Bab 3 : Suara Dalam Bayangan

1744 Words
"Dalam sunyi, terkadang kebenaran berteriak lebih keras dari pidato pejabat." - Mahardhika Matahari Saputra  Pagi itu, ruang staf Walikota Semarang terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi dan AC kantor seperti biasa menghembuskan udara dengan tenang. Listyo Adi, pria berkacamata dengan rambut setengah beruban dan perawakan sedang, duduk gelisah di balik meja kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kegiatan tahunan. Tangannya tak berhenti mengetuk-ngetuk meja kayu berlapis kaca bening, matanya sesekali melirik pintu. Ia tahu, waktunya semakin sempit. Kecurigaan mulai menyeruak dari berbagai arah, dan tulisan investigatif yang dimuat pagi tadi di media Majalah PROSEKUTOR seperti guntur yang menghantam langit biru: mengejutkan, mengguncang, dan meninggalkan ketakutan. Majalah PROSEKUTOR, yang awalnya hanya dikenal sebagai media afiliasi Adhyaksa sejak 2009, kini menjadi senjata tajam pemberitaan nasional. Dan Mahardhika Matahari Saputra adalah salah satu penulis utamanya. Listyo menghela napas panjang, menoleh ke layar laptopnya. Ia kembali membuka folder-folder tersembunyi yang diam-diam ia arsipkan selama setahun terakhir: dokumen-dokumen proyek fiktif, rekaman suara, percakapan via aplikasi, hingga laporan keuangan palsu yang sudah ditandatangani oleh beberapa pejabat. "Semua ini... harus keluar sekarang... sebelum orang-orang tak bersalah terus dikorbankan," gumamnya. Ia memasukkan flashdisk ke port USB. Jemarinya gemetar ketika menyalin satu folder utama berlabel "PINTU BELAKANG". Folder itu berisi rekaman perintah langsung dari Walikota, bahkan suara saat Walikota menegaskan, "Uang desa itu aman, asal kamu bisa bagi ke penyidik di kejaksaan. Sisanya buat operasional saya." Suara itu mengendap dalam ingatan Listyo. Ia tahu ini saatnya mengambil risiko. Tangannya menuliskan pesan ke nomor yang sudah disimpannya sejak dua bulan lalu. Mahardhika Matahari Saputra. --- [Di tempat lain – Kantor Redaksi Majalah PROSEKUTOR] Mahardhika tengah menyeduh kopi ketika pesan itu masuk. > Dari: LA-STAFF "Saya Listyo Adi, staf Pemkot. Saya siap bicara. Bukti sudah saya simpan. Bisa ketemu jam 13.00 di area parkir belakang Perpustakaan Kota. Saya percayakan pada Anda." Mahardhika meneguk kopinya cepat-cepat, membuka aplikasi pencatat suara di ponselnya, dan bersiap. Sebelum berangkat, ia mengirim satu pesan suara ke Ghea via panggilan pribadi. "Ghea, aku butuh kamu dengarkan ini. Nanti jam satu, aku akan rekam. Dengarkan saja. Jangan bicara apa pun, cukup dengar. Aku merasa ini bisa jadi pintu utama." Ghea, yang tengah duduk di ruang kerjanya di Sanggau, hanya membalas dengan satu emoji jempol. Tapi Mahardhika tahu, itu artinya: dia siap. --- [Ruang Rapat Walikota Semarang, Pukul 10.20] "Kalian semua harus jelaskan, siapa yang membocorkan data kegiatan anggaran? Dan siapa ini Mahardhika Saputra?!" Suara Walikota meledak di ruang rapat yang mendadak dijadwalkan setelah berita pagi itu viral. Ia menunjuk layar proyektor yang menampilkan artikel berjudul: "Dana Desa Disulap Jadi Rumah Dinas: Investigasi Awal Dugaan Penyelewengan di Semarang" Kepala Dinas Kominfo hanya menunduk. Kepala Bappeda berkeringat dingin. Semua mata saling memandang tanpa berani menjawab. "Bahkan disebutkan ada dugaan keterlibatan saya secara tidak langsung! Gila apa itu?" bentaknya lagi. Sekretaris daerah mencoba menenangkan, "Pak, sebaiknya kita lihat dulu seberapa besar dampaknya sebelum panik. Kami bisa... mungkin, lakukan klarifikasi..." "Klarifikasi pantatmu! Ini kalau Jaksa Agung tahu, kita bisa audit ulang besar-besaran! Siapkan siapa pun yang bisa kita kondisikan di Kejari. Segera!" ucap Walikota sambil menghantam meja. --- [Perpustakaan Kota Semarang – Area Parkir Belakang, Pukul 13.05] Langit mendung. Mahardhika berdiri di samping mobil tuanya. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya. Listyo Adi datang tergesa, membawa ransel hitam. "Mas Mahardhika?" tanyanya pelan. Mahardhika mengangguk dan mengarahkan ponselnya ke saku jaket, merekam diam-diam. Di ujung telepon, Ghea mendengarkan dalam diam dari ruang kerjanya, earphone tertanam di telinga. Listyo menatap kanan kiri, lalu membuka ranselnya. "Ini semua file dan dokumen pendukung. Ada rekaman juga. Saya gak tahan, Mas. Orang-orang kecil yang sebenarnya hanya menjalankan perintah, mulai dijadikan tumbal. Mereka dijadikan kambing hitam, padahal..." Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Saya mendengar kemarin malam, mereka mau jadikan satu sampai dua Camat sebagai tersangka utama. Padahal dia cuma disuruh tanda tangan, bahkan gak tahu anggaran itu fiktif. Sementara yang perintahkan? Jalan-jalan ke Eropa. Saya muak." Mahardhika mendekat. "Bapak sadar risikonya? Ini bisa membuat Anda kehilangan pekerjaan, bahkan dibungkam." "Saya tahu. Tapi saya juga tahu, kalau saya diam, saya bagian dari mereka." Mahardhika memegang bahu Listyo dengan mantap. "Terima kasih. Apa saya boleh... simpan rekaman ini juga?" "Silakan. Saya sudah siapkan backup-nya juga di cloud. Semua sudah saya kirim ke email baru saya yang tidak terhubung dengan Pemkot. Saya bukan orang suci, Mas. Tapi saya tidak mau lagi terlibat." --- [Sanggau, Kalimantan Barat – Sore Hari] Ghea masih menatap layar laptopnya. Suara rekaman dari Mahardhika tadi terus terngiang. Ia membuka folder penyelidikan khusus yang baru ia buat, mengetik judul : KASUS SEMARANG – BUKTI AWAL (CONFIDENTIAL) Tangannya bergetar. Ia tahu, dengan dokumen dan rekaman itu, pintu masuk penyidikan sudah terbuka. Namun satu hal terus mengganggu pikirannya: jika benar oknum aparat di Semarang sudah dikondisikan, ia tak bisa mempercayakan laporan itu ke sembarang orang. Ia membuka pesan dan menulis ke Mahardhika: > G: Aku akan datang ke Semarang. > M: Kapan? > G: Hari ketiga setelah surat perintah keluar tugas terbit. Aku akan urus langsung. > M: Aku akan siapkan semuanya. --- Sementara itu, di ruang kerjanya yang remang, Mahardhika meletakkan flashdisk pemberian Listyo ke dalam brankas kecil di bawah mejanya. Ia tahu, ini bukan sekadar data. Ini peluru. Dan peluru harus ditembakkan pada waktu yang tepat. Ghea menelepon tak lama setelah Mahardhika kembali dari pertemuan itu. "Kamu yakin dengan semua yang disampaikan ASN itu?" suara Ghea terdengar ragu namun tegas. "Yakin. Aku bahkan sudah lihat dokumen, rekaman audio, dan file transfer. Ini bukan sekadar cerita lepas. Ini sistem yang membusuk dari dalam." "Kalau begitu, kirimkan sebagian berkas ke aku. Aku akan pelajari jalur hukumnya. Tapi hati-hati, Dika. Orang kayak kamu bisa hilang di kota besar kalau mereka tahu kamu simpan ini." Mahardhika menghela napas. "Kamu juga jaga dirimu. Di sini panas, tapi aku yakin di Kalimantan Barat tidak lebih adem." Ghea terkekeh kecil. "Kamu selalu tahu cara buat aku senyum meski lagi tegang." ... Sementara itu, di lantai dua Balai Kota Semarang, Listyo kembali ke ruangannya. Dia baru saja menyerahkan semuanya—kebenaran yang diam-diam telah membebaninya selama lebih dari enam bulan. Setiap malam dia merasa seperti pengkhianat karena terus diam, tapi setiap kali melihat nama-nama di daftar anggaran palsu, nuraninya berontak. Kini dia tahu, keheningan adalah bentuk kejahatan lain. Dan ia sudah selesai menjadi penonton. Namun langkahnya belum jauh dari koridor ketika seseorang dari dalam ruangan Walikota memanggilnya. "Pak Listyo, Bapak Walikota minta hadir di ruang rapat. Sekarang." Degup jantung Listyo berderap keras. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan badan. ... Rapat mendadak itu berlangsung tanpa senyum. Semua kepala dinas hadir, beberapa dari mereka sudah tahu isi tulisan Mahardhika di Majalah PROSEKUTOR. Di layar proyektor terpampang halaman muka media itu: "Dana Desa Disulap: Siapa di Balik Alokasi Fiktif?" Walikota menghantam meja. "Siapa bocorkan data ini? Siapa yang berani menulis ini tanpa koordinasi ke bagian hukum kita?" suaranya menggema. Tak ada yang berani bicara. Beberapa hanya bertukar pandang, sementara yang lain menunduk. Kepala Dinas Kominfo mencoba bersuara, "Kami tidak tahu asal mula datanya, Pak. Tapi kami curiga ada orang dalam. Ini terlalu spesifik." Mata Walikota mengarah ke Listyo yang baru saja duduk. "Pak Listyo, bagian perencanaan. Anda pegang detail banyak anggaran. Ada komentar?" Listyo mengangguk pelan. "Saya belum membaca artikelnya, Pak. Tapi kalau isinya benar, mungkin lebih baik kita evaluasi daripada menyalahkan kebocoran." "Evaluasi?" Walikota tertawa pendek. "Kamu pikir ini seminar? Ini bisa jadi kasus besar kalau terus menyebar. Apa kamu tahu dampaknya ke elektabilitas saya tahun depan?" Listyo menahan diri. Kalau ia membuka suara, habis dia di tempat itu. ... Sore itu, Mahardhika menerima paket tanpa nama di kantor redaksi PROSEKUTOR. Di dalamnya hanya satu kertas kecil: "Berhenti. Atau nama berikutnya adalah keluargamu." Ia membacanya lama, lalu merobeknya perlahan. Ia tahu ancaman semacam ini akan datang. Sudah tiga kali sebelumnya ia menerima ancaman serupa. Tapi yang satu ini terasa lebih pribadi. Ia membuka galeri di ponselnya. Sebuah foto lama: Ghea kecil tersenyum di sebelahnya dengan topi sekolah dasar. Mahardhika meremas lembut ponsel itu. Ia tahu, selama Ghea masih di seberang sana, ia tidak akan goyah. ... Malam itu, Mahardhika dan Ghea kembali berbicara melalui sambungan telepon yang aman. "Listyo siap bersaksi. Tapi dia butuh jaminan perlindungan, Ghea. Aku tak bisa menjanjikan banyak. Tapi kamu bisa, 'kan?" "Kalau datanya kuat dan integritasnya bisa diuji, aku akan bantu hubungi bagian perlindungan saksi. Tapi kamu harus siapkan semua dengan rapi. Jangan ada celah." "Oke. Aku juga akan siapkan tulisan lanjutan." Ghea terdiam sejenak. "Kamu sadar 'kan, tulisanmu ini bisa jadi titik balik? Tapi juga bisa jadi api yang membakar semua jembatan yang pernah kamu lintasi." "Lebih baik dibakar, daripada hidup di bawah bayangan ketidakadilan." Ada jeda yang panjang. "Ghea?" "Iya?" "Kamu masih di sana, kan?" "Selalu." jawab Ghea lirih. Dan untuk sesaat, tak ada yang lebih menenangkan bagi Mahardhika selain dua kata itu. ... Sementara di ruangan Walikota, kekacauan belum selesai. Esok paginya, Mahardhika memuat bagian kedua tulisannya. Kali ini lebih rinci, dengan grafik dan nama-nama yang mulai disebut tersirat. Kota gempar. Media sosial penuh dengan kutipan dari artikelnya. Walikota memanggil pengacaranya. "Saya tidak bisa ditahan hanya karena tulisan seorang wartawan. Saya masih Walikota aktif!" Sang pengacara mencoba tenang. "Betul, Pak. Tapi kalau sudah masuk proses hukum, media bisa jadi rujukan awal untuk penyelidikan. Kita harus kendalikan ini." "Bagaimana?" "Kita sisir siapa-siapa yang dekat dengan wartawan itu. Kita pastikan dia tidak punya kaki di dalam sini." Listyo tahu waktunya tidak banyak. ... Di hari berikutnya, Ghea menemui Mahardika secara langsung. Ia menyelinap keluar dari Sanggau menuju Semarang dengan nama samaran dan penerbangan tidak langsung. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi yang sederhana tapi aman. Ghea menyambutnya dengan senyum lelah. "Kamu makin kurus." "Kamu makin tegas," jawab Mahardhika sambil duduk. Mereka membuka laptop, mencocokkan data. "Ini bagian paling sensitif." Mahardhika menunjukkan rekaman suara. Suara Walikota terdengar jelas: "Kalau cuma dua miliar, ya kasih saja ke dua orang itu. Tapi yang sisanya amankan ke pos pembangunan. Kita tahu sendiri artinya 'pembangunan'." Ghea mengangguk pelan. "Ini bukan lagi sekadar investigasi. Ini sudah cukup untuk pemanggilan." "Kamu siap dengan tekanan dari atasanmu sendiri?" Ghea menatap dalam. "Aku selalu siap, Dik. Selama kamu juga siap kehilangan nama baikmu, karirmu, bahkan... aku." "Satu-satunya yang tak pernah ingin aku kehilangan... ya kamu, Ghea." Dan untuk sesaat, waktu seperti berhenti di antara tumpukan file dan kesibukan negara. Saat itu matahari telah tenggelam di langit Semarang. Dan di kejauhan, badai kebenaran mulai mengumpul. Orang-orang yang terbiasa bermain dalam gelap belum menyadari, dua sahabat dari masa kanak-kanak, satu berseragam cokelat, satu bertinta hitam, telah kembali berpadu. Bukan untuk menebar amarah. Tapi untuk menagih pertanggungjawaban. Dan babak pertama dari badai ini... baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD