Subuh mulai menyusup di antara kabut. Langit belum benar-benar terang, tapi garis-garis biru keabuan mulai melukis cakrawala. Udara dingin menyusup tajam ke pori-pori, menggigit pelan kulit yang terpapar. Adam akhirnya sampai. Mobilnya berhenti perlahan di jalan setapak yang berlapis kerikil basah. Roda sedikit terselip lumpur, tapi ia tak peduli. Rumah yang dituju itu sudah tampak samar di balik rerimbunan pepohonan. Sunyi. Sepi. Persis seperti yang ia harapkan: tersembunyi, jauh dari hiruk-pikuk, dari ancaman yang mungkin sedang mengintai. Ia mematikan mesin, tapi tak langsung turun. Jantungnya masih berdetak cepat, bayangan kejadian tadi—mobil yang mengadang, tatapan pria itu, nada ancamannya—semua masih begitu jelas dalam kepala. Ia tahu, ia harus menyampaikan ini. Tapi belum sekara

