"Ada kenangan yang tidak bisa dilupakan, karena bukan hanya tinggal di kepala, tapi juga di hati." – Ghea Gemalia Saputri
Mereka bertemu di Taman Kanak-kanak, saat sepatu masih bergambar kartun, dan dunia terasa seperti balon warna-warni. Hari itu, Vashti Ghea Gemalia Saputri baru saja menangis karena terjatuh saat berebut ayunan. Bocah perempuan itu duduk sendiri di pojok kelas dengan lutut lecet dan mata sembab.
Mahardika Matahari Saputra, bocah kurus dengan rambut yang selalu berantakan dan celana pendek yang kebesaran, mendekat perlahan. Ia tidak membawa perban, tidak juga permen, hanya tisu yang ia rebut dari kantin tadi pagi.
"Nggak usah nangis terus. Luka kecil kok," ucap Dhika sambil menyerahkan tisu. Tangannya gemetar, tapi matanya serius.
Ghea mengangkat wajahnya. "Aku bukan nangis karena luka. Aku... malu. Aku jatuh di depan semuanya."
"Ya terus kenapa? Kalau kamu malu, aku juga malu deh. Tapi kan... nggak ada yang lucu dari jatuh. Aku pernah jatuh juga pas upacara, malah pipis di celana. Lebih malu lagi."
Ghea mengerutkan dahi. Lalu tanpa sadar, ia tertawa kecil.
“Mahardika, tungguin Ghea ya. Kakaknya kan?” ujar Bu Yani, guru TK mereka, suatu hari sambil menggandeng Ghea kecil yang menangis karena sepatunya basah kehujanan.
Mahardika kecil, dengan rambut acak-acakan dan bekal roti cokelat di tangannya, menatap Ghea sebentar. “Aku bukan kakaknya. Tapi boleh, Bu.”
Dan sejak saat itu, mereka tak terpisahkan. Sejak hari itu, nama mereka selalu disebut bersamaan oleh guru, oleh teman-teman, bahkan oleh para orang tua. Saputra dan Saputri. Mahardika dan Ghea. Mereka seperti satu paket buku pelajaran: tidak lengkap jika hanya satu.
Meski banyak yang mengira mereka kakak-adik, kenyataannya mereka tidak punya hubungan darah. Tapi siapa peduli? Kedekatan mereka lebih kuat daripada ikatan nama belakang.
---
Di bangku SD, keakraban mereka menjadi semacam kisah manis yang selalu dibicarakan teman-teman sekelas. Ghea yang selalu rapi, manis, dan cerdas, dan Mahardika yang ceroboh, penuh ide, dan terkadang membuat guru geleng kepala karena isengnya. Tapi siapa sangka, bocah yang sering menuliskan puisi di balik buku tulis itu akan menjadi pembela Ghea suatu siang yang tak akan dilupakan.
Kelas 4 SD. Di bawah pohon mangga belakang sekolah, Ghea sedang membuka bekalnya. Ulang tahun ibunya semalam membuatnya membawa dua potong kue bolu untuk dibagi. Tiga kakak kelas datang—anak-anak kelas 6 yang terkenal suka memalak.
“Bagi bolunya, Dek. Sama uang sakumu juga,” kata salah satunya, menyeringai.
Ghea menunduk, menggenggam kotak bekalnya erat. “Ini buat Ibu guru…”
“Udah, cepet!”
Mahardika yang baru saja selesai dari toilet, melihat kejadian itu dari jauh. Tanpa pikir panjang, ia melempar botol minumnya ke arah si kakak kelas.
“Hei! Kalau minta, jangan maksa!”
Tiga lawan satu. Badan Mahardika jauh lebih kecil. Tapi keberanian tak pernah mengenal ukuran tubuh. Ia menyerang, ditendang, dipukul, namun tak berhenti membela. Hingga guru datang, semuanya kacau, dan Mahardika mendapat surat panggilan untuk orang tuanya.
“Kenapa kamu nekat lawan mereka, Mahardika?” tanya Pak Seno, guru olahraga.
“Karena Ghea nggak salah. Dan mereka salah.”
Sejak saat itu, Mahardika disegani. Dan Ghea? Ia menyimpan serpih perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Kagum, mungkin. Atau lebih dari itu.
---
Masuk SMP, mereka tetap satu sekolah. Hubungan mereka tetap dekat, tapi pelan-pelan perasaan Ghea mulai berubah.
Mahardika mulai tumbuh menjadi remaja dengan sorot mata yang dalam dan senyum yang tenang. Ia tidak banyak bicara, tapi tulisannya di mading sekolah mulai banyak dibaca. Bahkan pernah menang lomba jurnalistik antar-SMP. Ghea sendiri aktif di OSIS, dikenal pintar, tertib, dan jadi kebanggaan sekolah.
Tapi tidak semua masa SMP mereka berjalan mulus.
Seorang siswi baru, Rena, pindahan dari Jakarta, masuk di kelas yang sama dengan Mahardika dan Ghea. Rena tinggi, modis, dan langsung menjadi perhatian. Termasuk perhatian Mahardika, meski ia tak pernah mengakuinya.
“Eh, Dika! Kamu nanti ikut ekskul jurnalistik ya?” tanya Rena sambil tersenyum di lorong sekolah.
“Iya, Ren. Emang kamu juga ikut?”
“Pasti dong. Aku kan pengen belajar sama kamu.”
Ghea yang mendengarnya dari jauh hanya menunduk. Ada yang mengganjal di d**a. Cemburu. Ghea melihat semuanya. Dadanya panas. Tapi ia tidak tahu kenapa.
Saat jam istirahat, Ghea duduk di belakang perpustakaan. Ia tidak ingin orang melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.
Mahardika datang.
"Kenapa nggak makan?"
"Nggak lapar."
"Bohong. Kamu tuh kalau sedih suka nggak makan."
Ghea diam. Lalu berkata pelan, "Aurel suka kamu."
"Iya, aku tahu."
"Kamu suka juga?"
Mahardika menatap langit. "Aku belum mikir ke arah itu."
"Kenapa?"
"Karena aku lagi sibuk mikirin kamu. Kamu tuh kenapa hari ini?"
Ghea tidak menjawab. Tapi hatinya menghangat.
Sore itu, Ghea menulis diari:
Aku tahu, kita bukan siapa-siapa. Tapi entah kenapa, waktu dia senyum ke Rena, rasanya seperti ada yang hilang dari dadaku.
Hubungan mereka merenggang beberapa saat. Mahardika terlalu sibuk dengan mading, lomba menulis, dan interaksi barunya dengan Rena. Ghea, di sisi lain, mencoba fokus pada lomba pidato dan les tambahan. Tapi setiap kali mereka bertemu di perpustakaan, atau hanya sekadar berpapasan saat upacara, mata mereka selalu saling mencari.
Hingga suatu hari, Mahardika mendapati Ghea duduk sendiri di tangga belakang aula sekolah, menangis.
“Ghea?”
Ghea buru-buru menyeka air matanya. “Nggak apa-apa.”
“Kamu nggak pernah nangis begini. Cerita ke aku, dong.”
“Dika…”
“Hmm?”
“Aku kangen kita yang dulu.”
Hening sesaat.
Mahardika duduk di sampingnya, tanpa kata. Ia membuka kotak bekal kecil yang selalu dibawanya. Sepotong martabak manis.
“Martabak rasa kacang. Kesukaan kamu. Kita makan sama-sama yuk.”
Tangis Ghea pecah lagi. Tapi kali ini, ia tertawa di tengah air matanya. “Kamu tuh…”
Mahardika menatapnya lekat. “Kamu nggak akan pernah sendirian, Ghea. Aku janji.”
Sejak itu, mereka kembali tak terpisahkan. Bahkan meski rasa-rasa yang mereka punya tak pernah mereka ucapkan. Karena mungkin memang ada perasaan yang tak butuh kata. Cukup dengan hadir, cukup dengan setia.
Hari-hari di SMP mereka penuh cerita. Belajar bersama, pulang sekolah bareng, bertengkar soal hal sepele, lalu tertawa bersama. Seolah semesta merestui kedekatan mereka.
Tapi waktu terus berjalan. Dan perasaan yang tidak pernah diungkap, tetap tinggal di tempatnya. Ghea menyimpannya rapat-rapat. Mahardika menyimpannya dalam diam.
---
Di masa SMA, hidup membawa mereka ke sekolah yang berbeda. Tapi surat-surat dan pesan singkat tetap datang. Mahardika dengan tulisan jurnalistiknya. Ghea dengan ceritanya tentang organisasi sekolah dan lomba debat hukum.
Di hari kelulusan SMA, Mahardika mengirimkan sepotong puisi pendek:
> "Jika suatu hari langkah kita tak lagi seiring, semoga rasa ini tetap tinggal. Di antara jeda napas dan desir kenangan, aku pernah punya kamu—meski hanya dalam diam."
Dan Ghea menangis saat membacanya. Bukan karena sedih. Tapi karena ia tahu, hatinya memang tidak pernah jauh dari Mahardika.
Kenangan masa sekolah mereka seperti pita rekaman yang tak pernah usang. Kini, saat keduanya terlibat dalam kasus besar dan berhadapan dengan bahaya, kenangan itu jadi jangkar. Menjaga mereka tetap waras. Tetap manusia. Dan tetap saling percaya.
Kenangan akan masa kecil dan remaja itu masih lekat dalam ingatan Ghea dan Mahardika. Bahkan saat dewasa, di tengah pusaran kasus besar dan tekanan dari kekuasaan, apa yang mereka tanam di masa kecil menjadi fondasi yang kokoh.
Ghea, dengan segala kekuatan yang ia bangun dari luka dan tangis masa kecil, tumbuh menjadi jaksa yang tak pernah goyah.
Mahardika, dengan pena yang ia asah sejak mading sekolah, tumbuh menjadi jurnalis yang tak bisa dibeli.
Dan hubungan mereka? Masih seperti dulu. Penuh kejujuran. Penuh keberanian. Tapi juga penuh tanya.
Apakah mereka takdir satu sama lain?
Atau mereka hanya dititipkan satu sama lain oleh waktu, agar tak pernah lupa arti dari pulang?