Datang Kembali

1041 Words
Tahun 1989, ketika musim dingin di negara bagian Eropa. Beni terpaksa datang kembali ke kota kelahirannya. Mobil Beni berhenti terparkir di depan halaman luas yang saat ini ditumbuhi tingginya ilalang. Bangunan tua bertingkat yang telah dialih fungsikan sebagai hotel ini adalah warisan dari almarhum kakek Beni, Bangunan hotel mirip dengan kastil kuno. Dan konon katanya, bangunan ini adalah warisan dari leluhur yang bernama Damian Salvatore. Damian Salvatore adalah tokoh legenda Kota kecil di sini. Rumor yang menyebar jika Damian adalah seseorang yang kaya raya di jamannya. Memiliki harta melimpah hingga tidak akan habis di makan oleh waktu. Harta karun miliknya di kubur dalam bangunan yang kini menjadi Hotel. Kabar burung yang sudah menyebar dan mendarah daging itu tidak pernah terbukti kebenarannya. Bahkan mayoritas masyarakat di Kota menganggapnya hanya dongeng sebelum tidur. Bahkan Beni, salah satu dari keturunan Damian Salvatore, tidak tahu apakah rumor tersebut benar atau tidak? Atau hanya sebuah cerita iseng dari generasi ke generasi. Beni membuka pintu mobil dan langsung disapa oleh hembusan angin dingin yang menerpanya. Ia merapatkan jaket tebal dan kemudian memasukan sebelah tangannya ke dalam kantung jaket. Ia melangkahkan kakinya sambil membawa koper persegi panjang berwarna merah marun menuju pintu tua yang berukuran besar, tinggi, lebar dan kokoh. Sembari berjalan ia terus mengingat kenangan-kenangan akan tempat ini yang mulai samar. Sudah lebih dari dua puluh tahun, Beni tidak kembali ke Kota kecil ini. Ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke tempat ini setelah sekian lama. Hingga ia lupa bagaimana rupa almarhum Kakek Thomas, paman dan bibinya. Jika seandainya mereka berpapasan di jalan, Beni pasti tidak mengenali. Perceraian orang tua membuatnya ikut berpisah dengan identitas diri dan asal Kota kelahirannya. Sebagian hati Beni merasa bersalah pada sang Kakek. Semasa kakek Thomas masih hidup, ia tidak pernah mengunjunginya. Dan saat surat terakhir Kakek Thomas menyuruhnya untuk pulang, Kakek Thomas ternyata sudah meninggal. Bahkan sebagai cucu, Beni tidak ikut mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Beni mengetuk pintu lebar itu sambil melihat ke sekeliling. Hembusan angin beberapa kali menerpanya. Membuat ia semakin merapatkan jaket tebalnya itu. Setelah menunggu agak lama, akhirnya pintu tua yang masih sangat kokoh itu pun terbuka. Seorang wanita berambut pirang lurus, berkulit putih pucat dengan bercak merah di wajahnya memicingkan matanya dari sela-sela pintu. Ia terdiam sambil menatap Beni. Bola mata berwarna biru itu nampak bertanya siapa tamu yang mengetuk pintu? Wajah Beni sedikit dimiringkan untuk melihat si wanita yang hanya membuka sedikit pintu untuknya. Mereka bertatapan sejenak. Hingga Beni langsung menerka wanita itu. “Bibi Jasmine?” Wanita berambut pirang keemasan itu terdiam sesaat dan kemudian iris matanya membesar dan bersinar. Ia tersenyum sambil menunjuk ke arah Beni. Mulutnya tergerak dan ingin mengucapkan sebuah nama, tapi lidahnya terasa sulit mengucapkannya. Beni langsung menyahut, “Ini aku Beni! Keponakan Bibi. Bibi Jasmine pasti lupa. Kakek Thomas telah mengirimiku surat, katanya aku diminta datang ke mari.” Wanita pirang itu langsung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ah, iya! Iya! Beni keponakanku!” “Iya benar Bibi. Kakek Thomas memintaku ke mari. Tapi sayang beliau keburu wafat. Aku sangat menyesal dengan yang terjadi. Harusnya saat Kakek Thomas mengirimiku surat, aku segera ke mari ...!” Beni melanjutkan kata-katanya. Pintu tua yang kokoh itu kini terbuka. Wanita berambut pirang yang dipanggil Bibi Jasmine oleh Beni itu tersenyum dan memeluk Beni dengan sangat erat. “Keponakanku tersayang. Akhirnya kamu pulang ke mari juga. Bibi sangat merindukanmu ....” Beni membalas pelukan bibi Jasmine. “Ya, aku juga sangat merindukanmu, Bi.” Kedua mata Jasmine melihat ke arah mobil berwarna hitam mengkilat. “Apa kamu sendirian?” tanyanya dengan nada bicara sedikit lebih tegas ketimbang tadi. “Ya, aku sendirian ke mari Bi. Ibuku tidak ingin ikut, katanya tempat ini memiliki kenangan buruk untuknya,” jawab Beni. Jasmine melepaskan pelukannya. “Ya, memang. Tempat ini memang memiliki kenangan buruk untuk ibumu. Bahkan seisi Kota juga tahu, jika ayahmu sering memukulinya. Seperti bukan lagi menjadi masalah keluarga. Tapi sudah menjadi rahasia umum jika Gavi si pemabuk dan penjudi itu memukuli istri dan anaknya yang masih kecil.” Beni tersenyum pahit. Sebetulnya ia sudah sedikit lupa tentang kenangan masa kecilnya yang buruk. Hanya beberapa kejadian yang diingatnya, seperti di pukul oleh sapu dan dicambuk dengan ikat pinggang oleh sang Ayah yang sedang tidak sadar karena minuman keras. Jasmine menatap Beni lekat. Seakan ada rahasia di dalam manik matanya itu. Mereka bertatapan sejenak dan kemudian Jasmine menghela nafas panjang dan berat, lalu menghembuskannya perlahan. “Well ... ayo masuk. Kamu harus bertemu Pamanmu. Kebetulan pamanmu sering menanyakan tentangmu,” katanya sambil menggerakkan tangannya ke depan. Beni melangkah masuk. Bola matanya berpendar memandangi ke sekeliling. Tidak ada bingkai foto yang menghiasi dinding. Hanya satu lukisan besar yang sangat dikenal oleh Beni. Lukisan tua bergambar pria berusia lima puluh tahunan dengan kumis tebal dan meruncing di ujungnya. Kumis dan rambut yang berwarna cokelat tua dan tersenyum. Ia duduk di sebuah kursi dan jari-jari di tangannya dipenuhi oleh cincin bermata ruby. Pandangan mata Beni seakan terhipnotis oleh manik mata lukisan Damian Salvatore tersebut. Hingga suara Jasmine yang memanggilnya membuat Beni terkejut. “Beni, sedang apa kamu di sana? Ke marilah!” panggil Jasmine mengejutkan Beni. Ia langsung segera menghampiri Jasmine yang sudah duduk di kursi bar yang tinggi di ruang lainnya. Di sana Beni melihat seorang pria berkulit sedikit putih pucat dengan perut sedikit buncit. Pria itu terlihat menikmati minuman beralkohol yang ada di dalam gelasnya. Beni sangat yakin pria itu adalah Gabriel pamannya. Tapi ia merasa heran, karena kakak ayahnya itu tidak pernah mabuk-mabukkan. Bahkan pamannya adalah sosok ayah yang sangat baik. Walau paman dan bibinya adalah pasangan suami istri yang tidak beruntung karena tidak dipercaya Tuhan memiliki keturunan dari benih dan darah mereka sendiri. Paman Gabriel adalah sosok panutan baginya. “Beni? Hei keponakanku!” seru pria itu. “Kemarilah! Kenapa kamu tidak memberi salam pada pamanmu ini?” tanyanya dengan suara sedikit melantur dan wajah seperti sedang mabuk. Beni menelan ludah dan mendekat. “Kenapa paman mabuk? Bukannya paman tidak menyukai alkohol?” tanyanya lirih. Gabriel tersenyum lebar dan kemudian menggerakkan tangannya. “Waktu bisa mengubah seseorang Ben!” serunya. “Kebetulan kamu ke mari, paman ingin tanya padamu, di mana Kakek Thomas menyembunyikan harta karun milik leluhur kita?” Beni terkejut. Ia mengerutkan dahinya. Kedua alisnya bertautan. “Harta karun?” Beni berbalik bertanya karena tidak mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD