Bab 4 : Di antara Nyala dan Sunyi

1689 Words
Kebenaran tidak butuh pangkat untuk dibela, hanya hati yang bersih dan keberanian untuk menyuarakannya." - Ghea Gemalia Saputri Udara dini hari di Semarang terasa lembap. Di kejauhan, langit masih muram oleh sisa hujan malam. Jam dinding di kamar hotel berbunyi lirih, menandakan pukul 02.15 WIB. Sunyi. Hanya suara jarum jam yang beradu pelan dan desau AC yang mengalir dingin. Mahardhika masih terlelap di sisi sofa ruang tamu suite hotel yang mereka pesan secara diam-diam. Hanya semalam, hanya untuk bertukar dokumen dan membahas perkembangan laporan Listyo Adi. Tapi malam berubah lebih panjang dari rencana, dan tubuh lelah mereka akhirnya menyerah. Ghea terbangun lebih dulu. Matanya sembab. Ia baru saja terjaga dari mimpi yang tak sepenuhnya mimpi-lebih mirip luka masa lalu yang menyaru dalam tidur. Gadis itu menggenggam erat ponselnya. Ia membaca kembali pesan dari salah satu staf kejaksaan di Sanggau yang mengabarkan bahwa ada upaya "penarikan kembali" berkas penyelidikan kasus dari pusat. Entah siapa yang bergerak. Tapi ia tahu, itu artinya tekanan politik sedang mengencang. Ghea mengusap matanya. Tangisnya jatuh pelan, tanpa suara, tapi deras. Perempuan itu terlihat ringkih, kontras dengan sosok garang yang dikenal banyak orang. Mahardhika menggeliat. "Ghea?" suaranya serak dan pelan. Ghea buru-buru menyeka wajahnya, tapi terlalu terlambat. "Kenapa kamu bangun?" tanyanya sambil berpaling. Mahardhika bangkit, matanya menyipit mencoba menyesuaikan cahaya remang. Ia melihat Ghea yang berusaha tegar, duduk di ujung tempat tidur dengan punggung membungkuk. Ia mendekat, duduk di samping Ghea. Tak berkata apa-apa. Hanya diam. "Aku lelah, Dika," kata Ghea akhirnya. "Lelah harus terus berjuang sendirian. Lelah pura-pura kuat. Kadang... rasanya ingin berhenti sebentar saja." Mahardhika mengangkat tangannya perlahan, lalu memeluk bahu Ghea dengan hati-hati, seolah takut merusak keretakan yang sudah ada. "Kamu nggak sendirian, Ghea. Ada aku. Selalu ada aku," ujarnya pelan, tapi mantap. Ghea menoleh, mata mereka bertemu. "Jangan bilang gitu kalau kamu nggak sungguh-sungguh. Aku nggak sanggup kehilangan kamu... dalam bentuk apa pun." "Aku serius. Aku di sini bukan cuma sebagai jurnalis yang kerja bareng kamu. Aku... selalu di sisimu, Ghea. Bahkan kalau kamu nggak minta." Ghea tersenyum kecil. Bibirnya bergetar. Dan dari kegundahan itu, lahir pelukan yang tak lagi bisa disangkal oleh logika atau batas status. Mahardhika menyandarkan dagunya di kepala Ghea, membisikkan sesuatu yang mengejutkan dirinya sendiri, "Tenang, sayangku... semua akan baik-baik saja." Sunyi. Tapi ada sesuatu yang berubah malam itu. Bukan hanya karena panggilan penuh perasaan yang terlepas dari mulut Mahardhika, tapi karena untuk pertama kalinya, keduanya tidak bersembunyi dari rasa yang selama ini mereka abaikan. --- Pagi harinya, suasana di ruang rapat Walikota Semarang mencekam. Listyo Adi duduk di kursinya dengan wajah tegang, menyimak paparan Sekda yang lebih banyak berputar-putar tanpa inti. Sejak artikel Mahardhika tayang di Majalah PROSEKUTOR, kegaduhan terjadi di berbagai lini. "Kita harus siapkan klarifikasi! Kita tuntut media itu kalau perlu!" ujar Kepala Bagian Humas dengan nada tinggi. "Kita nggak bisa sembarangan nuntut. Mereka punya data. Kita belum tahu dari mana sumber kebocorannya," sahut Asisten Administrasi. Walikota, pria berambut sisir rapi dengan sorot mata tajam, tak berkata-kata. Matanya tajam mengamati semua. Listyo menggenggam erat flashdisk kecil di saku celananya. Ia sudah yakin, ini waktunya. Tapi bukan di ruang ini. Bukan di tengah rapat yang penuh intrik. Ia izin keluar dengan alasan sakit kepala. Tak lama kemudian, ia sudah duduk di kafe kecil dekat taman kota. Mahardhika datang dengan topi dan masker. Mereka duduk di pojok ruangan, jauh dari pengunjung lain. "Ini... semua dokumen, termasuk rekaman suara saat Walikota memerintahkan bendahara menarik dana dari proyek desa," kata Listyo lirih sambil mendorong amplop cokelat. Mahardhika mengangguk. Ia tak menyentuh langsung amplop itu, hanya menggenggam cangkir kopinya dan mengangguk penuh arti. "Kamu sadar resikonya?" tanya Mahardhika. Listyo tertawa pahit. "Saya sudah siap. Mending saya dibenci atasan, daripada melihat orang kecil terus jadi tumbal." Mahardhika mengeluarkan ponsel, menekan sesuatu lalu meletakkannya di atas meja. Tak ada suara. Tapi sambungan telepon berlangsung. Di seberang sana, Ghea mendengar semuanya dari kamar hotelnya. Ia memejamkan mata, mencatat tiap nama dan rincian. Selesai pembicaraan, Mahardhika menutup ponsel, lalu menatap Listyo dalam. "Kami akan lindungi kamu. Tapi kamu harus tetap diam sampai kami rilis semua data." Listyo mengangguk. "Saya percaya padamu, mas Dika." --- Siang menjelang, dan halaman depan Kantor Walikota dipenuhi awak media. Beberapa mencium gelagat besar, terutama setelah Mahardhika-wartawan yang dikenal 'antisuap'-diketahui datang ke balai kota. Ghea muncul setengah jam kemudian. Dalam balutan seragam coklat kejaksaan, ia turun dari mobil dinas tanpa pengawalan mencolok. Wajahnya dingin, tapi matanya tajam. Seseorang dari Kejati Jateng mengikutinya dari belakang. Hari itu, investigasi formal akan dimulai. Mahardhika berdiri agak jauh di sisi kiri halaman. Tatapan mereka bertemu sejenak. Hanya sejenak. Tapi cukup untuk saling memahami. Perang sudah dimulai. Dan malam itu, kembali mereka bertemu dalam ruang sunyi, jauh dari kamera dan lampu sorot. Bukan untuk saling memeluk, tapi untuk merancang langkah. Karena ketika hukum dan kebenaran mulai berjalan beriringan, hanya mereka yang berani yang bisa menuntaskannya. Namun, di balik semua langkah strategis itu, hati mereka tak bisa lagi pura-pura tak merasa. (Ghea menatap Mahardhika lebih lama dari biasanya.) "Apa kamu pernah bayangkan... kita berhenti dari semua ini? Pergi ke tempat di mana nggak ada kasus, nggak ada korupsi, nggak ada kemunafikan?" Mahardhika terdiam. Lalu tersenyum kecil. "Aku pernah. Tapi selalu ada satu hal yang menahanku." "Apa?" "Kamu." Dan malam itu, mereka tahu... perjuangan ini belum usai. Tapi setidaknya, mereka tak lagi sendirian. ***** Mahardhika menatap Ghea yang kini telah tertidur di sofa ruang tamu penginapan, setelah tangisnya reda. Ia tak tahu sejak kapan ia menjadi begitu protektif terhadap perempuan itu. Bukan karena Ghea tak mampu menjaga dirinya, tapi karena di hadapan Mahardhika, ia tak lagi menyembunyikan kelemahannya. Itu bukan kelemahan, pikir Mahardhika, melainkan kepercayaan yang hanya diberikan kepada orang yang benar-benar ia yakini tak akan menghakimi. Mahardhika duduk di lantai, punggung bersandar pada sisi sofa, memperhatikan Ghea yang masih mengeratkan pelukannya pada bantal. Pikirannya melayang pada kasus yang mereka hadapi. Data dari Listyo telah berhasil ia enkripsi dan kirimkan ke redaktur Majalah PROSEKUTOR. Tapi yang paling mencengangkan adalah rekaman suara percakapan Walikota Semarang dengan seorang kontraktor yang ternyata adalah pihak yang sama dengan tiga proyek pembangunan fiktif lainnya di Jawa Tengah. Dalam rekaman itu, terdengar jelas permintaan jatah 15% dari total nilai proyek dengan kalimat yang dingin namun tajam: > "Jangan bikin saya turun tangan langsung. Proyek ini jalan karena saya yang buka jalan. Jadi, saya juga yang tentukan siapa dapat berapa." Dalam semalam, Mahardhika berhasil menyusun tulisan investigasi dengan narasi tajam dan bukti visual yang kuat. Ia menyelipkan gambar tangkapan layar transaksi dan potongan transkrip dari rekaman suara itu. Judul artikelnya mencolok: > "Jalan yang Dibuka oleh Korupsi: Menelusuri Jejak Uang Kotor di Balik Pembangunan Semarang." Pagi itu, artikel tersebut telah tayang di platform digital Majalah PROSEKUTOR. Dalam waktu singkat, tagar #ProyekKotorSemarang menjadi trending topic di media sosial. Tak hanya publik, beberapa aktivis antikorupsi dan anggota DPRD pun mulai ikut menyuarakan agar KPK turun tangan. Di antara gejolak itu, Ghea terbangun. Mata sembabnya menatap Mahardhika yang masih setia di sana. Tanpa berkata apa pun, ia menyodorkan secangkir teh hangat yang sudah ia buat saat Ghea masih tertidur. "Sudah tayang," kata Mahardhika pelan, tak ingin memaksanya bicara terlalu cepat. Ghea mengambil teh itu, menghirup aromanya sebentar sebelum menjawab, "Terima kasih... untuk semuanya." Mahardhika mengangguk. "Kalau kamu butuh waktu sendiri, aku bisa keluar sebentar." Ghea menggeleng. "Jangan. Tetap di sini saja..." Hening menggantung di antara mereka. Lalu tiba-tiba Ghea berkata, "Dika, kamu pernah merasa... takut kehilangan orang yang sebetulnya belum kamu miliki?" Mahardhika menoleh. "Sering." "Kamu pernah ngerasa... bersalah karena kamu pengin lebih dari yang seharusnya?" "Ghea..." Mahardhika menarik napas dalam. Ia tak ingin memburu waktu, tapi ia tahu, malam ini, Ghea tak sedang bertanya sebagai seorang jaksa. "Kalau kamu bertanya, 'kenapa aku selalu datang saat kamu butuh seseorang,' jawabannya sederhana: karena kamu tempat paling tenang dalam hidupku. Bahkan saat kamu marah, kamu tetap jadi rumah." Ghea tersenyum samar. "Dan kamu... adalah satu-satunya orang yang bisa buat aku nggak merasa sendirian di dunia ini." Mereka saling menatap. Tak ada pelukan, tak ada ciuman, tapi ada ikatan yang lebih kuat dari itu. Rasa yang tak terucap, tapi tak juga bisa disangkal. Tepat saat itu, ponsel Mahardhika bergetar. Sebuah pesan masuk dari Listyo: > "Saya baru dapat satu flashdisk tambahan dari staf keuangan lama. Di dalamnya ada pembukuan asli dan jadwal pengeluaran yang tak sesuai dengan APBD. Termasuk pembelian properti pribadi atas nama keluarga Walikota." Ghea ikut membaca dari samping. "Ini... bisa jadi senjata penentu," ucapnya. Mahardhika mengangguk. "Kita harus validasi. Kalau bisa, buat rangkaian penelusuran aliran dananya." "Besok aku akan minta bantuan teman lama di Inspektorat untuk menyamakan data," ujar Ghea sambil meneguk tehnya. "Tapi aku butuh kamu tetap jadi jurnalis yang paling keras kepala yang aku kenal." "Dan kamu tetap harus jadi jaksa paling keras kepala yang aku kenal," balas Mahardhika, tersenyum lelah. Mereka tertawa kecil, tapi bukan tawa lepas. Ada ketegangan, ada kesadaran, bahwa yang mereka hadapi bukan hanya kasus besar, tapi pusaran politik dan kekuasaan yang bisa mengorbankan siapa saja. Bahkan mereka. Malam berganti fajar. Saat sinar matahari perlahan menembus jendela kamar itu, Ghea berdiri di balkon, menatap langit timur. Mahardhika menyusul. Ia berdiri di samping Ghea, membiarkan bahunya sedikit menyentuh perempuan itu. "Ghea..." "Hm?" "Setelah semua ini selesai... setelah artikelmu meledak, dan setelah aku masukin laporan ke Jampidsus..." Ghea menoleh, menunggu Mahardhika menyelesaikan kalimatnya. "Masihkah kita akan begini?" Ghea terdiam sesaat, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin tidak." Mahardhika menelan ludah. "Kenapa?" "Karena setelah ini, kamu bukan cuma jurnalis pemberani. Kamu target." Mahardhika tersenyum. "Bukankah kamu bilang aku jurnalis paling keras kepala yang kamu kenal?" "Justru itu. Aku takut kamu hilang." Mahardhika menarik nafas dalam, lalu menggenggam tangan Ghea pelan. "Aku nggak akan pergi, Ghea. Bahkan jika seluruh dunia berbalik arah." Ghea menatap genggaman itu. Ia tak menjawab. Tapi hatinya, yang selama ini keras dan penuh dinding, kini seperti tembok yang mulai retak. Di hati mereka, tumbuh keyakinan baru: bahwa kedekatan ini bukan hanya soal kerja sama. Ini tentang perasaan yang tak lagi bisa dibendung. Tentang rasa yang perlahan menemukan nama. Tentang dua orang yang mulai sadar, bahwa sejauh apa pun mereka pergi, mereka akan kembali ke satu sama lain. Dan dari balik dinding-dinding kekuasaan yang rapuh, dari antara data dan rekaman yang siap meledak kapan saja, cinta pun menyusup-sunyi, lembut, tapi tak bisa ditawar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD