bahwa belum ada satu bulan dirinya berganti ponsel. ~•0•~ Luna rela mengancel sarapan bersama Nisa dan Desi. Setelah kelas berlalu, perempuan itu langsung terbirit mencari Lukas yang ternyata tidak masuk kelas. Padahal saat kelas berlangsung, dirinya sempat melihat laki-laki itu berjalan di depan kelas dan sempat saling tatap dengan Luna walau akhirnya perempuan itu lebih memilih untuk tidak peduli. Luna sudah mencari Lukas di kantin FEB, tetapi tidak ada. Bahkan perempuan itu sampai meneliti setiap motor gede yang ada di sepanjang parkiran. Tidak lupa, ia juga mengecek parkiran mobil di depan FEB sampai FKIP karena barang kali laki-laki itu pergi ke kampus dengan mobil. Luna memang tidak mengenal Lukas dengan baik. Tetapi Luna tahu betul bagaimana rupa motor dan mobil milik Lukas. Keduanya berwarna merah dengan plat nomor AD 1 NDA dan AD 11 NDA, yang jika dibaca menjadi ADINDA. Entah plat nomor tersebut hanya kebetulan, atau memang memilki makna lain. Nama pacar Lukas, misalnya. Jika sudah berada di parkiran FKIP dan tidak menemukan mobil Lukas di sana, alangkah baiknya Luna mengambil sedikit lagi tenanganya untuk mencari Lukas di kantin FKIP, kantin alam yang terdapat banyak pepohonan di sana. Belum lama pandangannya beredar, perempuan itu sudah bisa mendapati sosok jangkung yang lagi-lagi sedang menyesap rokok. Tanpa berpikir panjang, Luna segera menghampiri laki-laki itu. Tidak peduli dengan teman-teman Lukas yang lain, pokoknya hari ini Luna harus bisa berbicara dengan serius bersama Lukas untuk membahas tugas observasi mereka. "Lukas," ucap Luna pelan sambil menoel bahu Lukas. Beberapa kali perempuan itu menoelnya, tetapi Lukas tidak sadar juga saking asyiknya mengobrol dengan temannya. "Kas, dicari cewek lo tuh!" Lukas menoleh. Mendapati Luna yang lagi-lagi mengganggu acara nongkrong bersama teman-temannya, membuatnya menghela napas panjang. "Sejak kapan lo punya cewek modelan  kalem gini? Biasanya juga jamet!" ceteluk temannya yang lain, yang langsung saja mendapatkan pelototan dari Lukas. "Lukas mana pernah pacaran. Dia kan anak mami." Lukas tidak menanggapi. Kini ia berbalik menatap Luna yang masih berdiri di sampingnya. "Ada apa?" tanyanya. "Kita perlu ngomong." "Ngomong aja. Silakan." "Ini serius, Lukas." Lukas bergeming sebentar. Lalu ia bangkit dari duduknya dan melempar selembar uang seratus ribuan ke atas meja. "Punya gue tolong bayarin," ucapnya pada teman-temannya yang langsung berbinar menatap uang tersebut. "Gue duluan," pamitnya. Lukas dan Luna tidak benar-benar pegi dari kantin. Mereka masih berada di kantin yang dipenuhi pepohonan dan sudah duduk manis di salah satu meja dengan payung yang melindungi mereka dari guguran daun jati. "Jadi, Lukas, kita harus cep-" "Pesen makan dulu. Nggak enak kalau duduk di sini tapi nggak makan," ucap Lukas memotong perkataan Luna. Ia bangkit dari sana, berniat memesan makanan. Sedangkan Luna hanya berembus kesal. Tidak lama, pemuda itu sudah membawa satu nampan dengan sepiring penuh kentang goreng dan dua botol air mineral. "Gue nggak tau minuman apa yang lo mau. Jadi gue beli air putih aja," ucapnya sambil memberikan sebotol air mineral di depan Luna. "Emang kalau air putih, aku suka?" balas Luna. Lukas mengedikkan bahunya. Ia sekarang sudah duduk dan mencomot beberapa kentang untuk sekali lahap. "Setidaknya air putih itu bikin sehat." "Jangan ngomong kalau mulut kamu penuh makanan. Nggak sopan." Lukas menelan kentang gorengnya dengan susah payah. "Kan lo yang ngajak gue ngomong. Rese banget!" Luna mengangguk. "Iya juga sih, ya." "Jadi gimana?" tanya Lukas. "Gimana apanya?" Luna berbalik bertanya. Lukas yang mendengar pertanyaan itu praktis memasang wajah datar menatap Luna. "Ahhh, iya!" Luna baru sadar tentang apa maksud pertanyaan Lukas. "Jadi kita harus cepat-cepat nentuin sekolah mana bakal kita kunjungi." Luna mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini aku udah ada form buat perizinan. Nanti kita copy dulu, terus kita isi beberapa nama sekolah. Biar sekalian minta tanda tangan Pak Dekan." "Kenapa beberapa sekolah?" Luna berembus samar. "Lukas, kita itu nggak tahu mana sekolah yang bakal ngizinin kita buat observasi di sana." "Oh." "Jangan ah-oh-ah-oh aja. Sekolah mana yang mau kita kunjungi?" ucap Luna sedikit menyentak. "Terserah lo, deh. Gue nggak tau sekolah di daerah sini." "Ya aku juga nggak tahu. Kamu sih, nggak garcep! Beberapa sekolah udah diambil sama anak-anak. Kamu pasti nggak baca pesan grup kan?" Lukas menggeleng. "Kok kamu kayak nggak niat buat kerja tim kita, sih!" "Gue niat, kok." "Seandainya aku nggak satu tim sama kamu. Pasti aku nggak bakal pusing kayak gini." Luna sudah bersiap untuk pergi dari sana. Tubuhnya sudah bangkit. "Kenapa nggak mundur aja?" Perempuan itu menatap manik bulat milik Lukas lekat-lekat. "Masih aku pikirin." “Jangan lama-lama mikirnya, nanti keburu nggak dapet sekolah. Akhirnya lo semakin susah observasi apalagi cuma sendirian.” Luna tertegun mendengar ucapan dari Lukas. Laki-laki itu seratus persen ada benarnya. Jika ia ingin mundur, harusnya sejak awal ketika dosen memutuskan ia untuk satu kelompok dengan Lukas. Jika hari ini ia memutuskan mundur, sepertinya sia-sia juga karena memang sudah tidak ada lagi sekolah yang membuka pintu untuk mahasiswa melakukan observasi. Luna sempat bertanya-tanya. Katanya, sekolah adalah laboratoriumnya mahasiswa, tapi untuk mengurus perizinan saja sering dipersulit. Tapi tidak apa, itulah bagian dari perjuangan seorang peneliti. Luna harus semangat untuk kali ini saja, bersama Lukas sebagai rekannya. Benar sekali, dengan bermodal bismillahirohmanirohim, Luna menyatakan sanggup untuk bekerja tim bersama Lukas. “Iya,” ucapnya pelan namun berhasil memecah keheningan yang sempat tercipta. “Apa?” tanya Lukas. “Iya, aku mau satu tim sama kamu.” Lukas tersenyum, kemudian ia kembali menegak air mineralnya.  “Tapi janji, kamu kudu bisa diandelin.” Luna memberikan pershyaratan pada Lukas. “Tuhan aja ngelarang manusia buat berharap lebih selain padaNYa. Terus ngapain lo berharap lebih sama gue?” Luna mengembuskan napasnya kasar-kasar. “Pokonya apapun yang terjadi, kita kudu selesaiin tugas ini. Nggak boleh mundur, nggak boleh males-malesan. Janji?” Luna sudah mengacungkan jari kelingkingnya di depan Lukas. Ia meminta Lukas untuk berjanji pada dirinya.  “Hm, janji deh.”  Kemudian jari kelingking mereka berdau saling terkait bersamaan dengan ucapan janji yang sudah digaungkan. Walau mereka terlihat snagat mantap, tetapi dalam hati Luna, dirinya masih belum sepenuhnya mantap untuk bisa mengerjakan tugas ini bersama dengan Lukas. Luna tetap harus berkonsultasi dengan ibu dosen terlebih dahulu apakah boleh untuk observasi di sekolah yang sama dengan teman-temannya yang lain dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi sekolah yang membuka pintu karena bulan ini juga merupakan masa-masa ujian di mana jika ada penelitain dari mahasiwa dikhawatirkan akan mengganggu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD