Hening. Sangat hening. Bahkan suara dari ruangan luar—langkah kaki para staf, bunyi mesin printer—semuanya mendadak menjauh dari telinga Khayra. Ia menatap lagi foto Adam, lalu menutup map itu cepat-cepat. Dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak tahu apakah karena kesal, bingung, atau sesuatu yang lain yang tak ingin ia akui. “Aku gak butuh ini.” “Ra…” “Amira, aku serius. Aku gak siap. Bahkan mikir soal nikah aja udah bikin aku pusing.” Amira menunduk sebentar, lalu menatap sahabatnya lembut. “Tapi kamu gak bisa terus-terusan ngelindungin diri kayak gini, Ra. Aku tahu kamu kuat. Aku tahu kamu bisa mandiri. Tapi bukan berarti kamu harus sendirian terus.” Khayra mengalihkan pandangannya. Ia benci saat Amira mulai bicara seperti itu. Terlalu dalam. Terlalu benar. “Kenapa Adam?”

