“Kita nggak bisa maksa kehendak, Love. Kalau memang Khayra nggak mau, ya sudah,” kata Wirdan pelan, menatap istrinya yang dari tadi mondar-mandir di ruang kerja mereka di LSM. Nada bicaranya lembut, tapi sarat ketegasan. Bukan karena ia ingin menghentikan keinginan Amira, tapi karena ia tahu—kadang cinta butuh batasan. Bahkan cinta yang tulus pun tak selalu mendapat jawaban sesuai harapan. Namun bagi Amira, kata-kata itu seperti menyulut bara yang sejak tadi sudah menyala kecil di dadanya. Ia berhenti berjalan, menoleh dengan ekspresi tak puas. Matanya menyorot kecewa, sedikit marah, dan lebih dari itu—keras kepala. “Kamu nyerah?” suaranya nyaris bergetar, entah karena emosi atau rasa frustasi. Wirdan tersenyum kecil, sabar seperti biasa. Ia mengenal Amira luar dalam. Ia tahu betul bahw

