Bab 5 : Dalam Diam yang Penuh Getar

1633 Words
"Ketika jalan kebenaran tak lagi aman untuk dilalui, maka iman dan keberanian harus saling menggandeng." -:Ghea Gemalia Saputri Langit Semarang mulai menguning keemasan, tapi di dalam hati Ghea, semuanya mendung. Tekanan datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Seorang pejabat di Kejati yang selama ini tampak netral, mendadak memintanya untuk "lebih bijak dalam memilah mana prioritas yang perlu ditindak". Ghea paham maksudnya. Isyarat itu tak lain adalah peringatan halus agar ia berhenti menyentuh kasus yang sedang ia dan Mahardhika bongkar. Namun Ghea tak gentar. Ia membuka mukena, lalu melipatnya pelan seusai salat dhuha. Di depan cermin, wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan api. Ia lalu meraih ponsel dan membuka rekaman pesan suara Mahardhika malam tadi, saat mereka berbicara pelan sambil menyusun daftar saksi baru dari laporan Listyo Adi. > "Kamu gak sendiri, Ghe. Seberat apapun tekanan itu, kamu masih bisa pulang... kalau bukan ke rumah, ya ke aku." Kalimat itu sederhana, tapi di hati Ghea terasa seperti pelindung. Tidak ada lagi alasan untuk gentar. Ia telah bertaruh dengan prinsip sejak awal. Dan sekarang, ketika satu-satunya orang yang paling mengerti hidupnya juga berdiri di sisi yang sama, ia justru makin kuat. --- Sementara itu, di sudut kota yang lain, Mahardhika baru saja menyalakan motornya usai sarapan di warung langganan. Helmnya belum genap ia kancingkan, saat sebuah Civic sport hitam melintas cepat, lalu sengaja menyerempet sisi kiri motornya. NMax miliknya oleng keras, tapi dengan refleks jurnalis lapangan yang sudah terasah, Mahardhika melompat ke sisi trotoar, memegangi lengannya yang memar. Motornya jatuh, tapi tak rusak berat. Mobil itu tak berhenti. Justru makin melesat ke ujung jalan, menghilang. Mahardhika menahan napas, lalu menegakkan motornya. Ia tahu, itu bukan kebetulan. Ponselnya bergetar. Satu pesan singkat masuk. > "Lain kali, kita gak cuma bikin motormu jatuh. Berhenti menulis soal proyek desa. Ini peringatan." Ia mengepalkan rahang. "Kalau ini peringatan," gumamnya, "kalian belum tahu siapa yang kalian ganggu." Mahardhika merogoh saku, membuka aplikasi perekam otomatis yang menyimpan segala obrolan dan kegiatan yang ia dokumentasikan diam-diam. Ia mengirim satu salinan ke cloud, lalu ke email cadangan Ghea. --- Malam harinya, Mahardhika tiba di lobby Mall The Park, Semarang Barat. Bioskop di lantai atas sudah mulai penuh oleh pasangan muda dan kelompok mahasiswa. Ia mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Cukup untuk menyaru sebagai pria biasa. Tapi matanya terus bergerak, memindai sekeliling. Ghea belum datang. Lima menit kemudian, suara langkah sepatu sneaker terdengar di belakangnya. Mahardhika menoleh. Ghea berdiri di sana. Anggun dengan blouse biru dongker dan celana panjang berwarna krem, ditutup blazer tipis. Hijab biru bermotif sederhana terasa serasi. Tapi bukan penampilannya yang membuat Mahardhika terdiam sejenak. Melainkan matanya-mata yang menyimpan banyak beban, dan entah mengapa, mencarinya. Mereka masuk ke studio 3. Film berjudul Tak Ingin Usai Di Sini sudah mulai berjalan. Lampu-lampu dipadamkan, hanya cahaya dari layar yang menyinari wajah-wajah mereka. Di tengah film, saat Rossa menyanyikan "Baik Saja", adegan pasangan dalam film itu berpisah untuk mempertahankan integritas mereka, Ghea menunduk. Air matanya menetes diam-diam. "Ghea..." bisik Mahardhika yang duduk di sebelah. Ghea menoleh perlahan. Mata mereka bertemu dalam redup cahaya layar lebar. "Aku..." Ghea menggigit bibir. "Aku takut... bukan pada tekanan. Tapi kalau semua ini harus membuatku kehilangan kamu..." Mahardhika menatapnya lama. Lalu, dengan suara sangat pelan, seperti hanya angin yang mendengarnya, ia berkata, "Ghea sayang... aku gak ke mana-mana." Ghea terdiam. Pandangannya kabur karena air mata. "Aku cuma... capek, Dhika. Semua seolah mengarah ke aku. Mereka berpikir aku ini batu yang bisa dihancurkan dengan palu lebih besar. Tapi mereka lupa, aku ini palunya." Mahardhika meraih tangan Ghea, memeluknya dengan hangat. Tak ada ciuman, tak ada kalimat manis berlebihan. Hanya diam yang sarat makna. Lengan Ghea menguat menggenggam tangan Mahardhika. Saat itulah mereka sadar-di tengah gelap, di tengah ancaman, mereka adalah cahaya yang saling menerangi satu sama lain. --- Film selesai. Namun kisah mereka baru dimulai. Mahardhika merogoh saku celananya dan menyerahkan flashdisk kecil. "Isi baru. Rekaman dari pegawai salah satu vendor pengadaan yang mengaku ditodong untuk setor 15% dari anggaran. Rekamannya jelas. Termasuk suara Walikota." Ghea menerima flashdisk itu dengan rahang mengeras. Ia menatap Mahardhika penuh keyakinan. "Kalau besok aku ditarik ke pusat, atau dimutasi mendadak, kamu tahu harus teruskan ke siapa." Mahardhika mengangguk. "Tapi kamu gak akan sendiri, Ghe. Kita jalani ini bareng." "Iya," jawab Ghea lirih. "Karena aku juga gak mau kehilangan kamu. Bukan cuma sebagai jurnalis. Tapi sebagai bagian dari rumah yang gak pernah kutinggalkan." Malam itu Semarang berjalan pelan di luar gedung bioskop yang mulai sepi. Pengunjung berangsur meninggalkan lantai atas mall itu, sebagian langsung turun ke basement, sebagian lagi mampir ke tenant makanan yang masih buka. Ghea dan Mahardhika masih duduk di bangku panjang dekat eskalator, menyelesaikan sisa obrolan soal saksi-saksi baru. Tak satu pun dari mereka menyadari, dua sosok pria berpakaian rapi dan berpura-pura sebagai pengunjung bioskop, duduk tak jauh sejak film dimulai. Salah satunya bertubuh tinggi, dengan rahang tegas dan rambut cepak seperti aparat. Satu lagi, lebih kecil tapi bermata tajam seperti elang. Keduanya mengenakan jaket casual, dengan headset kecil terpasang di telinga kiri. "Jadi itu mereka." suara pria tinggi itu terdengar di mikrofon kecil, nyaris seperti gumaman biasa. "Target satu dan dua, di bangku 3A dan 3B. Sudah berinteraksi fisik, indikasi hubungan dekat. Selesai nonton, mereka duduk di bangku dekat eskalator." Dari sisi lain, suara penerima menyahut. > "Ikuti sampai ke basement. Kalau bisa ambil fotonya. Kalau tidak memungkinkan, catat rutenya. Tapi jangan lakukan kontak. Perintah jelas. Kita cuma observasi malam ini." Pria bermata elang memutar ponsel pelan, mengambil foto candid Ghea dan Mahardhika dari sudut kiri. Cahaya redup dari dinding cukup membuat hasil tangkapan samar, tapi cukup untuk identifikasi. Ghea sempat menoleh. Tapi sosok itu sudah berdiri, pura-pura berbicara sambil mengangguk ke arah temannya. Mereka lalu menyusuri koridor ke arah barat, berpencar. Namun keberuntungan masih berpihak. Ghea dan Mahardhika tak turun ke basement, tapi keluar lewat pintu barat menuju parkiran terbuka di sisi luar mall. Motor Mahardhika diparkir di sana, seperti kebiasaannya menghindari basement sejak dua tahun lalu, karena trauma pernah terkunci lift saat investigasi proyek puskesmas. Sementara itu, di dalam mobil hitam yang parkir di ujung gang kecil belakang mall, seorang pria berjas tengah memantau layar kecil dari ponsel yang tersambung kamera tersembunyi. "Ghea Gemalia Saputri dan Mahardhika Saputra," desisnya. "Berani benar mereka... main belakang, berkoordinasi. Harusnya si wartawan itu sudah diberi pelajaran lebih berat." Ia menutup layar. Lalu menekan nomor. > "Naikkan tekanan pada link kita di Kejati. Kita harus potong logistiknya. Dan sebar isu kalau si Ghea punya hubungan khusus dengan jurnalis itu. Biarkan publik menggonggong lebih dulu." Di seberang, suara dingin menjawab, "Baik, Pak Wali." --- Sementara itu, di atas motor NMax yang melaju pelan di sepanjang Jalan Pemuda, Semarang, Ghea memeluk tas kerja di d**a. Ia duduk membonceng, membiarkan angin malam menepis resahnya. Mahardhika tak banyak bicara. Tapi kehadirannya lebih dari cukup. Ghea bersandar di punggung Mahardhika, pelan. "Kamu capek banget ya?" tanya Mahardhika tanpa menoleh. "Enggak. Aku cuma lagi bersyukur..." gumam Ghea. "...karena malam ini kamu gak apa-apa. Karena kamu masih bisa boncengin aku pulang." Mahardhika tersenyum kecil. Tangannya mengetat di stang. "Dan kamu masih jadi jaksa paling berani yang aku kenal." Mereka berdua tertawa kecil. Namun di balik tawa itu, ada luka dan ketegangan yang mereka simpan rapat. --- Beberapa jam setelahnya... Ghea duduk di pinggir ranjang, memeluk lututnya. Jam menunjukkan 02.15 dini hari. Lampu kamar hanya menyala redup, sementara Mahardhika tertidur di sofa panjang tak jauh dari tempat tidur hotel. Air mata Ghea menetes tanpa suara. Ia tidak menangis keras, hanya mendesah lirih. "Ya Allah... aku kuat karena-Mu. Tapi bisakah Kau izinkan aku lemah... walau sebentar saja?" Tangannya menggenggam ponsel membuka email berisi selembar surat perintah dari internal kejaksaan, bertanda bahwa ia akan dievaluasi dan dipanggil ke pusat minggu depan, dengan alasan rotasi untuk penyeimbangan posisi strategis. Namun Ghea tahu, ini bukan rotasi biasa. Ini bentuk tekanan. Ghea menunduk lebih dalam. Bahunya berguncang halus. Tanpa disangka, Mahardhika bangun. Matanya masih berat tapi nalurinya langsung menangkap kesedihan Ghea. Ia mendekat tanpa suara, lalu duduk di belakangnya. "Ghe..." bisiknya. "Kamu nangis?" Ghea hanya diam. Mahardhika mengangkat wajah Ghea pelan. "Lihat aku." Air mata Ghea meleleh. Dalam detik berikutnya, Mahardhika mengusap pipinya dengan punggung tangan. "Jangan simpan semua ini sendiri. Kita bareng, kan?" Ghea menatap mata Mahardhika. Untuk pertama kalinya, tanpa sensor, tanpa rem, ia bertanya : "Kalau aku jatuh, kamu masih di sini?" Mahardhika tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggenggam wajah Ghea dengan kedua tangan, menatapnya lama, lalu berkata... "Sayangku, aku gak akan kemana-mana." Dan kalimat itu, seolah mengalirkan pelindung ke dalam d**a Ghea. Ia bersandar ke d**a Mahardhika, membiarkan jantungnya berdetak di atas jantung Mahardhika. Syahdu. Tenang. Tapi dari luar jendela, dua kamera pengintai di gedung seberang memutar tanpa suara. Mengabadikan siluet dua bayangan yang saling merapat. --- Beberapa jam kemudian, dini hari menjelang subuh, email baru masuk ke akun Mahardhika. Isinya dari akun tak dikenal, dengan file berjudul: "Bukti Baru - Percakapan Tender Fiktif (Rekaman .mp4)" Mahardhika langsung mengunduhnya. Isinya mengejutkan. Dalam video itu, terlihat salah satu staf pengadaan di lingkungan Pemkot sedang melakukan pembicaraan dengan dua kontraktor. Di layar terdengar jelas: > "Yang penting anggaran cair. Soal pelaporan, biar kita kondisikan. Pak Wali udah oke, kok. Tinggal setorannya dijaga." Mahardhika langsung menyimpannya ke beberapa backup cloud. Ia lalu mengirim salinan ke Ghea dengan satu catatan: > "Jika aku dihilangkan, kamu tahu harus apa." ***** Subuh menjelang. Semarang masih sunyi. Di dalam kamar, Ghea dan Mahardhika duduk bersisian di balkon kecil. Di antara kopi hangat dan suara adzan yang samar, mereka tahu... Hari ke depan tak akan mudah. Tapi selama mereka masih saling menjaga, dan kebenaran masih bisa disuarakan... Mereka tak akan pernah benar-benar kalah. Karena dua hati yang keras kepala menyatu dalam diam. Tak ada kata cinta yang diucapkan. Tapi dalam getar yang saling mereka genggam, mereka tahu: Perjuangan ini bukan hanya soal kebenaran. Tapi tentang menjaga satu sama lain tetap hidup... dan tetap pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD