Akhirnya, Dinda menyesal. Penyesalan yang datang terlambat. Terlambat bukan karena ia tak tahu sejak awal bahwa yang ia lakukan itu salah. Tapi karena dulu, ia terlalu buta untuk mengakuinya. Terlalu tertutup oleh ambisi, oleh mimpi-mimpi kosong yang ia ciptakan sendiri dalam kepalanya. Ia tahu, di titik ini, tak ada kata maaf yang mampu menghapus semuanya. Ia telah mengkhianati dua orang sekaligus—lelaki yang kini menjadi suaminya, dan seorang perempuan yang bahkan belum pernah ia temui secara langsung. Revlinska. Nama itu menghantuinya sekarang. Wajahnya tidak pernah ia tahu pasti. Tapi sosoknya hadir dalam bayang-bayang, dalam doa-doa penuh air mata yang mungkin dipanjatkan perempuan itu selama bertahun-tahun. Dinda merasakan itu sekarang—perihnya menjadi yang tersisih, yang dilukai,

