DAY 1
Seorang perempuan terlihat gusar. Memandangi sekeliling kebingungan seperti mencari- cari sesuatu hingga sebuah kertas bergumpal yang sudah diremas jatuh tepat di kepalanya.
Sakura, perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu membuka kertas lalu mendongak lantas melihat jelas sosok laki-laki yang berdiri di rooftop.
Ternyata Devan. Laki-laki yang dicari Sakura saat ini. Dia terlihat melayang-layangkan kakinya ke udara. Kalau kakinya bergeser sedikit dia bisa jatuh kapan saja.
Sakura dengan sigap berlari-lari kecil menaiki tangga setelah melewati koridor depan kelas. Dia membuka pintu keluar rooftop cukup keras hingga membuat Devan terlonjak kaget.
"Jangan menggangguku! Kau tidak lihat aku sedang tidur," gerutu Devan. Dia saat ini dalam posisi terbaring, menghadapkan wajahnya ke arah Sakura dengan sebelah mata terbuka.
Sakura sewot. "Apa kamu gila hah?"
"Gila?" Devan berdiri, membersihkan pakaiannya dan berjalan pelan menghampiri Sakura.
"Ya... gila. Kamu tahu kan sekarang jam pelajaran. Bu Tuti menyuruhku mencarimu Dev." "Hmm... Kenapa tidak diisi Alpa saja. Apa susahnya? Mengapa kau pula yang disuruh Bu
Tuti?" Kini Devan balas menatap tatapan Sakura tajam, ekspresi Sakura saat ini layaknya seperti orang marah pada umumnya, juga sedikit bercampur kesal. "Oh apa jangan-jangan karena kamu anak emasnya?" tambah Devan membuat emosi Sakura semakin menjadi-jadi.
Sakura menarik napas dalam-dalam. Berusaha tidak terbawa emosi. "Kalau Carolina tidak menyukaimu kenapa kamu sampai takut masuk ke kelas?" Sakura mengeluarkan kertas yang tadi dibuang Devan dari saku bajunya. Surat cinta Devan.
Memang benar, keberadaan Devan di rooftop tak lain dan tak bukan adalah untuk menghindari sosok Carolina di kelas. Setelah menyatakan cinta dan ditolak, Devan merasa malu. Bukan malu kepada Sakura dan yang lainnya. Tetapi malu mengakui fakta bahwa Carolina
menolaknya hanya karena sifat kekanak-kanakan Devan sendiri. Devan jelas tak terima dikatai seperti itu.
Devan yang tadi terukir senyum melengkung di wajahnya kini berubah datar. "Bagaimana Carolina menerimamu kalau seperti ini?"
"Seperti apa? Seperti tidak masuk kelas?"
Sakura menepuk jidat. "Memangnya masih jaman ya kirim pake surat-suratan. Bukan romantis malah cringe. Kalau kamu memang suka dengan Carolina, pakai cara-cara yang lain. Lewat chat kek kasih hadiah, atau apalah." Sakura mengeluarkan kertas yang kini sudah terlihat bonyok yang dilempar Devan tadi.
Devan menggoyangkan mulutnya, dia mengejek Sakura sekarang. "Dasar cerewet." Devan lalu mengeluarkan sepuntung rokok dan korek dari saku celana belakangnya.
Sakura yang tidak tahan lagi dengan perbuatan Devan merampas rokok yang kini sudah berada di mulut laki-laki yang rambutnya acak-acakan itu. Sakura bahkan memadamkan apinya dengan menaruh rokok di telapak tangan. Devan diam beberapa saat, terpukau ngeri melihatnya.
"Apa tidak sakit?"
Sakura menggeleng lantas menarik tangan Devan dengan beringas menuju ke kelas. Dia begitu berani menggenggam tangan Devan tanpa takut orang akan ber-statement seperti apa. Lagi pun, jam pelajaran membuat hanya satu-dua orang yang melihat mereka.
Di perjalanan sesekali Sakura memperbaiki posisi kacamatanya akibat berjalan terlalu cepat membuat kacamatanya hampir terjatuh. Devan hanya mengikut pasrah hingga setibanya di kelas, pelajaran sudah hampir berakhir. Seketika senyum Devan merekah. Bu Tuti, guru Kimia yang terkenal baik dan bijak tersenyum melihat kedatangan dua muridnya yang terlihat ngos-ngosan itu.
“Sakura.”
“Iya Bu,” jawab Sakura sembari mengatur napasnya.
“Tadi ibu cuma kasi PR ke teman-temanmu. Jadi jangan khawatir persoalan ketinggalan pelajaran,” ujar Bu Tuti. “Terima kasih sudah membawa Devan ke kelas,” sambungnya.
“Sama-sama Bu.”
Devan memutar bola mata. Dia kesal karena terlihat seperti anak kecil yang hilang ditemukan orang tuanya.
“Devan, setelah pelajaran nanti kamu pergi menghadap ibu ke ruang guru!” perintah Bu Tuti, nada bicaranya yang tadinya lembut kepada Sakura kini berubah tegas.
“Baik Bu,” jawab Devan. Lantas kembali ke tempat duduknya.
Pelajaran setelah Kimia adalah Bahasa Inggris. Devan terlihat malas untuk belajar. Dia hanya menopang dagunya lalu menghela napas panjang sesekali. Kelas adalah tempat yang paling dibencinya, sedang belajar adalah kegiatan membosankan. Matanya menatap lesu ke arah guru yang dari tadi berbicara tentang tenses. Tidak ada satu katapun sang guru tidak menggunakan bahasa Inggris, membuat Devan bertambah kesal. Lengkap sudah penderitaannya sekarang.
Setelah pelajaran Bahasa Inggris selesai, Devan melempar bukunya ke dalam tas, lembar kertas dalam buku itu bahkan tidak tersentuh tinta pulpen sama sekali. Hanya sebuah pencitraan agar Mis memercayai bahwa setidaknya dia sedang belajar. Formalitas tepatnya.
Devan terlihat buru-buru keluar. Namun seorang perempuan menghadangnya dengan merentangkan tangan. Tubuh mungilnya dengan mudah ditepis Devan. Sakura.
“Hei, bukankah Bu Tuti mencarimu?”
Devan berbalik. “Untuk apa? Dia pasti sudah lupa.”
“Dasar ngeyel,” Sakura menarik tangan Devan persis seperti tadi. Devan yang berusaha melepaskan tangannya akhirnya pasrah setelah Sakura menggigit lengan laki-laki keras kepala itu.
“Bisakah kamu bersikap lembut sedikit?” Devan terus melangkah menyeret kakinya.
Sesekali dia melihat tangannya yang merah karena bekas gigitan. “Dasar Vampir,” celetuhnya.
Ruang guru terlihat sepi. Hanya ada Bu Tuti yang membaca novel Serial STOP, buku terjemahan dari Jerman tahun 90-an yang tampak usang. Selain menjadi guru Kimia, Bu Tuti juga merangkap sebagai seorang penulis novel dan artikel. Jadi wajar saja jika hobinya adalah membaca. Di ruangan itu, terlihat juga dua guru lainnya yang sedang memeriksa tugas harian.
“Oh… Devan, duduklah!” kata Bu Tuti setelah menyadari keberadaan Devan dan Sakura. “Terima kasih telah membawanya kesini Sakura.”
Sakura tersenyum, lesung pipinya terlihat jelas.
“Begini Dev, kamu tahu kan nilaimu menurun akhir-akhir ini. Terutama di mata pelajaran ibu. Padahal waktu kelas satu kamu punya potensi loh di Kimia. Kalau kamu ada masalah bisa cerita ke ibu.”
Devan mengangguk lalu berkata ‘Iya’. Dia hendak pergi namun Sakura lagi dan lagi terus menahannya.
“KAMU TIDAK USAH IKUT CAMPUR!” Teriak Devan membuat Sakura tersentak. Namun perempuan itu tetap teguh untuk menahan Devan agar tidak pergi begitu saja. Pikirannya hanya satu, tidak mudah lagi membawa Devan menghadap ke Bu Tuti.
Devan yang berdiri sekian lama akhirnya duduk kembali.
Bu Tuti tersenyum. Dia berusaha menghadapi Devan dengan tenang, meskipun dua guru lainnya dalam ruangan itu sudah terlihat risih. “Begini saja Dev, aku yakin kamu tidak ingin menghadap ke ibu lagi. Tetapi, Sakura yang akan membimbingmu. Bagaimana?” tawar Bu Tuti.
Devan menatap Sakura lalu membalikkan wajahnya kembali. “Kalau perempuan cerewet ini mau, tidak masalah,”
Sakura menatap Devan tajam, harga dirinya seolah dipermainkan. “Tidak masalah Dev.
Biar saya yang membantunya Bu…”
Bu Tuti tersenyum. Devan membulatkan bola matanya seolah berkata ‘apa yang kau lakukan bodoh’.
Setelah itu, dua orang itu berjalan keluar gerbang hendak pulang. Suasana sekolah sudah sepi, hanya beberapa anak basket, futsal dan juga marching band.
"Baiklah, hari ini ibu Tuti sudah menyuruhku untuk membantumu. Karena itu, mulai besok kamu harus datang ke sekolah tepat waktu. Kita belajar Kimia bersama."
"Bullshit," celetuh Devan. Dia mengecilkan suaranya lantas melangkah keluar gerbang.
"Aku akan menjemputmu di rumahmu besok. Lagi pun, Bu Tuti sudah mengirimkan alamatmu kepadaku."
Devan menghentikan langkahnya kemudian berbalik. Dia ingin protes namun perempuan yang tadi berbicara dengannya sudah melangkah cukup jauh. Membuat Devan menggaruk kepala. Dia bersikap masa bodoh.
Sore hari sebelum matahari terbenam, Devan tidak langsung pulang ke rumah. Dia mengunjungi sebuah tempat di belakang rumahnya. Tempat itu sejuk, dipenuhi burung-burung kecil yang berterbangan kesana-kemari, juga batang kayu penuh ukiran tangan. Sebuah rumah pohon ukuran tiga kali tiga dengan ketinggian empat meter menjadi tempat menghabiskan hari hingga matahari kembali ke peraduannya.
Di tempat itu, Devan hanya memejamkan mata. Sesekali dia turun ke bawah pohon untuk bermain basket. Terdapat dua ring disana, yang satunya sudah agak penyok dan satunya lagi tanpa jaring. Sewaktu kecil, Devan tidak bermain sendiri. Namun, ada dua sahabat yang juga menemaninya main bersama. Momen itu, momen yang teramat dirindukan Devan. Namun, waktu seakan melenyapkannya juga sebuah tragedi yang Devan sesali hingga kini.
Satu, dua, tiga.
Shoot yang Devan lemparkan ke ring selalu masuk. Sekalipun dia mundur beberapa langkah. Ketika keringat mulai bercucuran, Devan melepas kemeja seragam sekolahnya menyisakan kaos berwarna putih. Dia duduk di dasar tanah tanpa peduli celananya kotor. Rambutnya kini acak-acakan.
Namun, meski begitu dia selalu tampan. Wajahnya blasteran Antara orang Eropa dan Asia Timur. Hal itu tentu membuatnya memiliki banyak penggemar rahasia di sekolah. Namun, hanya Carolinalah yang diharapkannya seorang. Meski orang tua mereka berdua sudah menjodohkan mereka, namun tetap saja Devan ingin berusaha merebut hati Carolina sendiri.
Malamnya, sebelum Devan tertidur dia membuka ponselnya lantas kaget setelah melihat puluhan pesan belum terbaca dari whatssappnya. Saat Devan membukanya hanya ada satu huruf disana ‘P’ yang terkirim sebanyak 22 kali.
Nomor yang tidak diketahui membuat Devan penasaran hingga langsung mengecek profil dari pengirim misterius itu. Devan tersenyum kecut setelah melihat Sakura makan es krim stroberi di foto profilnya.
“Cih..”
SAKURA POV :
Persoalan tadi. Entah apa yang ada dibenakku hingga aku menerima tawaran Bu Tuti. Aku tahu itu akan melelahkan. Aku tahu Devan bukan anak yang mudah tertarik begitu saja untuk menjadi anak baik. Mengapa kamu begitu bodoh Sakura? Mengapa?
Namun, aku manusia yang tidak pernah takut akan tantangan. Devan, kalau saja dia diam mungkin aku bisa menolak tawaran Bu Tuti tadi. Tetapi, apa yang harus kulakukan, harga diriku sungguh dipertaruhkan kalau-kalau aku menolak permintaan bu Tuti dan membuat Devan benar akan perkataannya. Saat ini yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menaklukkan Devan sembari memikirkan cara agar dia mau menarik kata-katanya kembali.
Aku menenggelamkan kepalaku ke dalam bantal guling. Sambil berteriak kecil. Devan, kau membunuhku dengan masalah baru.
Aku terbangun dari pikiranku akan Devan. Fokus menatap layar laptopku kembali. Menatap video pembelajaran dengan tentor yang membahas tentang Energi Mekanik. Aku lebih nyaman seperti ini ketimbang ikut bimbingan belajar secara langsung lantas bertemu orang baru. Jujur, aku sulit beradaptasi.
Kuulang kembali materi dari kelas X. Dengan satu tujuan, bisa lolos OSN Fisika, memperoleh sertifikat dan memperbaiki nilai.
Sejujurnya Aku tidak peduli akan nilaiku, bukankah ilmu yang lebih penting dari itu? Tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa nilai adalah bukti nyata yang ada. Kita tidak perlu repot-repot lagi ikut SBMPTN.
Berbeda dengan ilmu, yang hanya kamu dan Tuhan yang tahu seberapa jauh pengetahuanmu. Lebih dari itu, nilaimu bisa menjadi hal positif seperti mama akan bangga hingga dia memberikan hadiah kesukaan kepadamu atau minimal uang jajanmu bertambah.
Aku men-skip video di laptop. Perhatianku kini beralih ke buku yang disampulnya bertuliskan ‘POCKETBOOK FISIKA X,XI,XII’. Hingga sesuatu tiba-tiba mengalihkan perhatianku, sebuah cairan berwarna merah tepat jatuh pada kolom rumus hukum kekekalan energi. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan berlari ke kamar mandi.
Mimisan.
Aku memutuskan beristirahat. Kupikir malam ini sudah cukup dengan sekelumit rumus mematikan.