"Keberanian menegakkan kebenaran bukan hanya soal logika, tapi juga nyali mempertaruhkan rasa." - Ghea Gemalia Saputri
Hujan turun perlahan saat Mahardhika berdiri di teras kos nya, menatap langit Semarang yang mendung seolah mengerti beban pikirannya pagi itu. Di tangannya, secangkir kopi hitam mulai dingin, tapi pikirannya tetap panas. Ancaman demi ancaman, sorotan tak dikenal di bioskop semalam, hingga tatapan mencurigakan seorang pria berjaket hitam saat ia keluar dari lift basement.
Sementara itu, Ghea di kamar hotel yang letaknya tak jauh dari pusat kota Semarang, juga mulai merasakan getaran tekanan yang lebih keras. Staff nya di Kejari Sanggau memberitahunya bahwa ada surat kaleng masuk ke meja kerjanya pagi tadi-tanpa nama, hanya tulisan "Jangan terlalu jauh ikut campur. Kami tahu kamu siapa."
Ghea yang melihat foto surat tersebut hanya bisa menghela napas. Tangannya gemetar, tapi tak sanggup mengeluarkan rasa takutnya. Ia sudah terlalu terbiasa bermain di medan ini. Bedanya kini, ia tak sendirian.
Siangnya, di sebuah ruang publik tepatnya Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah, Mahardhika duduk bersama seseorang yang baru saja ia temui lewat perantara sesama jurnalis investigasi. Namanya Dea Latifah, seorang analis data yang sebelumnya bekerja di LSM anti-korupsi. Rambut sebahunya diikat rapi, dan di depan laptopnya, grafik-grafik aliran dana tak wajar dari belasan proyek desa terpampang jelas.
"Ada setidaknya tujuh proyek fiktif, Mas. Ini dari penelusuran pembelanjaan di APBDes yang dicocokkan dengan data kontraktor. Yang menarik, beberapa kontraktor ternyata perusahaan fiktif yang dibentuk setahun sebelum proyek diajukan," jelas Dea, menunjuk layar.
"Dan kamu yakin data ini valid?"
Dea menatapnya serius. "Aku sudah lintas validasi, bahkan nyambung ke rekening pribadi salah satu keluarga walikota. Uangnya muter. Bersih, tapi bisa diurai."
Mahardhika tersenyum miris. "Ini baru pembuka. Mereka bakal cari cara bungkam siapa pun yang dekat dengan kebenaran."
"Makanya aku hubungi kamu. Karena yang lain takut."
Sementara di sisi lain, Ghea pun tidak tinggal diam. Ia mulai intens berkomunikasi dengan Davin Raditya, seorang penyidik muda di unit Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yang diam-diam mengagumi integritas Ghea sejak lama. Davin, pria berwajah tenang dan berpenampilan bersih, merupakan bekas mahasiswa hukum yang pernah magang di bawah Ghea saat ia masih menjabat Kasi Pidum.
"Kamu harus hati-hati, Kak Ghea," kata Davin dalam percakapan rahasia via panggilan terenkripsi. "Ada laporan bahwa file kamu dicari-cari oleh orang internal. Sepertinya mereka ingin tahu sampai mana langkahmu."
Ghea terdiam beberapa saat. "Kalau kita tak punya apa-apa yang kita bela selain rasa takut, hukum akan jadi mainan. Aku nggak mau jadi bagian dari itu."
"Aku tahu. Makanya aku siap bantu. Kalau perlu, aku kirim timku sendiri bantu investigasi."
"Untuk sekarang, cukup kamu backup data yang aku kirim barusan. Itu bisa jadi asuransi."
---
Pergerakan situasi nampaknya enggan berkompromi debgan waktu, strategi 'berlari dalam diam' yang selalu dipilih 'duet maut' ini kembali dijalankan.
Sementara Ghea menyusun strategi hukum, Mahardhika bersama Dea mulai menata bukti visual. Rekaman dari Listyo Adi, ASN staf walikota, telah dikonversi menjadi format digital yang aman dan dienkripsi ganda.
Listyo sempat menghilang dua hari. Ternyata, ia bersembunyi di rumah kerabat di Ungaran. Ketika Mahardhika berhasil menemuinya lagi, pria itu tampak lebih tenang.
"Aku siap jadi saksi, Mas. Tapi tolong jaga keluargaku," pintanya.
"Kami akan lindungi. Aku sudah komunikasi dengan beberapa orang di LPSK, dan Ghea juga menyiapkan skema pengamanan," jawab Mahardhika.
Listyo mengangguk. Lalu dari ransel tuanya, ia keluarkan flashdisk tambahan. "Ini backup-nya. Kalau aku kenapa-kenapa..."
"Kamu akan baik-baik saja," potong Mahardhika, meletakkan tangan di pundaknya.
Di sisi lain, Ghea mendapat panggilan telepon dari seseorang yang tak ia sangka: Bu Retno, jaksa senior pensiunan yang dulu menjadi mentornya dan pernah menjabat sebagai Kasi Penuntutan pada Aspidsus di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, sebelum purna tugas.
Suaranya masih teduh, meski usianya sudah melewati enam puluh. "Ghea, aku dengar kamu sedang pegang kasus besar. Hati-hati ya, nak. Dulu waktu aku menolak sidang titipan, aku juga diawasi. Tapi selama kita tidak takut, mereka kalah."
"Terima kasih, Bu. Saya belajar banyak dari panjenengan," jawab Ghea lembut.
"Kalau kamu butuh bantuan, hubungi temanku di Pontianak. Dia bisa bantu kamu dari belakang layar. Dunia ini kecil, nak. Tapi hukum lebih besar dari siapa pun yang menyalahgunakannya."
---
Hari itu juga sebelum malam begitu perkasa, Ghea dan Mahardhika kembali bertemu di tempat biasa mereka dulu berdiskusi saat kuliah dulu, di sebuah warung burjo pinggir kota Semarang yang tak begitu ramai.
Di antara aroma kopi tubruk dan suara hujan yang mulai rintik, Mahardhika menatap Ghea yang wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. "Aku tahu kamu kuat. Tapi kalau butuh sandaran, aku di sini."
Ghea menghela napas panjang. "Kadang aku merasa dunia ini terlalu berat. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa berhenti. Karena kalau aku mundur, orang-orang seperti Listyo akan makin sendirian."
Mahardhika menatapnya dengan mata teduh. "Kamu tahu kan, Ghea... kamu nggak sendiri."
Ghea tersenyum, meski matanya basah. "Karena aku besok balik ke Sanggau, terkait surat usulan mutasiku, aku minta kamu jaga keselamatanmu dan perasaanku....aku gak bisa kehilangan kamu," ujar Ghea dengan suara lirih nyaris tak terdengar.
Di tengah perbincangan mereka, notifikasi muncul di ponsel Mahardhika: kiriman anonim berupa foto tangkapan layar CCTV dari malam saat mereka ke bioskop. Dua wajah tak dikenal, pria dan wanita, terlihat duduk beberapa baris di belakang mereka. Salah satu pria itu tampak memegang ponsel mengarah ke mereka.
"Ini sudah lebih dari sekadar ancaman," gumam Mahardhika.
Ghea ikut melihat. "Kita diawasi. Tapi mereka salah dalam satu hal... mereka kira kita akan mundur."
****""
Malam itu mereka berpisah dalam senyap. Tapi hati mereka sudah lebih dekat dari sebelumnya. Dalam mobil yang bergerak perlahan, Ghea melihat pantulan wajah Mahardhika di kaca spion saat ia memutar mobilnya keluar dari parkiran. Ada sesuatu dalam tatapan itu-bukan hanya tentang tekad, tapi juga kerinduan yang selama ini terpendam.
Sementara Mahardhika pulang ke apartemen, membuka folder baru di laptopnya, dan menamai file investigasi mereka : "Operasi Tugumuda "
*****
Hari berikutnya, saat Ghea duduk di ruang kerjanya yang sunyi, sebuah album foto lama yang ia simpan dalam laci terbuka perlahan. Di antara tumpukan foto masa sekolah, ada satu foto yang ia tarik pelan. Terlihat dirinya dan Mahardhika masih mengenakan seragam putih biru, berdiri di bawah pohon flamboyan yang dulu selalu mekar di bulan-bulan tertentu.
"Dulu kamu nggak segarang sekarang..." gumamnya sambil tersenyum.
Di sisi lain kota, Mahardhika juga menatap selembar kertas yang ia keluarkan dari buku harian lamanya-sebuah puisi lama yang ia tulis di kelas sepuluh SMA : "Saputri, yang suka diam di perpustakaan,
tak pernah tahu bahwa diamnya paling bising di hatiku."
Mereka tak tahu, bahwa kasus yang mereka usung akan membawa mereka pada masa lalu-kenangan, luka, dan perasaan yang belum sempat terjawab di masa sekolah.