AUTHOR POV :
Kamera menderu-deru membuat Devan merasa tidak nyaman. Meski begitu, gaya yang dibuatnya secara spontan menarik perhatian para kameramen untuk terus-terusan mengambil gambar. Devan merupakan gambaran nyata salah satu contoh bakat alami yang diturunkan dari gen.
Semua orang bersorak ketika Devan menunduk. Laki-laki itu tampak menghela napas lega ketika Blitz kamera berhenti sejenak menandakan bahwa dia boleh istirahat sekarang.
Devan, laki-laki yang sudah memiliki banyak penggemar rahasia di sekolah itu mulai membuka lembaran tentang karirnya. Meski awalnya ragu, namun dia harus melakukannya demi menjaga citra kedua orang tuanya yang secara resmi rujuk kembali. Media tentu saja meliput berita itu menjadi berita utama. Dan Devan tidak akan lepas begitu saja, dia secara otomatis ikut ditarik dalam tajuk berita. Bahkan, saat fotonya pertama kali ditampilkan di layar televisi, semua orang terlebih para remaja perempuan menunjukkan ketertarikan mereka dengan menjadi penggemar hanya dengan pandangan pertama.
Orang tuanya kembali setelah vakum cukup lama dari dunia hiburan. Namun, Devan berbeda lagi, dia seperti pendatang baru yang langsung meroket. Terbukti belasan merk brand pakaian ternama memintanya menjadi model, beberapa film yang digarap dari novel memintanya menjadi tokoh utama, agensi hiburan memberinya fasilitas VIP tanpa tes. Dia menjadi bukti bahwa tampang adalah uang. Hanya dalam waktu sehari setelah berita orang tuanya rujuk.
Devan meraih ponselnya dan tersenyum ketika membaca tulisan di handphone-nya 'jaga kesehatanmu baik-baik' disertai striker panda yang merajuk. Devan tersenyum, dia membayangkan apa yang Sakura pikirkan saat mengiriminya pesan ini.
Seperti dugaan Devan, saat ini Sakura berada di rooftop sambil melemparkan pandangannya ke halaman sekolah. Dia betul-betul merasa kesepian. Hanya tumpukan buku olimpiade fisika yang menemaninya.
'Kamu juga, jaga kesehatanmu baik-baik'
Sebuah pesan masuk membuat Sakura membuka ponselnya setelah menyelesaikan satu- dua soal. Senyum tipis tergurat di wajah mungilnya. Matanya memandang langit, lalu menutup mata berusaha merasakan apa yang Devan rasakan. Tak lama, matanya kembali terbuka setelah menerima pesan. Devan lagi.
'Bagaimana kalau jalan-jalan. Ini cukup melelahkan Ra. Aku butuh hiburan.'
Mata Sakura berbinar-binar. Dia merasa bahwa dia juga butuh hiburan, soal fisika membuatnya sulit bernapas. Waktu demi waktu berlalu. Olimpiade tinggal satu bulan lagi.
Bioskop? Katanya ada film bagus
Devan menerima pesan Sakura dan membalasnya buru-buru dengan emotikon senyum. Dia harus kembali berhadapan dengan kamera.
Di sisi lain, tepatnya di lantai tiga belas bangunan yang terletak di tengah-tengah kota, terdapat dua orang pasangan yang duduk berdampingan, mereka saling berpegangan erat. Lucas dan Shira yang tengah menghadiri acara secara live di salah satu stasiun TV untuk memberikan klarifikasi terkait hubungan mereka. Siapa sangka jika banyak orang percaya bahwa mereka betul- betul rujuk. Padahal kenyataannya, mereka sedang memainkan drama dan berperan sebagai aktor, hanya saja bedanya ini di kehidupan nyata.
“Ya, anak kami Devan tumbuh besar. Dia bahkan meyakinkan kami untuk menjalani hubungan kembali,” ujar Lucas setelah host memberinya pertanyaan terkait anaknya yang kini naik daun. Lalu Lucas memegang tangan istrinya yang duduk tepat di sebelahnya.
Shira melihat wajah suaminya lalu tersenyum. “Betul, Devan lah yang membuat kami seperti saat ini. Dia betul-betul anak yang baik.”
Semua orang bertepuk tangan meriah setelah itu.
Tetapi, semuanya berubah dalam sekejap. Ketika keduanya masuk ke dalam mobil. Tidak ada lagi senyum, yang ada hanyalah helaan napas tanda bahwa mereka lelah bersandiwara.
“Baguslah. Kamu tidak berubah Shira,” ujar Lucas sembari melonggarkan dasinya. Shira tersenyum. “Tentu saja, bukankah aku masih terlihat muda?”
Lucas tersenyum kecut. “Ya, cantik.” Dia memainkan jarinya di wajah Shira. Istrinya menepis tangan suaminya begitu cepat.
“Sayangnya sampai saat ini kamu tidak bisa membuatku luluh.”
“Cih, hahaha… karir menjadi prioritasmu sampai saat ini bukan? Bagaimana kamu bisa mengurus Devan?”
Shira memalingkan wajahnya, dia tidak bisa mengatakan bahwa apa yang Lucas katakan
salah.
Lucas mendesis. “Tenang saja, jangan memikirkan apapun tentang perasaanku. Tetapi, aku ingin berterima kasih bahwa kamu ternyata masih memikirkan Devan. Masa depan Devan adalah hal yang paling penting saat ini.” Mata Lucas bertemu pandang dengan mata Shira cukup lama. Apakah cinta mereka bersemi kembali? Kalau iya, Devanlah salah satu alasannya.
“Lihatlah dia!” Lucas menunjukkan video kepada Shira. Video itu menunjukkan Devan yang melakukan sesi pemotretan. “Bukankah dia tampan seperti ayahnya?”
“Dasar.” celetuh Shira lalu memutar bola matanya.
*
Sakura yang sedari tadi membuka handphonenya hanya untuk melihat jam tiba-tiba tersentak kaget ketika sosok laki-laki jangkung berdiri tepat dihadapannya. Laki-laki itu menggunakan masker berwarna hitam, topi hitam disertai coat berwarna abu-abu. Dia terlihat seperti anggota intelijen.
“Devan kenapa kamu…” belum selesai Sakura berbicara, mulutnya terbungkam karena tangan besar yang menutupi hampir seluruh wajahnya.
“Sssttt… jangan berisik Ra, bisa bahaya kalau ada orang yang mengenaliku,” bisik Devan.
Sakura mengangguk. Dia paham bagaimana Devan begitu diincar-incar sekarang, bagi Sakura Devan terlihat seperti buronan ekslusif. “Baiklah, tetaplah diam dan ikut aku. Kita akan memesan tiket.”ujar Sakura.
Devan tersenyum meski senyumnya tersembunyi di balik masker. “Aku sudah memesan tiketnya, ayo masuk!” Dia lalu meraih tangan Sakura. Membuat perempuan dengan dress putih itu tersenyum malu hingga terlihat salah tingkah.
Film yang sudah dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu membuat Devan membaca kode tulisan dengan seksama karena lampu bioskop sudah dimatikan. Yang tersisa hanyalah cahaya dari layar yang berwarna merah. Sakura tersenyum kecut, dia ingin protes mengapa Devan memilih film trillher.
Sepanjang film, Sakura hanya berusaha menutupi wajahnya, sesekali dia menarik lengan Devan karena berusaha menahan teriakan yang bisa keluar kapan saja. Pembunuhan serta darah, Sakura tidak tahan melihatnya.
“Ini alasan mengapa aku tidak ingin menjadi dokter,” bisik Sakura tepat di telinga Devan membuat Devan tertawa kecil.
“Oh iya Ra, aku keluar dulu.” “For what?”
“Pipis.”
Sakura mengangguk. Dia tidak bisa menahan Devan karena alasannya.
Perempuan itu kini hanya bisa menutup wajahnya hingga film selesai, atau setidaknya hingga Devan kembali.
Devan membersihkan tangannya di westafel lalu berjalan kembali ke bisokop. Tetapi, seseorang menarik tangannya dari belakang membuat langkahnya terhenti.
Carolina.
Devan terdiam cukup lama, waktu seolah bergerak slow motion.
“Ikut aku Dev,” Carolina menarik tangan Devan namun, laki-laki itu bersikeras untuk bertahan. “Tidak, kamu yang harus mengikutiku Carolina. Ini penting!”
“Aku mencintaimu Dev. Sungguh. Bukankah kamu membaca suratku juga hari itu?”
Devan menggeleng. “Aku benci mengatakan bahwa kamu tidak boleh mengungkapkan perasaanmu sekarang.”
“Kenapa Dev?” Carolina menatap mata Devan lamat-lamat. Dia penasaran apa yang akan Devan katakan.
SAKURA POV :
Mengapa laki-laki itu pergi cukup lama? Apa jangan-jangan maskernya terbuka? Gawat. Lebih baik aku juga keluar sekarang, aku hanya terus menutup mata. Tetapi bagaimana jika Devan kembali.
Aku tersentak, sesuatu menyentuh tangan yang melekat di wajahku.
“Apa kamu ingin terus seperti itu?”
Ternyata Devan. Aku bisa menarik napas lega sekarang.
“Kalau tahu kamu mengajakku menonton film ini, aku lebih baik tinggal di rumah,” gumamku sambil memukul lengan Devan berulang kali. Devan hanya tertawa kecil.
“Benarkah?” “Ah sudahlah.”
Kami akhirnya keluar dari bioskop bahkan kami berdua belum melihat bagaimana
endingnya. Masa bodoh, itu film terburuk yang pernah kutonton.
Sebelum pulang, Devan mengajakku pergi ke toko buah. Entah apa yang merasukinya. Apa karena dia menjadi artis sekarang hingga harus hidup sehat, banyak artis yang melakukan diet ketat demi tampil sempurna atau karena Devan memang suka makan buah.
“Aku juga membelinya untukmu,” ujar Devan sembari memasukkan stroberi ke keranjang.
Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. “Buah apa yang kamu sukai Ra?” “Aku suka nanas.”
“Nanas? jangan terlalu sering makan makanan asam Ra. Cobalah apel ini,” kata Devan lalu memasukkan apel dan anggur ke dalam keranjang. Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku sungguh tidak suka makan buah. Tetapi, karena gratis mengapa tidak? Hahahaha….
Aku hanya bisa tertawa dalam hati ketika Devan mentraktirku makan di Restaurant Jepang. Dia bahkan memilih ruangan VIP khusus, tidak mungkin dia bisa makan jika masker terus melekat di mulutnya dan kalau maskernya terbuka satu mall akan melihatnya membuat restoran akan penuh dan berdesak-desakan. Aku tidak bisa membayangkannya. Lagi-lagi yang ada dihadapanku betul- betul populer sekarang.
“Aku ingin makan ramen daging sapi,” ujarku. Devan mengangguk, lalu memanggil pelayan.
Sambil menunggu makanannya siap, aku mengamati sekelilingku. Tempat ini betul-betul membuat kita merasakan sensasi berada di Jepang. Terlebih ruangan yang dipenuhi ukiran kayu, serta meja kecil yang membuat kita makan dengan duduk melantai. Selain itu, kaca jendela yang terbuka hingga kita melihat sebuah pohon bambu di luar sana.
Aku menghirup napas dalam-dalam. Ini kali pertama aku ke restoran jepang secara langsung. Mama di hari libur biasanya membawaku makan makanan Italia atau Prancis.
Setelah makanan tiba, aku langsung menyeruputnya. Menyaksikan bagaimana orang Jepang melakukannya. Tetapi, wajahku seketika memerah karena makanannya masih panas. Aku betul-betul menahan malu di depan Devan yang terlihat menahan tawa. Suasana Absurd menghampiri kami.
“Tunggu dingin dulu Ra,” kata Devan lalu mengaduk ramenku dengan sumpitnya. Aku mengangguk sambil menenggak jus stroberi.
Dibalik itu, aku melihat Devan merogoh sesuatu dari sakunya. Dua buah kapsul yang entah apa khasiatnya.
“Apa itu Dev?” tanyaku langsung setelah menaruh gelas kembali.
“Ini vitamin.” Devan membuka satu kapsul lalu menaburkannya di ramen. Aku bergidik geli. “Bukankah lebih baik di minum langsung?”
“Tidak, rasanya pahit.”
“Boleh kucoba?” Aku yang penasaran langsung mengambil sekapsul yang tersisa di tangan Devan dengan beringas lalu menaburkannya di ramenku. Devan tidak bisa mencegahku karena aku terlalu cepat. Dia terlihat menelan ludah lalu tersenyum.
“Ada apa Dev? Bukankah ini vitamin?”
“Ya, itu vitamin. Hanya saja, kamu tidak perlu melakukan hal konyol Ra. Bagaimana kalau ramennya tumpah.” Devan mengetuk kepalaku membuatku meringis. Di depan semua orang dia seperti laki-laki yang baik hati, anak yang patuh tetapi lihatlah dia sekarang. Dia bahkan mengetuk kepala seorang perempuan yang tak bersalah sama sekali. Jahat.
Tetapi, sebelum aku berhasil mengeluarkan semua ocehan, Devan mengelus kepalaku lalu tersenyum. Jarak kami begitu dekat. Siapapun, tolong aku sekarang!
Sepulang dari restaurant Jepang itu. Devan mengantarku pulang. Sebelum pergi, aku memberinya buku catatan. Sebentar lagi ujian, dia pasti ketinggalan banyak pelajaran karena terus- terusan berbaring di rooftop. Juga karirnya.
“Terimakasih Ra,” ujar Devan. “Sama-sama.”
Aku berdiri di depan gerbang, menunggu hingga mobil Devan betul-betul menghilang di sudut jalan.
Senyum tak diundang tiba-tiba menghampiriku. Hari ini adalah hari yang menyenangkan. Aku hanya bisa menutup wajahku dalam bantal guling. Entah perasaan seperti apa yang kurasakan. Aku tidak bisa menggambarkannya.