Kenyataan Pahit

1572 Words
"Ayo masuk!" Lelaki yang menuntunku saat ini, sekarang telah resmi menyandang status sebagai suamiku. Setelah mengucapkan akad di hadapan penghulu dan juga saksi beberapa waktu lalu di KUA. Tak ada wali dan juga keluarga dari pihakku yang menghadirinya. Miris bukan? Ya, jangan bermimpi dan berharap akan adanya pernikahan yang mewah dan megah. Karena yang dia nikahi hanyalah seorang gadis buta. Sepertinya menolak mati-matianpun akan gagal juga nantinya. Jadi lebih baik pasrah dengan keadaanku saat ini. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang gadis buta sepertiku. Sekarang, lelaki itu menuntunku memasuki rumahnya. Perlahan-lahan, dia mengarahkanku untuk menaiki satu persatu anak tangga di depan rumahnya. "Wah ... ternyata kamu sangat cantik, ya? Tidak salah aku menyuruh Leon untuk segera menikahimu." Suara lembut itu mengalihkan duniaku sesaat. Ada rasa penasaran di dalam benakku. Siapakah dia? Ibunya? Kakaknya? Atau adiknya? Namum gengsiku terlalu tinggi untuk sekadar bertanya. Dari baunya sepertinya wanita itu mulai mendekatiku. Jemari lembutnya b******u dengan jemariku, sembari mengenggam jemariku dengan lembut. "Kamu lapar?" Tanya wanita itu. Aku hanya menggeleng. "Ehm ... bisa kamu antarkan Raina ke kamarnya, Farah? Aku ada sedikit urusan," kata Leon kemudian. "Tentu sayang, ayo cantik kita ke kamarmu," wanita itu menuntunku perlahan-lahan. Sayang? Aku tak salah mendengarnya. Ah ... mungkin dia adalah adiknya. Tapi, mungkinkah adik memanggil dengan sebutan sayang? Rasa penasaranku mulai berkecambuk di dalam benakku. Aku hanya mengikuti apa yang wanita itu katakan. Yang aku tahu, namanya adalah Farah itu saja tak lebih. Langkahku terhenti sejenak, begitupun dengan Farah. "Barangku?" Kataku sambil menghadap ke arah Leon, yang kuyakini dia belum beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. "Oh ... Pak Arif yang akan mengurusnya," katanya kemudian, terdengar dia meninggalkan kami. Aku tahu dari suara hentakan kakinya. Apa yang harus aku lakukan bersama orang yang tidak aku kenal ini? "Kamu takut?" Tanya Farah, tiba-tiba suara lembut wanita itu membuyarkan lamunanku. "Eh ...," akupun bingung harus menyahuti apa? "Aku ... dulu juga takut saat pertama bertemu dengannya. Jangan takut, Leon orang yang baik. Kamu pasti akan terbiasa nantinya. Ayo kita ke kamarmu," kata Farah, dengan sabar wanita itu menuntunku menuju kamar, lalu mengarahkan aku untuk duduk di atas pinggiran kasur. Berulang kali otakku berusaha mencerna perkataan Farah. Orang waras mana yang tidak takut tiba-tiba dinikahi, oleh orang yang tak tahu dari mana asal usulnya dan dalam waktu sesingkat ini. Aku mengembuskan napas berat. "Kamarmu ada di lantai 1 ya. Oh ... iya, kita belum sempat berkenalan ya?" Terdengar suara lembut itu disertai dengan tawa riang. "Saya Raina," kataku singkat. Jujur aku masih bertanya-tanya orang seperti apakah Farah ini? Siapakah Farah untuk Leon? "Raina, nama yang bagus. Berapa umurmu?" Tanyanya kemudian. "24 tahun." "Wah, masih mudah ya. Aku jadi iri." Aku bingung dengan maksud wanita ini. Namun, aku tak mau berburuk sangka terus menerus. "Maksud anda?" Tanyaku kemudian. "Tidak ... umurku 28 sementara Leon 30 tahun. Pasti ... Leon belum sempat memberitahumu, benar bukan? Oh iya, panggil saja aku kakak, karena perbedaan umur kita hanyalah 4 tahun saja." 28 dan 30 tahun. Saat ini otakku benar-benar bertanya. Siapakah Farah? Tapi, apa pentingnya status mereka sekarang. Tiba-tiba saja wanita itu duduk di sampingku. Aku tersentak ketika wanita itu memelukku secara tiba-tiba. Entahlah, namun secara spontan tubuhku merespon dan membalas pelukan wanita itu. "Terimakasih, kamu sudah mau menikah dengan Leon. Meskipun ... dia sedikit keras kepala. Aku yakin dia akan membahagiakanmu kelak," katanya dengan suara parau. Aku yakin jika wanita itu sedang menangis. Terdengar dari suaranya. "Jangan berterimakasih. Aku bukan malaikat. Aku hanya seorang gadis buta, yang tak bisa apa-apa, seharusnya kalian tak melakukan ini demi sebuah tanggung jawab, dan seharusnya akulah yang harus berterimakasih," kataku dengan posisi yang masih sama. Perlahan-lahan wanita itu melepaskan pelukannya. Tangannya kembali meraih kedua tanganku. "Jangan takut, kamu akan segera bisa melihat lagi. Aku yang akan menjamin itu," katanya dengan penuh keyakinan. Aku tak mengerti makna dari setiap kata yang diucapkan oleh perempuan ini. Haruskah aku mempercayainya? "Tidak bisa melihat seumur hidup 'pun aku tak masalah. Daripada aku bisa melihat. Namun, nantinya akan ada satu nyawa seseorang, yang akan melayang karenaku. Lebih baik aku buta selamanya," kataku sembari tersenyum. Hah ... memikirkan hal itu membuatku sedikit frustrasi. "Tidak ada yang dikorbankan nantinya Rain." Aku hanya tersenyum, berusaha mencerna setiap kata yang terucap dari mulut wanita itu. Banyak kata-kata janggal yang aku dengar dari awal bertemu dengannya. "Aku ... akan keluar menyiapkan makan. Kalian pasti lapar, kamu istirahat saja. Jika perlu sesuatu panggil saja aku. Oh ... iya, aku yang akan menemanimu jika siang. Karena Leon akan sibuk dengan urusan kantornya, sedangkan bila malam kamu akan bersama Leon," Farah pergi meninggalkanku sendiri. Deg Aku baru menyadari perkataan Farah, aku sudah menikah dengan Leon. Bagaimana jika dia meminta haknya dan bagaimana jika aku hamil nanti? Akankah wanita buta sepertiku bisa menjadi seorang ibu? Perasaanku menjadi kacau ketika aku sendirian. Otakku mulai menghayalkan hal-hal aneh karenanya. Namun, tak seharusnya aku bergantung kepada orang terus menerus. Sampai kapan aku buta, akupun juga tak tahu. Entahlah, mungkinkah selamanya, hingga ajal menjemputku? Dan selama itu pula aku tak boleh bergantung kepada siapapun. Mungkin saja Leon akan meninggalkanku juga, jika dia merasa bosan nantinya. Memikirkan hal yang belum terjadi saja sudah membuatku sakit kepala. Aku meraba tempat tidur yang tengah aku duduki. Aku mencari bantal untuk meletakkan kepalaku. Kubaringkan kepalaku hingga aku mulai terlelap mengarungi mimpi. . . Aku terbangun. Kuturunkan kakiku ke lantai dan mulai duduk. Hawa dingin lantai keramik terasa menelusup ke seluruh tubuhku. Sunyi. Tak ada suara apapun, rumah ini seperti tak berpenghuni. Entahlah apa yang harus aku lakukan ketika aku seperti ini. Namun, aroma maskulin ini ... aku yakin jika Leon sedang mengamatiku. Aku merasa ada atau tidak dirinya, aku harus berusaha mandiri. Aku mulai beranjak. "Mau kemana?" Suara bariton itu membuatku tersentak mendadak telingaku mendenging hebat. Tanganku reflek menutup keduanya dengan rapat. Sedetik kemudian aku merasakan pelukan erat disertai belaian lembut di punggungku. Embusan napas lelaki itu terasa menyapu bagian atas kepalaku. "Maaf, tidak apa-apa ... tidak apa-apa. Ada aku di sini," suaranya, menjadi lembut saat mengatakan hal itu. Seharusnya dia faham dengan kondisiku dan tak seharusnya mengatakan dengan nada setinggi itu. Sekalipun dia panik. Setelah aku merasa aman, aku mulai melepaskan pelukan Leon. "Tolong jangan berbicara terlalu keras. Aku hanya buta bukannya tuli," kataku kemudian. "Maaf jika itu menyakitimu, kamu mau ke kamar mandi?" Tanya Leon. "Biarkan aku pergi sendiri, tunjukkan di mana letaknya," kataku kemudian. Aku tak terbiasa dengan situasi aneh ini. Meskipun status kami saat ini adalah suami dan istri. Namun, aku sama sekali tak mengharapkan pernikahan ini. "Baiklan, jalan saja lurus lalu kamu akan menemukan pintu." Leon sudah membenarkan arah tubuhku. Aku berjalan perlahan tapi, ini sama sekali tak semudah yang aku bayangkan. Aku menabrak kursi dan hampir terjatuh. Beruntung Leon segera menangkap tubuhku yang belum sempat terjungkal. Di luar dugaan, Leon malah menggendongku ala bridal style. Hal itu membuatku tersentak kaget karena ulahnya. "Turunkan aku, aku bukan bayi," kataku sambil menepuk d**a Leon, aku yang tak ingin merepotkan orang merasa seperti beban baru bagi mereka. "Aku tak ingin istriku terpeleset di kamar mandi." Perkataan Leon membuatku merasa malu. Aku segera memalingkan wajahku, aku yakin bahwa sekarang wajahku telah berubah memerah karena ulah Leon. Mendengar kata Istri membuat hatiku berdetak tak karuan. Leon menurunkanku. "Mau ku bantu?" Perkataanya membuatku semakin tak tenang. Aku malah semakin waspada takut sesuatu yang tak seharusnya akan terjadi. Oh ... seharusnya aku tak berpikir seaneh itu. Apa yang diharapka lelaki itu kapada orang buta sepertiku. "Aku bisa sendiri. Keluarlah!" Kataku kepadanya. "Kamu tak perlu malu. Kita bahkan boleh melakukan hal yang lebih dari ini," kata Leon. Aku melotot. "Tolong keluar, aku sudah tidak bisa menahannya lagi dan aku yakin bisa melakukannya sendiri!" "Baiklah, aku akan keluar. Teriak saja jika sudah selesai," Leon keluar lalu menutup pintu kamar mandi. Setelah selesai aku segera keluar dari kamar mandi. Kali ini aku berhasil keluar dari kamar mandi tanpa menyentuh barang lain. "Sudah selesai?" Ternyata Farah sudah berada di dalam kamar menungguku. Wanita itu segera menuntunku kembali ke tempat tidur. "Kak Farah, apakah aku bisa pergi ke suatu tempat?" Tanyaku sedikit ragu. "Tentu, kamu mau aku antar?" "Aku rasa tidak perlu. Aku ingin terbiasa dengan keadaanku yang sekarang. Aku tak ingin bergantung kepada orang lain. "Baiklah ... jika kamu ingin pergi ke suatu tempat nanti katakan saja. Biar pak Arif yang mengantarmu," katanya kemudian. "Kak Farah." "Ya, cantik ... ada apa?" "Apakah Leon ada di sini?" Tanyaku dengan sedikit berbisik. "Dia ... sedang di luar. Tadi ada tamu yang datang. Ada apa? kamu ada perlu? biar aku panggilkan." "Tidak ... tapi bolehkah jika aku bertanya sesuatu, kak?" Tanyaku lagi. Aku semakin ragu mengatakannya. "Tentu ... di sini tak ada yang melarangmu untuk bertanya." Wanita itu terdengar tertawa ringan "Janji, kak Farah tak akan marah ataupun tersinggung?" Lagi-lagi aku merasa ragu ketika akan berucap. "Iya," wanita itu meraih tanganku lalu berkata, "katakanlah ... aku akan menjawabnya." Aku tak ingin menyimpan perasaanku terlalu dalam kali ini. Aku harus bertanya apapun jawabannya. Hatiku sudah siap dengan jawaban apapun. "Leon itu siapanya kak Farah?" Hening. Tak ada jawaban, Farah masih bergeming. "Kak ... kakak baik-baik saja?" "Ah, oh ... iya. Em ... Leon, itu ... suamiku," Deg "Su ... su ... ami?" Dadaku mendadak naik turun, napasku tercekat. Aku masih tak yakin dengan jawaban Farah dan ingin memastikannya sekali lagi. Aku berharap perkataan Farah hanya gurauan saja. Namun meskipun itu hanya gurauan,tak sepantasnya dia mengatakan hal itu, bukan? "Suami kakak?" "Iya ... suami kita," "KITA?" Aku tersentak, saat mendengar jawaban wanita itu. Aku langsung beranjak dan melepaskan genggamannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD