Lukas dan Genggaman Tangannya

1717 Words
Luna sedang duduk di selasar perpustakaan seorang diri. Ia masih memikirkan laki-laki yang akan benar-benar menjadi patnernya dalam tugas observasi kali ini, yaitu Lukas. Akhir-akhir ini, semenjak mendapatkan tugas tersebut perempuan itu menjadi lebih sering memikirkan Lukas, padahal dulu ia sama seklai tidak peduli dengan laki-laki itu. Jam yang melingkar di tangan kirinya masih menunjukkan pukul dua, di mana Bu Ikah kemungkinan besar masih berada di kampus. Luna sedikit menimang apakah ia benar-benar perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Bu Ikah untuk melakukan observasi di sekolah yang sama dengan Nisa dan Desi karena memang ia tidak tahu lagi sekolah yang ada di Kota ini. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Luna memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Ia hendak pergi menemui Bu Ikah di ruang dosen. Ketika langkahnya baru berjalan beberapa meter, Lukas melihat Lukas yang sedang berjalan berdua bersama seorang perempuan. Ia tidak peduli Lukas sedang bersama siapa. Ia hanya perlu menghampiri Lukas dan memintanya untuk ikut bersamanya menemui Bu Ikah. Menurutnya, jika mereka berdua yang bernegosiasi dengan Bu Ikah, mana kemungkinan besar Bu Ikah akan memberi mereka izin karena keduanya akan memperkuat opini satu sama lain mengenai ketidaktahuan sekolah menengah di kota ini. “Lukas!” panggil Luna agar Lukas menghentikan langkahnya. “Lukas!” panggilnya lagi karena rupanya Lukas tidak mendengar. Setelah Luna mempercepat langkahnya dan berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Lukas, akhirnya Lukas sadar jika Luna sedang berada di sampingnya tanpa menyapanya dan malah ngos-ngosan. Lukas menghentikan langkahnya  bersama dengan perempuan yang sedang bersamanya. Langkah Luna pun ikut terhenti. Ia berusaha mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Lukas. “Apa lagi, Lun?” tanya Lukas dengan wajahnya yang sedikit kesal karena merasa terganggu dengan kehadiran Luna yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya. “Ayo ikut aku,” ucap Luna begitu saja. Ia bahkan seperti tidak mempedulikan perempuan yang sedang bersama dengan Lukas. “Kemana?” tanya Lukas. Ia terlihat tidak senang karena ia sudah ada rencana akan pergi bersama teman perempuannya itu. “Ketemu Bu Ikah, kita harus nego sama Bu Ikah.” Lukas semakin tidak tahu saja apa yang dimaksud Luna karena perempuan itu tidak menjelaskan semuanya. “Ngapain ketemu Bu Ikah? Mau nego apaan?” Lukas masih belum mau pergi bersama Luna. Apalagi perempuan yang sedang bersamanya itu sudah melipat tangannya di depan d**a dan ekspresinya mulai bete. Lukas sadar itu dan pada akhirnya ia memilih untuk tidak ikut bersama Luna. “Lun, lo aja deh yang ngurusin semuanya. Gue udah ada janji nih,” kata Lukas yang langsung membuat Luna mengerutkan keningnya. “Kamu gimana sih, Lukas? Katanya mau berjuang bareng?” “Berjuang bareng?” Perempuan yang sedang bersama Luaks tersebut akhirnya angkat bicara karena penasaran. “Berjuang bareng buat apa?” tanyanya lagi. Lukas mendadak linglung. Ia bingung bagaimana cara menjelaskan kepada temannya itu. Padahal ia tinggal bicara saja apa adanya, tetapi Lukas terlalu lama berpikir yang membuat perempuan itu langsung berfikiran buruk tentang hubungan Lukas dan Luna. Perempuan itu menyentakkan kakinya sekali dan langsung saja pergi meninggalkan Lukas dan Luna di sana. Lukas nampak panik dengan kepergian perempuan itu yang tiba-tiba karena memang ia akan mengambek padanya. Tetapi, bukannya Lukas mengejarnya, ia malah diam saja berpasrah jika memang benar-benar perempuan itu marah padanya. “Loh, kok dia pergi?” tanya Luna dengan polosnya. Sebenarnya Luna tidak sepolos itu, tetapi memang dirinya enggan memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang menurut tidak penting, jadi ia memilih untuk menanyakan langsung pada Lukas. Wajah khawatir Lukas perlahan memudar menyisakkan tatapannya yang datar pada Luna. Ia tidak menyangka jika Luna bisa membuatnya gagal berkencan bersama perempuan yang sudah satu minggu ini berusaha ia dekati dan berusaha ia ajak untuk berkencan. Tetapi, semuanya sia-sia karena kehadiran Luna yang tiba-tiba dan sepertinya membuat perempuan itu risih. “Lun, lo bisa nggak kalo nggak ganggu gue?” Luna sedikit memiringkan kepalanya, mencoba menelaah perkataan Lukas. “Aku ganggu ya?” tanyanya dengan lirih. Lukas mengangguk tegas. “Iya, lo ganggu banget. Gara-gara lo, gue nggak jadi kencan sama Rasya!” katanya dengan ketus. Luna mengedikkan bahunya. “Yah, siapa juga yang tau kalo kamu mau kencan sama perempuan tadi? Kenapa nggak bilang? Kenapa juga perempuan tadi tiba-tiba pergi? Harusnya kan dia bilang-bilang dulu kalau mau pergi. Dasar nggak sopan!” kata Luna yang bertubi-tubi dengan nada julidnya. Lukas tidak pernah menyangka jika Luna sejulid dan secerewet ini. namun, hal tersebut justru menydarkan Lukas bahwa apa yang dikatakan Luna memang ada benarnya. Tidak seharusnya Rasya pergi begitu saja meninggalkannnya, apalagi mereka berdua sudah berjanji untuk berkencan hari ini. “Iya deh, lo menang.” “Hah? Menang apa?” Lagi-lagi Luna sulit memahami perkataan Lukas, barang sebuah kata perumpamaan. Lukas mengembuskan napasnya keras-keras. Ia sudah meremas kedua tangannya di depan wajah Luna, yang hanya ditanggapi dengan dahi Luna yang berkerut karena menurutnya Lukas sangat aneh. “Aku nggak pernah menyangka kalo kamu aneh banget, Lukas. Tapi semoga keanehan kamu itu nggak ganggu kegiatan kita ya! Aamiin.” Bahkan, Luna sampai mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lukas cukup lelah. Sebenarnya yang aneh itu dirinya atau justru Luna, ia tidak begitu paham. Yang pasti, ia tidak tahu mengapa gadis yang berada di depannya itu mengusap wajahnya dengan kedua tangan setelah mengucapkan kata Aamiin. Melihat wajah Lukas yang nampak lelah itu membuat Luna harus memutar otak agar Lukas tetap semangat untuk ia ajak menemui Bu Ikah. Jika kemarin ia merasa sangat canggung dengan laki-laki itu, untuk hari ini rasanya ia sudah bisa mulai akrab dengannya walau sebenarnya Luna tidak tahu apakah Lukas juga sudah mulai merasa nyaman jika harus sering-sering bertemu dengan dirinya. Setelah sedetik berpikir, sebuah ide terlintas di kepala Luna. Setelah menemui Bu Ikah bersama Lukas dan setelah semuanya selesai, sepertinya Luna perlu membawa Lukas untuk berjalan-jalan sejenak menggantikan acara kencannya dengan Rasya. “Lukas. Sekarang kayaknya kita harus segera nemuin Bu Ikah,” kata Luna memulai obrolan mengenai tugas-tugas mereka berdua sebagai tim. “Buat apa?” tanya Lukas, tidak paham. Selain dirinya benar-benar tidak paham, dirinya sebenarnya juga malas untuk mengurusi tugas itu hari ini. “Besok aja deh. Gue harus pergi nyusul Rasya.” Itu hanya alasan. Lukas sudah tidak mau lagi berhubungan dengan perempuan itu yang tidak mempunyai sopan santun dan malah pergi tanpa pamit. Prinsip Lukas adalah “Jika kau memutuskan untuk pergi, yaudah pergi aja, jangan menunggu hanya untuk dicari.” Lukas tidak sudi lagi untuk memohon pada Rasya agar bisa berkencan dengannya. Toh, harga dirinya sudah banyak merosot selama sepekan ini karena memohon-mohon pada perempuan sombong itu hanya untuk berkencan. “Lukas, perempuan tadi ... siapa namanya?” Untuk sekadar mengingat nama perempuan tadi saja Luna tidak bisa. Benar-benar Rasya tidak penting bagi Luna. Yang ia pikirkan memang hanya tugasnya agar segera menemukan titik temu permsalahan menentukan sekolah sebagai tempat observasi. “Rasya,” jawab Lukas dengan singkat. Luna mengangguk mengingatnya. “Kamu kan bisa bicara sama Rasya nanti-nanti aja, nggak ada yang mendesak kan? Nah, kalo sama Bu Ikah, kayaknya kita harus nemuin beliau sekarang. Takutnya keburu pulang beliau.” Luna menjelaskan dengan enteng. Lukas tidak keberatan sebenarnya dengan ucapan Luna yang menyarankannya untuk berbicara dengan Rasya nanti saja, karena memang dirinya sudah tidak mau lagi berbicara dengan rasya. Tetapi untuk bertemu dengan Bu Ikah. Dirinya sangat malas. Lukas hampir membuka mulutnya, tetapi berani-beraninya satu jari Luna membungkam mulut Lukas. Ia meletakkan telunjuknya tepat menempel di bibir Lukas, walau ia harus berjinjit. “Nggak ada penolakan, Lukas. Kan katanya mau berjuang bareng-bareng. Ingat?” Matanya yang bening itu menatap Lukas yang terbungkam. Setelah itu, ia baru sadar jika yang ia lakukan sudah cukup berlebihan yaitu dengan membungkam mulut Lukas. Luna menurunkan jarinya. “Eh, maaf. Nggak sengaja.” Luna menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia merasa canggung karena walau ia sudah bisa merasa akrab dengan Lukas, tetapi belum tentu Lukas bisa merasa nyaman akrab dengannya. ia menjadi merasa canggung ditatap datar seperti itu oleh Lukas. “Lukas, kayaknya besok aja deh ya kita nemuin Bu Ikah. Kayaknya aku harus pergi duluan deh!” Rasa canggung itu berakibat buruk bagi kewarasan Luna. Ditatap datar oleh Luka membuatnya sedikit banyak ketakukan. Bahkan telapak tangan Luna sudah mulai dingin karena ketakutannya itu, yaitu dengan pikirannya yang tiba-tiba saja Lukas akan memarahinya. Walau ia sadar tangannya selalu bersih karena ia membawa handsanitizer kemana-mana, tetapi tetap saja Luna tidak tahu isi pikiran Lukas. “Aku duluan ya.” Luna yang sudah berbalik dan hendak melangkah itu ditahan oleh Lukas. “Mau kemana?” tanya Lukas dengan suara dinginnya. “Hngg ... mau pulang.” Sialnya, Luna lupa untuk berbohong pada Lukas. Ia malah menjawab dengan jujur jika dirinya akan segera pulang ke kost saja. “Nggak bisa gitu lah!” “Huh, kenapa?” Luna semakin merasa takut saja karena nada bicara Lukas sudah meninggi. “Kan lo udah bikin gue gagal jalan sama Rasya.” Luna tidak paham dengan korelasinya. “Terus, apa hubungannya sama aku?” tanyanya lagi dengan polos. Lukas berdecak, sempat membuat Luna berkedip karena terkejut. “Gimana ceritanya lo bisa nggak bertanggung jawab kayak gini?” Luna tidak menjawab. “Yaudah. Temenin gue makan siang kalo emang nggak mau ketemu Bu Ikah hari ini.” Lukas sudah menarik tangannya saja. Perempuan itu berjalan seirama dengan Lukas. Namun, tidak lama Luna melepaskan genggaman tangan Lukas pada pergelangan tangannya dan berhasil menghentikan langkah Lukas. “Kita ke Bu Ikah aja.” Luna berubah pikiran. Memang sebenarnya lebih baik menemui Bu Ikah dari pada makan siang bersama Lukas. Apalagi jika di sana juga ada teman-teman Lukas. Lukas menyetujui. Keduanya memutuskan untuk menemui Bu Ikah di ruangannya. Tetapi, ternyata mereka kurang beruntung karena Bu Ikah rupanya sedang tidak ada di kampus. Dan infonya yang mereka dapat dari dosen lain, Bu Ikah sedang pergi ke luar kota untuk satu minggu ke depan. Luna sudah kalang-kabut bingungnya. Bisa saja ia menghubungi Bu Ikah melalui pesan singkat, tetapi ia tidak pernah yakin jika Bu Ikah akan membalas dengan cepat pesannya. Karena Bu Ikah terkenal dengan dosen yang paling lama membalas pesan-pesan dari mahasiswa. “Terus gimana dong?” tanya Luna pada Lukas. Ia sudah khawatir saja jika tidak ada sekolah yang bisa ia datangi. Lain Luna, lain pula Lukas. Jika Luna sudah nampak khawatir dan terlihat pucat, Lukas hanya biasa saja. Laki-laki itu seperti tidak ada beban sama sekali. “Makan siang dulu. Nanti kita pikirin bareng-bareng,” ucapnya dengan enteng dan menggandeng tangan Luna untuk membawanya ke kantin. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD