Harta karun

1128 Words
“Maksud paman apa?” tanya Beni lagi. “Sudahlah tidak usah pura-pura tidak mengerti. “Katakan saja di mana harta karun itu!” seru Gabriel. “Aku tahu, kakek Thomas pasti memberitahukan kamu di mana dia menyimpan harta karun Damian Salvatore!” Kedua alis Beni semakin bertautan. Ia kebingungan dengan sikap Gabriel yang meledak-ledak. Karena seingatnya paman Gabriel itu sangat kebapakan dan sabar. Tidak mudah marah begini. Melihat Beni menatap Gabriel dengan pandangan aneh, Jasmine langsung menegur. “Semenjak Hotel tidak lagi beroperasi, dia menjadi begini,” ujarnya berbisik di telinga Beni. Beni menoleh dan menatap Jasmine. “Maksud Bibi, Paman Gabriel depresi karena Hotel ini tidak beroperasi lagi?” tanyanya tidak kalah bersuara lirih seperti Jasmine. Jasmine menganggukkan kepalanya. “Iya betul. Dia menjadi sedikit depresi karena pemasukan berkurang dan kepergian Kakek Thomas. Bibi harap kamu bisa membantu kami.” Beni kembali bingung dengan kata-kata Jasmine dengan kalimat, ‘Membantu kami’, memang apa yang bisa dibantu olehnya? “Beni!” panggil Gabriel lagi sambil berteriak. Ia menunjuk Beni dengan tatapan tajam. “Jika Thomas memberitahukan mu sesuatu tapi kamu tidak menceritakan padaku, awas saja!” serunya mengancam. Jasmine langsung menepuk keningnya sendiri. Ia menarik nafas kesal dan kemudian menarik Beni bersamanya. “Jangan dengarkan dia lagi. Pamanmu itu sedang tidak waras. Lebih baik kamu langsung ke atas dan beristirahat. Biar bibi mengantarkan mu.” Beni mengikuti Jasmine dan meninggalkan Gabriel yang duduk di kursi bar. Dia melipat kedua tangannya di atas meja sembari mencibir dan bersendawa kasar. Ruangan bartender mini itu pun tampak berantakan. Beni menggelengkan kepalanya pelan. Prihatin dengan kondisi paman Gabriel yang menjadi seperti itu. Apa yang dikatakan Bibi Jasmine ada benarnya, kemungkinan jika pamannya itu menjadi depresi karena usaha penginapan Hotel ini sedang tidak baik ditambah kepergian Kakek Thomas untuk selamanya pasti akan membuatnya terpuruk. Jasmine melirik ke arah Beni yang masih mengamati Gabriel. Lalu mereka melangkah bersama, menaiki anak-anak tangga yang meliuk dan lebar. Seperti anak-anak tangga di kastil tua pada umumnya. Pandangan Beni kembali melihat ke seluruh ruangan. Lagi-lagi ia melihat seperti ada bekas bingkai foto di dinding yang telah di angkat. “Bibi, kenapa aku lihat banyak bekas bingkai foto yang tidak terpasang? Apa bibi mencabutnya?” Akhirnya Beni bertanya karena penasaran. Jasmine terlihat terkejut karena Beni mengetahui hal itu. Tapi ia langsung menganggukkan kepalanya. “Iya, semua bingkai foto-foto keluarga memang diturunkan, hotel akan dijual. Jadi kita pasti pindah dari sini kan. Makanya bibi membereskannya,” jawabnya sambil tersenyum pahit. “Jadi hotel ini akan dijual? Siapa pembelinya?” tanya Beni ingin tahu. “Pembeli mengurungkan niatnya. Banyak pemugaran yang harus diperbaiki,” jawab Jasmine beralasan. “Ini kamarmu di sini!” Jasmine melihat pintu yang ada di depannya. Bertuliskan nomer 48. “Kamarmu di kamar nomer 48. Dan jangan pernah ingin tahu dengan kamar nomer 49, yang ada di sebelahnya.” “Kamar nomer 49? Memang ada apa dengan kamar itu?” Beni menjadi penasaran. Harusnya bibi Jasmine tidak usah melarangnya, batinnya. Jika dilarang, malah menimbulkan rasa penasaran yang sangat kuat. “Ada kutukan di kamar 49 itu. Setiap tamu yang menginap di kamar nomer 49, dia akan mati. Entah mati di hotel ini atau mati di tempat lain,” jawab Jasmine dengan suara lirih. Walau suara Jasmine lirih, tetap saja suaranya itu menggema di sepanjang koridor. Beni menatap Jasmine dengan raut muka takut. Jasmine malah tertawa melihat ekspresi muka Beni yang ketakutan. “Sudahlah! Jangan takut! Bukankah harusnya kamu sudah biasa dengan cerita-cerita seram begini?” Beni menghela nafas panjang. Apa yang dikatakan Jasmine, harusnya benar. Sebagai seseorang yang lahir di Kota ini, harusnya mendengar cerita-cerita seram begini adalah hal biasa. Jasmine menepuk bahu Beni. “Well ...,” ujarnya sambil menghela nafas panjang. “Istirahatlah, ini kunci kamarnya. Selamat beristirahat. Sampai jumpa saat makan malam.” “Terima kasih, bibi Jasmine,” kata Beni sambil tersenyum simpul. Jasmine membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Beni. Suara langkah kakinya terdengar dan menimbulkan gema. Bayangan Jasmine yang berjalan terlihat di dinding. Bayangan yang terpantul terlihat berwarna hitam dan semakin lama semakin besar karena bias cahaya. Tiba-tiba saja hembusan angin menerpa punduknya. Membuat Beni bergidik ngeri karena bulu romanya berdiri. Ia melihat ke sekeliling. Sunyi. Tentu saja karena di lantai tiga ini dari sekian kamar yang berjejer hanya ada dirinya saja. Buru-buru Beni memasukan kunci di lubang kuncinya. Setelah dua kali memutar kunci pada lubangnya, pintu kamar pun terbuka. Beni mendorong pintu kamarnya, lalu segera masuk. Aroma pengap langsung terhirup di hidungnya. Partikel debu-debu terlihat berterbangan di udara dari cahaya kisi-kisi jendela. Kasur berukuran satu orang berseprai putih terlihat rapi. Namun sayangnya ada sedikit debu yang menempel. Begitu pula dengan meja yang ada di dalam kamar ini. Kedua mata Beni lagi-lagi melihat ke sekeliling. Ia mencolek meja kayu berwarna cokelat dengan serat kayu yang terlihat. Memastikan berapa tebal debu yang mengotori meja. Setelah mencolek meja dan melihat betapa banyak debunya, Beni meniup ujung jarinya. Debu yang terlepas dari kulit telunjuknya hanya sedikit dan sisanya masih menempel. “Pantas Hotel ini akan bangkrut,” desisnya lirih dan kemudian membuka jaket yang dikenakannya dan kemudian menggantungnya di gantungan khusus jaket dan topi. Beni berjalan mendekati jendela yang berbentuk persegi panjang terbalik. Ia berniat membuka jendela itu agar aroma pengap yang mengeliling kamar ini dapat tergantikan dengan udara yang bersih. Beni membuka jendela kamarnya, hembusan angin dingin langsung menerpa masuk ke dalam ruangan. Berniat hanya ingin mengganti udara kamar dengan yang lebih segar, sepasang mata Beni melihat seorang gadis yang sedang membuang sekantung sampah besar. Gadis itu memakai celemek putih di bagian pinggangnya. Sambil berjalan tergopoh-gopoh dengan kantung kresek hitam besar, ia membuangnya ke tong sampah di ujung. “Siapa itu?” tanya Beni pada dirinya sendiri. Gadis yang diamati Beni menoleh. Ia terasa sedang diawasi oleh sepasang mata. Mereka bertatapan sebentar. Hingga si gadis kemudian memutuskan kembali ke dalam hotel lewat pintu belakang. “Siapa dia? Apa pembantu di rumah ini?” tanya Beni pada dirinya sendiri dan kemudian menutup jendela kamar. Udara pengap di kamarnya kini sudah terganti. Aroma tidak enak itu pun sudah hilang. Ia langsung menaruh tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Pandangan matanya menatap lurus ke langit-langit. Indera pendengarannya tidak mendengar suara bisingnya Kota besar yang selalu di dengarnya. Hening, sunyi dan tenang. “Kenapa tadi aku tidak melihat ayahku ya?” tanya Beni pada dirinya sendiri. Ia baru tersadar ke mana perginya ayahnya yang bermana Gavi itu? Suara garukan di dinding kamar perlahan mulai terdengar saat Beni bertanya pada dirinya sendiri tentang ke mana perginya Gavi. Ia langsung beranjak dari rebahan dan menatap ke arah dinding. “Krrrrr ....!” Suara semacam garukan atau cakaran dengan kuku yang panjang di dinding kamar terdengar memekikkan telinga. Kedua mata Beni membulat. Air mukanya langsung berubah panik dan pucat pasi. Suara cakaran di balik dinding kamarnya ini semakin terdengar jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD