Bab 3. Mencoba Melupakan Kesakitan

1323 Words
"Cih! Drama sekali!" Ucap Juna. Ia menendang kaleng itu hingga mengenai betis Vira yang masih menangis. Sempat, Zavon mendengar Vira meringis kesakitan. Zavon menatap kaleng itu, tajam. Zavon langsung mengambil kaleng itu dan melemparnya ke arah betis Juna. "Mata dibalas mata, maka apa yang kamu lakukan padanya juga akan akan aku balas sedemikian rupa." Ujar Zavon, berdiri dengan percaya dirinya di depan Juna yang meringis kesakitan, memegang betisnya yang sudah kena oleh kaleng itu. "Bodoh!. Hanya karena seorang perempuan, kamu menyiksa temanmu seperti ini?" Tanya Juna. Zavon tertawa. Ia menarik kerah baju Juna hingga pria itu menatapnya. Berhadapan dengan Zavon yang sudah dikuasai emosi. "Siapa yang kamu sebut teman?. Aku dan kamu sudah lama memutus ikatan pertemanan itu. Kamu lah yang memutusnya, Juna. Kamu yang menganggu hidupku, padahal aku sudah berusaha sabar untuk tidak membuatmu terluka. Ada apa denganmu, Juna!" Bentak Zavon di akhir. Dulu Zavon dan Juna teman dekat. Sangat dekat, sampai sering pergi liburan bersama. Namun seiring waktu, tiba-tiba saja Juna menghindarinya. Menjadikannya sebagai musuh dan setiap hari mencari gara-gara dengannya. "Angelista," ucap Juna. Zavon terlihat kebingungan. Dia masih belum mengerti maksud dari perkataan Juna. "Semua perempuan menyukaimu, termasuk Angelista. Padahal kamu sendiri tahu bagaimana aku menyukai Angelista, Zavon!" Bentak Juna. Zavon langsung memandang Vira, yang ternyata menonton perdebatan mereka. Tatapan Vira berubah, menjadi lebih sedih dari sebelumnya. Ia bahkan menyembunyikan wajahnya di lipatan kakinya sendiri. "Bagaimana bisa kamu mengaku menyukai perempuan lain di depan pacarmu sendiri, bodoh!" Ujar Zavon, kelewat emosi. Ia seperti berbisik. Ia semakin menarik kerah Juna sampai pria itu terbatuk-batuk. "Ambil saja!. Aku tidak perlu gadis sepertinya!. Menyusahkan!" Tangis Vira langsung meledak. "Shut up!" Bentak Zavon. *** Pertikaian antara Zavon dan Juna berhasil di lerai, meski Vira lah yang menjadi korbannya. Mereka hampir sama baku hantam, namun tubuh Vira yang menjadi samsak emosi mereka berdua. Ia terlempar agak jauh saat mencoba menjadi penengah keduanya. "Kalau kamu memang menyukai seseorang dalam hidupmu, maka perjuangkan. Jangan mendapatkan hatinya dari hasil perbuatanmu yang kotor!" ungkap Zavon. Ia melengos dari hadapan Juna yang masih terlingkupi emosi. Ia membantu Vira untuk bangun. "Tidak terluka, kan?" Tanya Zavon, memperhatikan tubuh Vira yang sekiranya mendapatkan luka lecet akibat perkelahiannya dengan Juna. Vira menyentuh lengan Zavon, menatap pria itu penuh harap. "Ayo pergi dari sini, sebelum Juna menghancurkan semuanya di sini, termasuk kamu." Ucap Vira. Matanya sudah berkaca-kaca. "Ayo!" Zavon membawa Vira keluar. Tubuh gadis itu gemetar, membuat Zavon dengan gentle membuka jasnya dan menyampirkannya pada bahu Vira. "Masuk lah ke mobilku, aku akan menemui Juna." Vira menarik tangan Zavon, ia menatap pria itu. Tersenyum luka, melepas jas Zavon dan mengembalikannya. "Apakah kamu juga menganggap ku sebagai sebuah barang?" Tanya Vira. Zavon masih terlihat kebingungan, melihat jasnya dan Vira bergiliran. "Tentu tidak. Kamu adalah manusia, perempuan yang kehormatannya di junjung tinggi," ucap Zavon. Vira tersenyum mendengar jawaban Zavon, tapi dia menangis. "Kalau begitu, biarkan aku pergi. Terbebas dari kalian berdua. Jangan jadikan aku sebagai barang yang bisa pindah Tuan dengan begitu mudahnya. Aku sudah tidak punya orang tua yang bisa membelaku di hadapan kalian. Jadi, please, aku memohon padamu untuk membiarkanku pergi. Aku janji, tidak akan muncul di hadapan kalian." Pinta Vira. Memohon pada Zavon, bahkan sampai bertekuk lutut. Zavon terpaku melihat Vira melakukan ini. Ia mengepalkan tangannya kuat, tidak sanggup melihat Vira seperti ini. Zavon mensejajarkan dirinya dengan Vira, bertekuk lutut. Cukup lama baginya untuk menyusun kata-kata yang masih harus dia terjemahkan dengan baik, tanpa harus menyinggung perasaan Vira. "Aku punya satu syarat, setelah itu aku akan membebaskanmu dari taruhan ini." Ucap Zavon. Vira yang tadinya terus saja menunduk, belum berani menatap Zavon, kini mereka saling tatap satu sama lain. Vira menghapus air matanya kasar, memegang lengan Zavon penuh harap. "Apa?" Tanya Vira. Ia terdengar tidak sabar. Zavon menghela nafas panjang. Ia mengambil tangan Vira yang tadinya ada di lengannya, dan memegang tangan gadis lemah ini. "Aku hanya ingin kamu ikut denganku seharian ini. Tidak melakukan apapun, hanya jalan-jalan untuk menghilangkan kesedihan yang kamu rasakan. Setelah itu, baru aku bisa melepasmu." Ujar Zavon. "Aku akan melakukannya, asalkan aku bisa terbebas dari jeratan kalian berdua." *** "Viraaaaa!" Zavon berlari menyusul Vira yang hampir saja terjatuh. Ini sudah malam, sedangkan mereka kesini sejak sore. Entah sudah berapa permainan yang sudah mereka mainkan. Sudah berapa tiket yang sudah keluar dan sudah berapa teriakan yang memenuhi ruang permainan. Ini adalah permainan terakhir sebelum pertemuan mereka benar-benar berhenti. Zavon harus mengabulkan permintaan Vira untuk melepasnya setelah hari ini. Tidak akan ada lagi yang mengikat mereka berdua, atau bahkan Juna sekalipun. Braaakkk "Awww...." Vira mengaduh kesakitan. Zavon telat, belum saja ia sampai di dekat Vira, gadis itu sudah terjatuh. Sontak saja, Zavon dengan cepat memainkan sepatu rodanya untuk segera sampai di dekat gadis itu. "Tuh kan, aku bilang apa? Jangan jauh-jauh dariku atau nanti kamu terluka, Vira." Zavon membantu Vira bangun. Gadis itu sudah berkaca-kaca, ia menunduk malu. Zavon menyadari kalau sebenarnya Vira sedang kesakitan, dan tiba-tiba saja dia langsung mengangkat tubuh Vira, menggendongnya ala bridal style untuk keluar dari arena ini. Vira membulatkan mata, tidak percaya dengan yang dilakukan Zavon. Ia menarik baju kemeja Zavon, memilinnya, tanda gugup. Zavon menurunkan Vira di sebuah bangku panjang, melepaskan sepatu roda yang dipakai gadis itu. Vira terus saja membulatkan mata, masih tidak bisa berkata-kata dengan yang dilakukan Zavon sekarang. "Ini Tuan," Vira langsung terbuyarkan setelah mendengar suara itu. Seorang pria, berbaju hitam, memberikan Zavon sebuah kotak obat. Ia terus memperhatikan kemana pria itu menghilang, dan betapa kagetnya dia ketika melihat kalau orang itu tidak sendirian. Masih ada sekitar 5 orang lagi dengan pakaian yang sama. "Aku tidak terluka, sedikitpun" ucap Vira, menutup lututnya dengan kain rok sekolahnya. Zavon juga menunjuk telapak tangan Vira yang memerah. Zavon menatapnya tajam, sampai membuat Vira kembali menunduk takut. "Ini yang kamu sebut tidak terluka?. Hey, ini lecet!" Ucap Zavon, hampir membentak Vira. Vira membungkam diperlakukan demikian. Dengan telaten Zavon mengobati luka Vira. Vira kembali membeku ketika melihat Zavon begitu dekat dengannya, meniup luka yang ada di telapak tangannya. "Sudah tidak sakit lagi, kan?" Tanya Zavon. Ia menatap Vira, dan sontak keduanya terlibat saling tatap-tatapan. Sejenak, rasanya dunia hanya milik mereka berdua. Brrrrr... Kegiatan menyelami pikiran satu sama lain terhentikan ketika mendengar suara perut Vira. Zavon langsung menyemburkan tawanya, sedang Vira begitu malu. "Yaudah, ayo kita makan. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang," *** Zavon seperti tidak mengerti perempuan. Dia memenuhi semua meja dengan berbagai menu makanan yang ada di restaurant ini. Bahkan sampai Vira kebingungan mau memilih makanan apa untuknya makan pertama kali. "Makan saja, kalau tidak habis nanti bisa dibawa pulang." Ucap Zavon pada akhirnya. Vira tida punya pilihan lain, selain mengikuti ucapan Zavon. Uhukkk... Uhukkk "Pelan-pelan, Vira!" "Kamu sih! Ini terlalu besar!. Ini tidak muat di mulutku!" Zavon menuangkan air pada gelas Vira dan memberi gadis itu minum. Ia tersedak ketika memakan udang jumbo balado yang Zavon pesankan untuknya. "Aku tidak menyuruhmu untuk terburu-buru memakannya, nikmati saja." Ujar Zavon, mengelus pelan punggung Vira, selagi gadis itu merupakan minum. Tatapan Zavon jatuh pada sambal balado yang tersisa di pinggir bawah bibir Vira. Ia sontak mengambil tisu, dan membersihkannya. Zavon terlihat biasa saja, tapi hari Vira sudah ketar ketir tidak karuan. Vira mencoba mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Hingga tatapannya jatuh pada sepasang kekasih yang terlihat begitu mesra. "Hatiku sakit melihatnya," gumam Vira pelan, menunduk menangis. Zavon langsung melihat ke arah yang sebelumnya Vira tatap, sampai membuat gadis ini bersedih. Ia mengepalkan tangannya, ingin membunuh pria itu sekarang juga. Di seberang sana, ia melihat Juna yang bermesraan dengan perempuan lain. Terlihat begitu mesra, padahal tadi pagi dia mengatakan menyukai Angelista, sedangkan yang bersamanya sekarang bukanlah Angelista. "Apa aku bisa meminta satu permintaan lagi?" Tanya Vira. Zavon mengangguk, cukup ragu. Ia tidak yakin dengan permintaan Vira yang sekarang. "Antar aku ke bar. Aku janji, hanya satu gelas saja setelah itu kamu bisa mengantarku pulang," ucap Vira. Ia bahkan sampai memegang lengan Zavon, menatap pria itu penuh harap seakan tidak ada alasan untuk menolak permohonan darinya. "Hanya satu gelas, jangan lebih!" "Iya, setidaknya bisa membuatku melupakan pria itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD