"Hukum tanpa moral adalah kehampaan. Moral tanpa hukum adalah kekacauan." - Ghea Gemalia Saputri
Sehari sebelum Mahardika kembali ke Semarang, untuk kali kedua dia dan Ghea kembali bertemu di tempat yang sama. Saat itu malam mulai turun, menebarkan cahaya jingga yang perlahan digantikan oleh lampu-lampu jalanan. Di sudut kafe tempat mereka duduk, jam dinding besar bergaya vintage berdetak perlahan seperti menghitung waktu yang tak ingin mereka akui terlalu cepat berlalu. Di antara percakapan yang telah menyentuh banyak sisi—dari soal kasus korupsi hingga masa lalu mereka yang rumit—sunyi mulai mengambil tempat.
Ghea mengaduk kopi yang sejak tadi hampir tak tersentuh. "Masih sering insomnia?" tanyanya, memecah diam.
Mahardhika mengangguk pelan. "Masih. Tapi sekarang lebih sering bukan karena kerjaan."
"Lalu karena apa?"
Dia memandang Ghea lama, lalu menunduk. "Karena kehilangan rasa cukup. Rasanya selalu ada yang belum selesai."
Ghea diam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang ia kenali. Karena ia pun merasa demikian.
"Kamu tahu, Ghea," lanjut Mahardhika, "Hidup kita kayak berputar di poros yang sama. Kita terus mencoba menyelamatkan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, tapi kadang kita lupa menengok ke dalam. Ke hati kita sendiri."
Ucapan itu menggantung. Ghea mengangguk tanpa kata. Ada getar yang tak bisa dijelaskan. Antara pengakuan dan ketakutan. Karena di balik semua keberanian yang mereka miliki di medan kerja, mereka tetap dua manusia yang bisa terluka.
Tiba-tiba ponsel Mahardhika bergetar. Ia membuka layar dan menatap sebentar : "Pesan dari orang dalam di Balai Kota. Dia siap bicara... asal namanya dijaga."
Ghea segera tersadar. "Itu bisa jadi kunci pembuka."
"Tapi kamu tahu risikonya, kan?" Mahardhika menatapnya serius. "Begitu kita sentuh pejabat itu, semua perhatian akan tertuju. Termasuk perhatian yang nggak kita harapkan."
Ghea menghela napas. "Risiko itu selalu ada. Tapi kalau kita berhenti karena takut dilihat, lalu siapa lagi yang bisa diandalkan?"
Mahardhika tersenyum kecil. "Makanya aku selalu datang padamu dulu. Kamu selalu tahu kapan harus maju, kapan harus diam."
Ghea tertawa pelan. "Sayangnya kamu nggak pernah benar-benar diam. Mulutmu kadang lebih tajam dari palu hakim."
"Tapi hatimu selalu bisa meredam," balas Mahardhika.
Keduanya tertawa. Tapi di antara tawa itu, ada perasaan yang mulai menepi. Tak perlu disebut, tak perlu dijelaskan.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Mereka keluar dari kafe dan berjalan pelan menuju tempat parkir. Di bawah lampu remang, langkah mereka lambat dan sejajar. Seperti dua garis yang berjalan berdampingan namun belum tentu bersatu.
Sebelum berpisah, Mahardhika menatap Ghea. "Apa pun yang terjadi setelah ini, aku hanya ingin bilang... aku bersyukur pernah kenal kamu sejak kecil. Dan tetap bisa mengenal kamu hingga sekarang."
Ghea menatap balik. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa ditebak. "Begitu juga aku. Tapi jangan berubah, Dika. Tetap jadi kamu. Karena kalau kamu berubah... mungkin aku akan kehilangan kompasku."
Mereka saling mengangguk. Tak ada pelukan. Tak ada genggaman. Tapi jarak itu seperti tidak pernah ada. Hanya dua hati yang sama-sama memilih bertahan, meski tak berani melangkah lebih jauh.
*****
Hujan deras mengguyur kota Semarang malam itu. Langit seolah melampiaskan segala kepenatan hari, mengguyur atap-atap tua dan jalanan yang lengang. Di dalam sebuah kafe kecil di sudut kota, Mahardhika duduk sendirian dengan laptop menyala dan dua cangkir kopi yang hanya satu di antaranya disentuh. Cangkir satunya—masih utuh, uapnya perlahan hilang.
Sudah dua hari sejak mereka berpisah, tapi bayangan Ghea masih tersisa jelas di benaknya. Caranya tersenyum kaku, caranya mengalihkan pembicaraan ketika ditanya soal perasaan, dan caranya mengetuk meja dengan ujung jari telunjuk saat berpikir keras. Semua itu mengganggu konsentrasinya lebih dari dugaan siapa pun.
Mahardhika membuka folder berisi dokumen yang diberikan Ghea. Ada laporan keuangan desa, hasil audit yang tidak pernah dipublikasikan, dan nama-nama yang nyaris membuatnya tak percaya. Salah satunya: Rendra Atmadja—Wali Kota Semarang.
"Gila," gumamnya. "Rendra? Bukannya dia mantan dosen hukum yang dulu idealis banget?"
Namun nama-nama lain dalam laporan itulah yang membuat napasnya tercekat. Beberapa adalah jaksa, aparat kepolisian, dan bahkan seorang jurnalis senior yang dulu pernah menjadi mentornya. Ini bukan sekadar kasus penyimpangan biasa. Ini jejaring. Dan Ghea tahu itu sejak awal.
Di rumah dinasnya, Ghea membuka laptop dengan koneksi terbatas. Kota Sanggau, tempat ia ditugaskan, tidak memiliki jaringan stabil. Tapi malam itu pikirannya masih di Semarang, dan terus tertuju pada pesan Mahardhika beberapa menit lalu: "Aku mulai gali lewat anak magang di kantor Wali Kota. Tapi sepertinya kita akan butuh penghubung ke Inspektorat Jateng. Aku kenal orang dalam, tapi dia dulu sempat dibungkam."
Ghea menulis cepat : "Jangan sendiri. Kau terlalu percaya diri. Bawa orang yang bisa kau percaya. Dan tolong... jangan nekat seperti dulu."
Mahardhika membalas tak lama kemudian : "Kita semua masih nekat, Ghea. Bedanya, kau punya palu. Aku cuma punya tulisan."
Ghea menghela napas. Pikirannya melayang ke masa kecil mereka. Mahardhika yang dulu selalu mencoba jadi pahlawan, meski tubuhnya kurus dan sering kalah berkelahi. Dan dirinya, Ghea kecil yang dulu mudah menangis tapi cepat bangkit jika Mahardhika ada di dekatnya. Hari ini mereka bukan anak-anak lagi. Tapi entah mengapa, mereka masih saling menguatkan dengan cara yang sama: lewat kehadiran.
*****
Pagi keesokan harinya, Mahardhika bertemu Arga, rekan jurnalis muda yang kini menjadi reporter investigasi di sebuah media digital independen. Mereka bertemu di halaman parkir belakang sebuah gedung tua, di mana berkas-berkas kelam masa lalu sering berpindah tangan.
"Lo beneran mau buka ini?" tanya Arga setengah berbisik, matanya gelisah.
"Gue nggak pernah main-main soal tulisan, Ga. Ini bukan cuma tentang anggaran. Ini tentang sistem yang dilumpuhkan dari dalam."
"Dan lo tau siapa yang ada di dalam sistem itu?"
Mahardhika diam. Ia menatap langit mendung.
"Gue tau," jawabnya akhirnya. "Dan itu kenapa gue nggak bisa diam."
Arga menyerahkan flashdisk. "Di sini ada rekaman pembicaraan antara salah satu pejabat pemkot dan seorang jaksa senior. Gue nyolongnya susah payah. Jangan sampai lo sia-siain."
Mahardhika meremas bahu Arga. "Thanks, Bro. Kalau nanti gue kenapa-kenapa—"
"Udah, jangan drama. Lo bukan film investigasi Netflix. Lo cuma jurnalis keras kepala yang susah diatur."
Mereka tertawa, tapi di balik tawa itu ada rasa takut yang nyata. Karena mereka tahu, menulis tentang kebenaran di negeri ini kadang berujung pada kehilangan: kehilangan pekerjaan, nama baik, bahkan nyawa.
Sementara itu, Ghea menghadiri sebuah rapat internal melalui zoom dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Ia dihubungi karena pengalamannya dalam menangani perkara serupa di Kalimantan. Tapi saat nama Rendra disebut dalam pembahasan—dengan nada halus seolah hanya isyarat—ia tahu bahwa kasus ini tidak bisa diselesaikan hanya dari meja kerja.
"Apakah Kejari Sanggau tertarik menangani perkara lintas wilayah, Ibu Ghea?" tanya seorang jaksa senior sambil mengangkat alis.
Ghea menatapnya datar. "Jika itu menyangkut keadilan dan kebenaran, saya tidak melihat batas wilayah."
"Baik, tapi mohon berhati-hati. Terkadang, kebenaran hanya versi yang belum disetujui."
Ghea tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, kalimat itu menyalakan bara.
Sore harinya, ia menelepon Mahardhika.
"Dik, aku butuh kamu kirimkan transkrip rekaman itu. Aku akan cari celah hukum agar bisa kita proses dari Sanggau. Tapi ingat, semua lewat saluran resmi."
"Saluran resmi kadang mandek, Ghea. Tapi oke, aku nurut kali ini."
"Aku tahu kamu nggak percaya sistem. Tapi setidaknya, percayalah padaku."
Hening sebentar di seberang sana. Lalu Mahardhika berkata pelan:
"Aku selalu percaya kamu. Mungkin itu satu-satunya yang belum berubah sejak TK."
Ghea tersenyum. Tapi senyuman itu bukan untuk dibagi. Ia simpan dalam diam.
Beberapa hari kemudian, Mahardhika mengirimkan artikel investigatifnya ke redaksi. Judulnya provokatif: "Anggaran Hantu: Proyek Tak Berwujud, Dana Menguap." Tapi sebelum artikel itu naik, ia mendapat pesan dari nomor tak dikenal: "Berhenti, atau kau akan menyesal."
Mahardhika hanya membalas: "Saya sudah menyesal sejak lama. Tapi bukan karena tulisan."
Ia tahu taruhannya besar. Tapi seperti kata Ghea: kebenaran tidak punya wilayah. Dan bagi mereka berdua, keadilan bukan sekadar tugas. Itu adalah panggilan.
Malam itu, saat ia mengetik kalimat terakhir, Mahardhika berhenti sejenak dan menatap layar kosong. Lalu ia menulis satu kalimat pembuka untuk artikel selanjutnya:
"Ketika hukum dibeli dan berita dibungkam, maka satu-satunya harapan adalah hati yang masih mau bicara."
Dan dari hati merekalah, perjuangan ini akan terus berlanjut.