Kenyataan Sebenarnya

2332 Words
Suami kita Aku begitu terkejut mendengar kata itu, tapi aku tak tahu harus berbuat apa saat ini. Entahlah ... setelah mendengar kata-katanya, seolah membuatku terlihat sangat bodoh dan kotor. Aku ... malah merasa menjadi seorang pelakor, di dalam rumah tangga mereka. Ya, perlu ku tegaskan bahwa aku-lah di sini yang menjadi pelakornya dan juga perusak rumah tangga mereka, yang tiba-tiba hadir tanpa diinginkan. Begitulah posisiku saat ini. Memalukan dan sangat menjijikkan, bukan? Begitulah yang kupikirkan saat ini. Oh ... Tuhan, jika Orangtua ku masih hidup, Aku pasti sudah dihakimi oleh mereka. Masih banyak lelaki yang single di dunia, kenapa harus yang ber-istri. Seharusnya ini tidak terjadi kepadaku, jika saja aku tak mengalami kecelakaan pada waktu itu. Ah ... sepertinya penyesalanku hanya akan berujung sia-sia. Apapun alasannya, aku yakin semua wanita yang ada di dunia ini, pasti tidak akan pernah rela membagi suaminya kepada wanita lain. Haruskah aku menobatkan sebuah penghargaan untuk diriku sendiri, atas pencapaian yang luar biasa, di dalam hidupku selama beberapa hari ini? Bagaimana tidak, dalam waktu yang cukup singkat aku kehilangan kekasih dan penglihatanku secara bersamaan, ditambah sekarang malah menjadi madu seseorang dan beban hidup bagi mereka. Miris bukan? “Raina?” suara lembut itu, lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Namun ... aku masih bergeming, tak tau harus berbuat apa lagi? Aku begitu terkejut dengan kenyataan yang aku alami saat ini. Begitu pahit dan menyesakkan. Ingin rasanya aku pergi ke gurun pasir dan mengubur diriku hidup-hidup di dalam tumpukan pasir, saat ini juga. Begitu lebih baik menurutku, daripada aku harus menjadi benalu, di dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ya Allah ... tolonglah hambamu ini. Apa yang harus aku katakan dan lakukan sekarang. Jadi dari tadi secara tidak langsung aku telah melukai perasaan wanita yang berada di hadapanku ini. Betapa jahatnya aku. Sungguh bodohnya kamu Raina, kenapa tak terbesit sedikitpun untuk menanyakan statusnya kemarin sebelum menikah. Bodoh kamu Raina, bodoh! “Raina, kamu tidak apa-apa ‘kan?” Kata Kak Farah, sembari memegang pundak sebelah kiriku. Aku merasakan ada kecemasan, dari suaranya saat ini. “Ma-maaf,” hanya kata itu yang bisa terucap dari bibirku. Meskipun itu terasa sangat berat dan kaku. Stres dan syok. Itu sudah pasti. Siapa sih yang tidak stres ketika dihadapkan dengan sesuatu yang menyakitkan seperti ini. Ya, jawabannya tidak ada. Hal itu berhasil membuatku merasa lemas dan tak tahu harus berbuat apa. “Kenapa kamu harus meminta maaf?” Tanyanya kemudian, dengan begitu lembut. Aneh bukan, sungguh aneh wanita ini. Bukankah seharusnya dia mencakarku dan memakiku karna aku telah merebut suaminya? Seharusnya dia tak bersikap semanis ini kepadaku. Sungguh rasa bersalahku semakin besar kepada Kak Farah. Wanita seperti apakah dia sebenarnya. Sayang sekali, aku bahkan tak bisa melihat raut wajahnya saat ini. Ingin sekali aku melihat apakah dia tulus atau menyimpan kebohongan kepadaku. Bohong jika dia tidak membenciku. Terlebih aku telah mengusik rumah tangganya. Hening. “Tolong tinggalkan aku sendiri, Kak,” pintaku kepadanya. Kak Farah mengusap lenganku sembari berucap. “kamu tidak apa-apa kan? Maafkan aku Raina,” katanya lagi. Aku hanya mengganggukkan kepalaku. Tapi, bukankah seharusnya aku yang minta maaf kepadanya. “Please, tinggalin aku sendiri!” jeritku, suaraku agak meninggi dan mulai bergetar. Sungguh aku sangat takut saat ini, jika tiba-tiba kehilangan kendali dan tak bisa mengontrol diriku. “Iya, Kakak akan keluar. Sekali lagi Kakak minta maaf Raina,” ujarnya. Kak Farah segera bergegas meninggalkanku, tak lupa dia menutup kembali pintu kamar. Seharusnya dia yang marah kepadaku, bukannya malah aku. Sungguh aku wanita yang tak tahu diri dan tak tahu berterimakasih. Apakah sikapku terhadapnya keterlaluan kali ini. Sungguh tak ada yang bisa kulakukan setelah Kak Farah pergi dari kamar ini. Otakku memikirkan seribu macam cara agar aku bisa pergi meninggalkan rumah ini, tanpa merepotkan orang lain tentunya. Sepertinya malam ini aku memang harus bermalam di sini dahulu. Tak mungkin juga wanita buta sepertiku berkeliharaan di luaran sana. Pasti Leon tak akan membiarkan hal itu. Lelaki itu memang selalu mengawasiku seperti bayi, Yang baru belajar berjalan. Apakah aku terlalu egois saat ini? Tapi, spertinya Leonlah yang egois. Menikahiku tanpa memberitahukan status yang sebenarnya kepadaku. Meskipun itu hanya bentuk dari sebuah tanggung jawabnya terhadapku. Tapi ... pantaskah dia, mengorbankan hati seseorang demi sebuah tanggung jawab. Apalagi dia telah melukai hati wanita yang begitu lembut itu. Salahkah jika aku marah? Salahkah jika aku yang tak ingin dimadu atau menjadi madu untuk orang lain? . . . Tak sanggup lagi aku berpikir lebih jauh, aku meraba tempat tidur lalu meletakkan kepalaku di atas bantal. Dàdaku mendadak menjadi sesak dan sakit, air mataku membasahi tempatku menaruh kepala saat ini. Kepalaku mulai terasa agak ringan hingga lama-lama aku mulai terlelap, dan tertidur. . Suara Azan berhasil membangunkanku. Perlahan-lahan aku mulai duduk, kupegang kepalaku yang terasa agak sakit dan nyeri. Mungkin aku terlalu banyak menangis tadi. Padahal dokter Mahen sudah berpesan kepadaku, agar aku tidak menangis atau mengeluarkan air mata. Tapi, kali ini permasalahannya sungguh berbeda. Aku menangis karena banyak merasa kecewa. Kecewa akan keadaan. Aku beranjak menuju kamar mandi, untuk mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Perlahan-lahan aku melangkah agar tak menjatuhkan barang-barang yang ada di dalam ruangan ini. Aku keluar dari kamar Mandi, lalu meraba meja yang tadi sempat ditunjukkan oleh Kak Farah, aku memintanya meletakkan seperangkat alat solat di sana. Setelah aku memakai mukena lengkap, aku mulai bingung mengenai letak kiblat. Beginikah yang dirasakan orang buta selama ini. Bingung dengan arah dan tujuan. Tapi, mereka tak menyerah dalam menjalani hidupnya. Baiklah Raina, ayo kamu bisa. Segera kujulurkan sajadahku. Aku berharap tidak salah arah. Tapi, meskipun aku salah pasti Allah akan memaklumiku. Daripada aku tak melakukan kewajibanku. Saat aku hendak melakukan takbir, aku mendengar tiba-tiba suara pintu kamar terbuka. “Kiblatmu salah, tunggu sebentar! Aku akan mengimamimu!” Deg. Suara bariton itu lagi-lagi mengagetkanku. Leon pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, aku bisa mendengarnya ketika suara gemercik air terdengar hingga ke sini. Tak berselang lama dia sudah berada tepat di depanku. Dengan cekatan dia membenarkan posisi sajadahku dan posisiku berdiri saat ini tentunya. Aku hanya bisa menurut dengan semua perkataannya. Ketika Leon mengumandangkan takbir, entah kenapa hatiku bergetar, suasana menjadi sedikit sejuk dan nyaman. Suaranya begitu merdu dan indah ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-quran di setiap rekaat solat kami, hal itu membuatku begitu hanyut ke dalam suasana ini. Seandainya tidak ada kejadian tadi, mungkin aku sudah mengagumi lelaki yang berada di depanku saat ini lebih dari ini. Sungguh, aku bisa melupakan masalah dan persoalan hidupku sejenak. Tapi, kamu harus sadar Raina, ini bukanlah hal yang benar! . . Setelah selesai tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar aku diberikan petunjuk, untuk kehidupanku kedepannya. Karna aku lebih baik pergi daripada harus bertahan dan ada hati yang tersakiti karenaku. Setelah selesai Leon meraih tanganku, entah kenapa secara otomatis aku merespon dengan mencium punggung tangannya. Tangan Leon terulur mengusap puncak kepalaku. Setelah selesai segera kubuka mukenaku dan tak lupa aku melipatnya. Lagi-lagi Leon membantuku untuk kembali ke tempat tidur. Kali ini aku mencoba menurut, aku akan mencoba bertanya apa maksud dari drama yang dibuatnya kali ini. Setelah menunaikan kewajibanku kepada Sang Pencipta, aku merasa lebih tenang dan lega. Baiklah Raina, kamu pasti bisa. Aku duduk di pinggir tempat tidur. Aku juga merasakan jika Leon kali ini sedang berada tepat di sampingku. “Apakah kamu merasa bosan?” Tanya Leon. “Bosan? Memangnya apa yang bisa dilakukan orang buta sepertiku ini? Bukankah semua yang aku lakukan hanya akan membuat beban untuk orang lain?” sahutku. “Aku hanya bertanya saja, kenapa kamu marah? jika kamu bosan kamu bisa pergi jalan-jalan. Ya ... Untuk menghilangkan penat dan menghirup udara segar,” ujar Leon. “Aku tidak marah.” Aku menyangkal perkataannya. Leon hanya terkekeh. Sungguh demi apapun aku tidak marah, tapi hanya kesal dan jengkel. Entahlah, mengapa ketika aku sedang berbicara dengan Leon. Aku merasa jika atmosfer yang ada di sekeliling kami berubah menjadi menipis. Aku juga tidak bisa seleluasa dan sebebas berkata-kata tentunya. Antara ragu dan juga takut dalam berucap. Tapi, hati kecilku berkata aku harus bertanya alasan apa yang dia gunakan sehingga dia setega itu kepada istrinya. “Em ...,” aku merasa lidahku kelu dan tak sanggup melanjutkan ucapanku, untuk menanyakan permasalahan itu. Atau lebih baik aku urungkan saja niatku. Lebih baik aku memikirkan cara bagaimana cara pergi dari rumah ini saja. “Apa, katakanlah!” ujar Leon, seolah dia mengetahui kerisauan hatiku. “Baiklah, aku besok ingin pergi jalan-jalan,” ucapku singkat. Sengaja aku lakukan agar bisa menyambung percakapan kami lagi. “Baiklah, biar Farah yang mengantar dan menemanimu.” “Tidak perlu, eh ...,” potongku dengan cepat. “Kenapa? Jika terjadi sesuatu kepadamu aku akan semakin cemas!” terang Leon. “Bukan begitu, maksudku. Em ... Biarkan aku berlajar mandiri dengan keadaanku saat ini. Aku takut jika kehadiranku malah akan menambah beban dan merepotkan orang lain nantinya, paling tidak aku harus berusaha mandiri untuk kelangsungan hidupku sendiri, bukan?” terangku kepadanya. “Memang kamu mau kemana?” selidik Leon “Hanya ingin jalan-jalan ke taman saja,” jawabku singkat. “Oke, kalo begitu biar Pak Arif yang mengantarmu besok,” ujar Leon. “Tapi aku ingin pergi sendiri!” sahutku, ya siapa yang mau jika rencana mau kabur malah gagal kan gak seru. “Pergi dengan Pak Arif atau jangan keluar sama sekali!” tegas Leon. Sungguh seperti yang aku perkirakan. Sepertinya aku mulai bisa memahami karakternya, karakter egoisnya itu. Kali ini aku hanya bisa terdiam pasrah. Semoga Allah memberikanku jalan untuk kabur besok, begitulah harapanku saat ini. “Baiklah,” lirihku yang masih bisa di dengar oleh Leon. “Kamu belum makan malam, bukan?” tanya Leon. Aku hanya mengangguk. Sungguh aku mulai malas membalas setiap Pertanyaannya. Kenapa sih dia nggak pergi dan meninggalkanku sendiri. “Kamu ingin makan di luar?” “Tidak perlu, membawa orang buta sepertiku hanya akan membuatmu malu dan hanya akan menjadi bahan tontonan orang-orang,” ketusku. Sepertinya ini saat yang tepat bagiku untuk mengorek informasi lebih lanjut. “Kenapa kamu selalu berkata seolah-oleh kamu sangat hina, di mata orang-orang? Kamu adalah istriku dan aku tidak pernah malu dengan keadaanmu yang seperti ini. Camkan itu Raina!” tegas Leon. Kali ini aku mendengar keseriusan di dalam kalimat yang diucapkannya. Semua yang kamu ucapkan bukan karena aku istrimu, melainkan karena rasa bersalahmu terhadapku, ah ... Seandainya aku bisa mengucapkan kata itu. Aku masih bergeming. Kuhirup napas dalam-dalam. “Istri!” jeritku. Entah keberanianku bertambah dari mana saat ini. Kali ini aku bertekad harus mengeluarkan unek-unek yang mengganjal, dan yang sedari tadi bersarang di hatiku. “Iya ... Kamu istriku Raina!” lirih Leon lagi. “Aku memang istrimu, istri keduamu bukan?” Sergahku kemudian. Leon hanya bergeming, ucapanku bahkan mampu membungkam mulutnya, “bukankah itu faktanya tuan Leonard Emilio?” cecarku lagi. “Iya benar, kamu memang istri keduaku. Apa salahnya dengan itu semua. Di dalam agama kita poligami itu memang diperbolehkan, dengan atau tanpa izin dari istri pertama, dan selama aku berlaku adil terhadap kalian. Sekarang jelaskan di mana letak salahku Raina. Di mana?” Tegas Leon. Telak. Kali ini aku kalah, dari setiap kalimat yang keluar dari bibirnya. Memang semuanya benar. Di dalam agama Islam memang memperbolehkan seorang lelaki memiliki lebih dari satu istri. Tapi aku bukanlah Siti Aisyah yang ikhlas dan rela membagi suami dengan wanita lain. Aku hanyalah seorang manusia biasa. Begitupun juga dengan Kak Farah. Tak mungkin dia begitu ikhlas menerima semua kenyataan ini. Sungguh, dia bukan lelaki yang mudah diajak beradu argumen. Salahmu ketika kamu tidak menghargai perasaan seorang wanita, sayangnya lagi-lagi aku tidak bisa mengucapkan kata-kata itu, mungkin jika aku mampu berucap akan membuat hatiku menjadi lebih lega. Saat ini bibirku terkatup rapat dan aku hanya tergugu di tempatku terduduk. “Maaf ... Raina, sepertinya bukan saat yang tepat bagi kita membahas semua ini.” Leon keluar dengan membanting pintu hingga membuatku tersentak dari tempat dudukku, dia pergi meninggalkanku begitu saja sendirian. Ya Allah, kenapa engkau menciptakan manusia yang cengeng sepertiku. Lagi-lagi aku hanya bisa manangis bersama dengan kesunyian malam. . . Hingga semalam berlalu, aku tak mendapati Leon kembali ke dalam kamar yang aku tempati. Aku yakin dia sangat merasa tidak enak hati karena ucapanku semalam. Sungguh bukan maksud hatiku ingin mengajaknya beradu argumen. Akan tetapi, aku merasa jika hubungan yang kami bina dengan cara seperti itu juga akan lebih menyakiti hati Kak Farah. Aku tak mendengar suaranya dari pagi, kata Kak Farah Leon telah pergi bekerja dari tadi pagi. Syukurlah aku tak perlu berbicara dengannya. Ini adalah kesempatan yang bagus buatku, bukan? Aku meminta Pak Arif untuk mengantarkanku ke taman, yang biasanya aku datangi sewaktu aku masih bisa melihat dulu. Di sana biasanya aku selalu bertemu dengan sahabatku Riri. Semoga kali ini aku bisa bertemu dengannya. Tidak mungkin aku menghubunginya, ya karena memang ponselku hilang entah kemana. Apalagi aku sekarang sudah buta total, ponsel bagiku tidak terlalu penting juga. “Kemana Nyonya?” “Taman bunga pak.” Setelah perjalanan beberapa saat kamipun sampai. “Mau saya bantu Nyonya?” “Tidak perlu Pak, turunkan saja aku di pintu masuk. Aku akan berusaha memulai hidupku sendiri. Tak selamanya aku berharap kepada manusia,” jawabku. “Baik Nyonya.” Aku meminta pak Arif menurunkanku tepat di depan gerbang masuk ke dalam taman itu. Dengan tujuan agar aku bisa mengingat letak jalan yang biasa aku lalui. Perlahan-lahan aku berjalan mengingat setiap langkah yang dulu membawaku menuju tempat biasa aku duduk bersantai di bangku taman. Berulang kali aku hampir terjatuh dan menabrak sesuatu, bahkan Pak Arif berusaha membantuku untuk berjalan. Akan tetapi aku selalu menepisnya, aku tak ingin membuat repot orang lain. Akhirnya dengan susah payah, aku berhasil sampai di tempatku biasa duduk. Aku mulai duduk di bangku yang biasa kami gunakan untuk bersantai menikmati senja. Aroma bunga anggrek yang sedang bermekaran menusuk indra penciumanku. Taman ini tidak terlalu ramai, jadi aku merasa tenang tanpa harus mendengar suara-suara yang begitu ribut. Sudah cukup lama aku duduk di tempat ini. Mungkin hari ini Riri tidak datang ke sini, pikirku. Lebih baik aku pulang dan kembali lagi besok. “Raina?” sapa seorang wanita, dengan suara yang terdengar bergetar. “Riri?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD