"Keadilan tak lahir dari kekuasaan, tapi dari keberanian melawan kebusukan, bahkan saat kau berdiri sendirian." - Mahardhika Matahari Saputra
Suara pesawat kecil yang mendarat di Bandara Supadio, Pontianak, nyaris tenggelam oleh bunyi deru kendaraan dan pengumuman yang terus bersahutan. Tapi bagi Mahardhika, yang berdiri di dekat area kedatangan dengan jaket kulit kusam dan ransel di punggung, hanya satu hal yang dia dengar: detak jantungnya sendiri.
Lima bulan bukan waktu yang singkat, terlebih bagi dua orang yang terbiasa saling berbagi kabar, data, dan tawa dalam diam. Lima bulan sejak Ghea Gemalia Saputri menerima surat keputusan mutasi dan resmi menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat. Kota kecil yang jauh dari gemerlap Jawa, namun penuh dengan kompleksitas perkara dan jebakan moral di balik senyapnya.
Tak banyak yang tahu, Ghea bahkan tidak sempat pamit secara langsung pada Mahardhika waktu itu. Hanya satu pesan singkat di malam menjelang keberangkatannya: "Tugas negara. Jaga Semarang baik-baik. Kalau aku tak sempat pulang, kamu yang harus tetap waras."
Dan seperti biasanya, Mahardhika hanya membalas dengan emoji jempol dan satu kalimat: "Jangan beri ampun maling berdasi."
Sudah hampir lima bulan sejak terakhir kali ia bertatap muka dengan Ghea Gemalia Saputri. Lima bulan tanpa dialog hangat, tanpa saling sarkas yang penuh keakraban, tanpa kerjasama memburu kebenaran seperti yang selama ini mereka lakukan. Sejak mutasi itu datang dan Ghea memilih tanpa banyak bertanya, Mahardhika tahu—perempuan itu masih seperti dulu. Tak pernah memilih kemudahan. Ia selalu memilih yang benar.
Dan kini, Ghea kembali. Bukan untuk tinggal, tapi untuk sebuah kolaborasi yang sudah lama mereka rindukan—meski tak pernah mereka akui secara terang.
"Masih suka datang lebih awal meski tahu aku selalu tepat waktu," suara itu muncul dari belakangnya, datar, tapi dengan nada familiar yang menohok pelan di dasar hatinya.
Mahardhika menoleh. Di depannya berdiri Ghea, mengenakan setelan jaksa lengkap berwarna cokelat tua, pangkat Kepala Kejaksaan Negeri terpampang jelas di pundaknya. Wajahnya tetap tenang, bibirnya sedikit tersenyum, dan matanya—mata yang dulu sering sembab karena diganggu kakak kelas SD—kini menatap dunia dengan keberanian seorang singa.
Ketika Ghea melangkah masuk, seragam cokelat kejaksaan yang dikenakannya seketika mencuri perhatian beberapa pasang mata. Namun bukan itu yang membuat Mahardhika terdiam sesaat. Tapi tatapan Ghea. Matanya masih sama. Tajam. Tegas. Tapi ada lembut yang nyaris tak terlihat oleh orang lain.
"Selain itu masih suka duduk di pojokan ya, kayak anak SMA pengamat dunia," ujar Ghea sambil duduk di seberangnya.
Mahardhika menyeringai. "Kebiasaan susah hilang. Sama seperti kamu yang masih suka pura-pura galak padahal gampang terharu."
Ghea mengangkat alis, lalu menatap kopi Mahardhika. "Sudah nulis tentang koruptor hari ini?"
"Belum. Hari ini cuma ingin dengar cerita dari jaksa paling galak se-Sanggau."
Mereka tertawa kecil. Ada hangat yang perlahan menjalari ruang di antara mereka.
"Aku kangen kamu, Ghea."
Ghea mengangkat alis. "Langsung to the point ya?"
"Sudah lima bulan, wajar dong."
Ghea menghela napas, tapi sudut bibirnya mengembang. "Kangen juga. Tapi bukan kamu yang paling kutunggu. Yang lebih penting, aku butuh kamu bantu follow-up kasus ini."
Mahardhika tertawa kecil. "Aku tahu kamu akan bilang begitu."
Mereka berjalan bersama ke sebuah kafe kecil di dekat bandara, tempat yang telah disepakati sebelumnya. Di meja pojok, mereka duduk berhadapan. Di antara mereka, dua gelas kopi dan sebuah berkas yang tebal dengan label: "Penyelewengan Dana Desa Kota Semarang– Indikasi Tindak Pidana Korupsi".
"Ini data awalnya," ucap Ghea sambil menyerahkan berkas itu. "Aku nggak bisa intervensi langsung karena wilayah hukumnya bukan wewenang kejari Sanggau. Tapi aku tahu kamu punya jalur yang bisa dipercaya."
Mahardhika membuka halaman pertama. "Walikota terlibat?"
"Lebih parah. Juga melibatkan oknum penegak hukum. Beberapa laporan sudah ditutup secara internal. Tapi ada dua laporan masyarakat yang masih aktif. Salah satunya dimasukkan lewat pengacara LSM. Aku dapat bocorannya."
Mahardhika mengangguk pelan. Matanya membaca cepat, tapi pikirannya terarah pada satu hal: Ghea.
Ghea menarik napas panjang. "Sebenarnya aku bisa dorong ini lewat JAMPIDSUS, tapi harus ada pemetaan awal. Aku gak bisa langsung turun karena ini masih di luar wewenangku secara administratif."
"Ghea," katanya sambil meletakkan berkas. "Kamu tahu aku akan bantu, kan?"
Ghea mengangguk. "Tahu. Karena kamu satu-satunya orang yang tidak bisa dibeli, seperti aku. Kamu yakin akan membantu meski berbahaya buatmu?"
Mahardhika mengangguk. "Aku akan lanjutkan liputannya sampai masuk ke pembuktian awal. Tapi kamu tahu kan, ini bakal panas banget?"
Ghea menutup map itu perlahan, menatap pria di hadapannya dengan serius. "Aku gak pernah takut panas. Aku cuma takut kalau kamu yang terbakar karena terlalu dekat dengan api."
"Takdirku memang main api, Ghea."
Hening sesaat.
Ghea menatap keluar jendela. Hujan turun perlahan, menyiratkan kesan sendu di antara lalu lalang kota. "Kamu tahu gak, aku sering kangen masa kecil. Waktu semua hal terasa sederhana. Saat kamu nekat hadapi tiga kakak kelas cuma karena aku kehilangan topi."
Mahardhika tersenyum kecil. "Dan aku juga gak lupa waktu kamu nyanyiin lagu anak-anak cuma buat bikin aku ketawa, pas malam itu ibuku ribut lagi di rumah."
Mereka sama-sama diam. Ada potongan kenangan yang hadir seperti cuplikan film hitam putih.
"Kadang aku mikir, kita ini sebenernya siapa buat satu sama lain?" tanya Mahardhika tiba-tiba.
Ghea tak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam. Lalu mengalihkan pandangan dan berkata pelan, "Kita ini tembok. Tempat bersandar, tapi gak pernah boleh rubuh. Bahkan ketika udah retak."
Mahardhika menunduk. Hatinya mencelos. "Kalau suatu hari kita harus memilih... tetap bersahabat atau mengaku bahwa kita saling butuh lebih dari itu, kamu akan pilih yang mana?"
"Kalau jawabannya bikin kita kehilangan satu-satunya orang yang ngerti hidup kita, aku pilih diam."
"Dan itu artinya... biar hati saja yang bicara?"
Ghea tertawa pelan. "Ah, jangan mulai lagi nostalgia."
"Tapi aku ingat betul. Kamu dulu cengeng banget. Nangis gara-gara topi hilang. Dan aku selalu harus babak belur cuma karena kamu mewek."
"Itu namanya gentle. Bukan karena aku cengeng, tapi kamu yang terlalu heroik," balas Ghea cepat.
Mereka tertawa. Dan tawa itu, bukan hanya sekadar nostalgia. Ada sesuatu yang mengalir di baliknya—kehangatan, rasa saling memiliki yang tumbuh dari kecil namun tak pernah diberi label.
Mahardhika menatap Ghea lebih lama. "Kamu hebat, Ghea. Jadi Kajari di usia tiga puluhan. Kalimantan Barat bukan tempat yang mudah."
"Aku nggak pernah pilih tempat, Dika. Kamu tahu itu."
"Dan itu yang bikin aku kagum."
Ghea menunduk, menyembunyikan sesuatu di balik ekspresi profesionalnya. Tapi Mahardhika tahu: hatinya tak setegas suaranya.
"Selama di Sanggau, kamu sempat kesepian?"
Ghea menatapnya cepat. "Semua orang kesepian, Dika. Bahkan kamu, si jurnalis penuh sorotan itu, pasti lebih sering ngobrol sama kopi daripada manusia."
"Touché," balas Mahardhika sambil tersenyum.
Ghea menarik napas. "Aku rindu juga, Dika. Tapi aku nggak tahu, kita ini apa. Sahabat? Rekan seperjuangan? Atau hanya dua manusia keras kepala yang kebetulan saling cocok?"
Mahardhika membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Ia tak tahu apakah ini saat yang tepat.
Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Ghea melanjutkan, "Tapi untuk sekarang, kita fokus ke laporan ini. Kalau kamu berhasil buka jalurnya, aku akan bawa ke pusat. Kita kawal sama-sama."
"Selalu begitu ya, kamu. Sembunyi di balik perkara."
Ghea mengangguk pelan kemudian berdiri, menyambar tas kecilnya. "Karena perkara jauh lebih sederhana daripada perasaan."
Mereka kembali terdiam. Tapi kali ini bukan karena kehilangan kata, melainkan karena terlalu banyak rasa.
Mahardhika menatap punggungnya saat ia berjalan keluar kafe. Dalam hatinya, ia tahu: wanita itu adalah satu-satunya yang bisa membuatnya diam ketika ingin bicara. Dan bicara ketika harusnya diam.
Ia membuka ponsel, menyalakan rekaman suara, dan mulai merekam: "Hari ini, aku bertemu kembali dengan Ghea Gemalia Saputri. Jaksa yang jadi singa dalam ruang sidang, tapi masih menyimpan aroma taman bermain masa kecil di setiap tatapannya. Kasus ini besar. Tapi ada yang lebih besar: perasaan yang tak pernah sempat kutulis."