Bab 2. Antara Vira, Zavon, dan Juna

1319 Words
Drrtt ... Drrtt.... Getaran ponsel memanggil ini membuat Zavon tidak bisa fokus bekerja. Sudah beberapa kali dia menolak panggilan dari orang yang sama, demi menjaga ke-profesionalitasnya dalam bekerja. Kali ini tidak bisa lagi. Jika ia terus saja membiarkannya, ia akan di teror habis-habisan oleh musuhnya di kampus. "Iya, Juna. Ada apa? Jangan menggangguku, nanti saja hubungi aku." Ucap Zavon to the point. Terdengar suara keributan dari sana, membuat Zavon kesal hingga melempar bolpoinnya. Ia menginginkan kesunyian untuk membuatnya fokus kerja. Tapi menerima panggilan dari Juna, selesai sudah. Pria itu penuh dengan keributan. "Apa maksudmu menolak perjanjian ini? Mau melihatku seakan-akan seorang pengecut? Ha?!" Ucap Juna emosi, berteriak dari seberang sana. Zavon ingin memukul pria itu, tapi apa daya, dia ada di lain tempat. Juna memang sudah terkenal dengan keributan. Tidak ada Juna kalau tidak ada keributan di sekitarnya. "Kamu menggangguku hanya untuk menanyakan ini? Sangat tidak berguna!" Jawab Zavon, tidak kalah emosi. "Ambil hadiahmu! Ambil gadis tidak berguna ini!" Jari Zavon hendak mematikan telpon Juna, namun terhenti ketika mendengar suara perempuan, Zavon langsung terhenti. 'Aku tidak menyangka kamu bisa se-tega ini padaku, Juna!. Kenapa aku bisa dijadikan bahan taruhan!' 'Suara yang indah.' batin Zavon ketika mendengar suara itu. Zavon diam tak berkutik. Tatapannya menjurus tajam ke ponselnya. Sekarang dia bingung, antara menerima perjanjian taruhan itu atau menolaknya. Pasalnya, jika dia menerimanya, maka dia sudah tidak bisa disebut sebagai manusia lagi karena menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan. Tetapi, Zavon tidak tahu kalau ternyata bahan taruhannya itu adalah pacar dari musuhnya. Ia kira seperti biasa, traktiran makan sampai puas. Selain itu, jika Zavon menolak, maka ia berkhianat pada dirinya sendiri. Hanya dengan mendengar suara dan melihat wajahnya sepintas saja sudah membuatnya tidak fokus melakukan apapun. Sepertinya, perempuan ini punya pengaruh yang cukup besar terhadap Zavon. "Kamu dimana?" Tanya Zavon, dingin. Ia sudah mengepalkan tangannya. Tidak suka dengan cara Juna terhadap perempuan. Sempat beberapa detik yang lalu mendengar suara tamparan. "Aku ada di tempat biasa, kamu kesini lah dan ambil hadiahmu ini. Aku sudah muak dengannya!" Jawab Juna. 'Juna!' sayup terdengar suara perempuan itu lagi. "Jangan sakiti dia lagi, aku akan kesana sebentar lagi. Jangan sakiti milikku," Bahkan sekarang, perempuan itu sudah menjadi milik Zavon. Apakah salah? Itu adalah hadiah dari kemenangan. *** Zavon terburu-buru mengemas laptopnya, mengambil kunci mobil dan ponselnya lalu keluar dari ruangannya dengan cepat. Ia sangat menghargai waktu. "Zavon! Papa mau diskusikan sesuatu!" Ucap Dante ketika berpapasan dengan putranya. "Pa, maaf, sepertinya nanti saja saat di rumah. Zavon ada urusan penting, atau nanti kirimkan ke email Zavon," ujarnya begitu saja dan ingin berlalu dari hadapan papanya. Dante langsung menghentikan Zavon lagi. "Ini bukan masalah pekerjaaan, nak. Ini masalah ulang tahun pernikahan papa. Kamu bisa kan mengatur semuanya nanti? Mama sama papa mau honeymoon sebelum acaranya di gelar. Kamu persiapkan semuanya sebelum kami pulang honeymoon. Gimana? Bisa?" Perlu di catat, Dante dan Cinta selalu melakukan satu hal sebelum ulang tahun pernikahannya datang, yaitu honeymoon. Tidak pernah sekalipun melupakan hal itu. Banyak yang merasa keheranan dengan pasangan yang satu ini, tapi mereka hanya membalasnya dengan senyuman saja. Jiwa muda mereka tidak pernah surut, dan jangan ragukan itu. "Kalau masalah itu jangan khawatirkan, pa. Zavon akan mengurus semuanya. Sekarang, Zavon ada urusan penting. Nanti kita bicarakan semuanya di rumah. Maaf, pa." "Oke, be careful, Zavon!" Teriak Dante melihat putranya yang berlari. "Pasti urusan perempuan. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya," gumam Dante heran melihat Zavon yang terburu-buru seperti itu. *** "Aku sangat tidak bisa dipercaya, Juna. Kenapa kamu membuatku jadi bahan taruhanmu, padahal masih begitu banyak hal yang bisa kamu gunakan. Kenapa?!" Tanya Vira tidak terima. Seharusnya, di hari kelulusannya dia akan bahagia. Mendapatkan ucapan selamat dari semua orang. Ia memang mendapatkan itu dari Juna, namun setelahnya ia mendapatkan kabar yang begitu tidak mengenakkan. Kekasih hatinya, Juna, menjadikannya sebagai bahan taruhan sebuah permainan. Ia manusia, bukanlah barang yang bisa ditaruhkan begitu saja. Kini ia tidak tahu, pria seperti apa yang memenangkan kompetisi itu. Dari awal, ia memang salah mendapatkan Juna sebagai kekasihnya. Di satu bulan pacaran mereka saja, Vira sudah mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari pacarnya itu. Ia sakit hati, tapi tidak bisa berkutik. Bahkan orang tuanya pun mendukung hubungan mereka. Bagaimana bisa ada pria yang begitu terang-terangan selingkuh di depan mata pacarnya? Bahkan sampai lebih intens. Bentakan, tamparan, itu adalah hal yang biasa Vira dapatkan dari Juna. Ia tak berdaya, orang tuanya lebih mementingkan harta. Bahkan sekarang, sangat tidak manusiawi, dijadikan bahan taruhan seakan-akan dirinya tidak punya harga diri sebagai manusia. "Aku sudah muak pacaran denganmu, Vira!. Kamu tidak membiarkanku melakukan 'itu', padahal orang tua kamu sudah setuju. Kamu sombong, sok suci!" Bentak Juna, bahkan sampai menarik kerah baju sekolah Vira. Vira syok, membulatkan matanya tidak percaya. Pria ini sudah berlaku kasar padanya. Bahkan sekarang, ia menjadikan perihal 'itu' sebagai alasan ke-penatannya dengan Vira. "Bagaimana bisa kamu muak, Juna? Padahal aku sudah berusaha menuruti semua kemauanku. Kecuali memang pada satu hal ini, aku tidak mau menjadi gadis kotor sebelum waktunya. Aku rela menerima semua kesakitan itu, kecuali dirusak olehmu. Aku sudah bilang, jika memang kamu mau melakukan 'itu' denganku, maka tunggu beberapa tahun sampai aku selesai sekolah. Aku tidak mau dipandang rendah oleh kedua orang tuamu," jawab Vira, menangis di depan Juna. "Alah! Dasar perempuan tidak berguna! Pada dasarnya kamu sudah rusak, jangan berlagak sok suci!" Juna mendorong Vira hingga terjatuh. Seketika tangis Vida pecah, ia memeluk dirinya sendiri. "Juna!" *** "Kamu tidak kenapa-napa, kan? Ada aku di sini, jangan takut. Kamu bisa sembunyi di belakangku," bisik Zavon. Untung saja Zavon datang sebelum Juna bertindak lebih kasar lagi. Dante langsung memanggil Juna, sebelum pria itu melayangkan tangan kasarnya pada gadis itu. Vira Thania, gadis malang yang dijadikan bahan taruhan. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Juna. Kenapa kamu menjadikan pacarmu sendiri sebagai bahan taruhan?. Kalau memang kamu tidak suka dengannya, maka jangan ikat dia dengan hubungan toxic yang kamu ciptakan. Kalau aku tahu kamu menjadikan pacarmu sebagai bahan taruhan, maka aku biarkan kamu menang asalkan tidak ada yang terluka," ucap Zavon, sudah berhadapan penuh dengan Juna yang terlihat sombong. "Ck... Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu, Zavon?. Kamu akan mengalah? Kalau begitu, taruhanmu adalah Fenita. Kalau kamu kalah, Fenita akan jadi pacarku. Bagaimana?" Ucap Juna bernegoisasi. Zavon menertawakan Juna. "Aku tidak tahu kamu akan pengecut seperti ini, Juna!. Dan perlu kamu ingat kalau aku dan Fenita tidak ada hubungan apapun. Kalau memang kamu menginginkannya, perjuangkan dia dengan istimewa. Jangan jadikan dia menjadi rendah, seperti yang kamu lakukan pada pacarmu sekarang." "Dan juga satu hal, pertandingan pengecut yang kamu buat itu tidak akan menjadi tolak ukur cintamu di terima oleh perempuan. Jangan terlalu mimpi memiliki kalau ujung-ujungnya menyakiti," tambah Zavon. "Kamu sama saja dengan papamu, Zavon. Sombong!" Zavon tidak terima. Dia memperbaiki letak kerah Juna, menarik kerah itu setelahnya. "Dan ingat lagi hal ini, Juna. Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa mengalahkan kami. Kemenangan tidak akan berpihak pada orang yang pengecut seperti kamu. Jadi tetaplah bermimpi, supaya kamu dikalahkan oleh harapanmu itu," bisik Zavon. Juna sudah mengepalkan tangannya tidak suka. "Karena sekarang pacarmu adalah milikku, jadi hubungan kalian sudah gugur. Dan jangan harap kamu bisa mendapatkan pasangan yang sempurna jika caramu saja sudah kotor seperti ini, pengecut!" Tambah Zavon. Ia melengos, menatap Juna tidak suka. Zavon mensejajarkan tubuhnya dengan Vira yang terus memeluk dirinya sendiri. Tangisannya sudah memenuhi tempat ini. Tempat yang biasanya Juna dan Zavon kunjungi dulu. Sebenarnya, mereka adalah sahabat, tapi pecah menjadi musuh kala Zavon lebih terkenal darinya. Rasa cemburu, iri hati itu lah yang membuatnya sampai seperti ini. "Ayo, jangan sedih lagi. Ikutlah denganku, kamu tidak aman dengan Juna." Ucap Zavon pelan. Perlahan, Vira menatap Zavon. Saat itu juga, keduanya sudah merasa tidak baik-baik saja. Pasalnya, sejak pertama Zavon memang sudah terikat dengan perempuan ini. "Aku lelah disakiti terus, kamu tahu?" Tanya Vira pada Zavon, tangisnya pecah. Zavon langsung memeluk Vira, di depan Juna. Ia mencoba untuk menenangkan perempuan itu. "Aku tahu, jadi sekarang kamu harus bersyukur bisa bebas dari Juna. Jangan takut, ada aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD