Devan mengucek matanya ketika suara ketukan pintu terdengar.
"Bangun Nak Devan, teman Nak Devan sudah menunggu di luar gerbang."
Devan mendengus pelan namun tetap sadar bahwa suara itu adalah suara bibi Miah. Asisten rumah tangga dirumahnya.
"Iya Bi..." sahut Devan hingga akhirnya suara ketukan itu tidak terdengar lagi. Laki-laki itu segera menggeser selimut dihadapannya lalu membuka tirai karena penasaran siapa teman yang dimaksud bibi Miah.
Hingga seorang perempuan berdiri di luar gerbang tepat di depan bell gerbang rumah. Devan menggaruk kepalanya cukup keras. Dia sungguh tidak menyukai keberadaan perempuan yang diutus Bu Tuti itu.
Sakura yang menyadari keberadaan Devan lalu melambaikan tangan. Sesekali melompat- lompat. Dia begitu bersemangat pagi ini. Namun, bukan bersemangat karena Devan. Tetapi, hari ini adalah hari pengumuman hasil tes seleksi siapa yang akan mewakili sekolah untuk lomba mata OSN tingkat kota untuk mata pelajaran Fisika.
Sakura menatap jam tangannya sesekali, sudah hampir tiga puluh menit batang hidung Devan belum juga terlihat. Hingga Sakura menendang-nendang batu dihadapan juga sesekali melihat kukunya. Memastikan apakah kukunya masih bersih.
Sakura berbalik ketika mendengar suara gerbang terbuka. Devan, laki-laki itu akhirnya keluar. Rambutnya terlihat acak-acakan membuat Sakura mengernyitkan dahi lalu menggelengkan kepalanya. “Dasar.”
“Mengapa kamu tidak masuk ke rumah? Apa bibi Miah melarangmu masuk?” tanya Devan. Saat ini mereka memutuskan untuk berjalan ke sekolah. Hari masih pagi, taka da salahnya berolahraga.
“Bibi Miah? bibimu?”
“Ya, yang tadi membukakanmu pintu.”
“Oh itu, aku yang meminta menunggu di luar. Rumahmu terlalu megah. Aku jadi takut melihatnya.”
“Takut hantu?”
“Bukan, takut kamu,” Sakura tertawa lepas. Devan memasang muka datar seolah tidak suka dengan selera humor perempuan di sebelahnya.
Setelah itu, suasanan menjadi hening. Hanya suara gemerisik pohon tertiup angin.
Pertanda sebentar lagi akan memasuki musim hujan.
Devan menatap perempuan di sebelahnya berkali-kali. Hingga entah kali kesekian Devan membulatkan mata dan memegang kedua pundak Sakura.
“Jangan bergerak!” Devan melepas jaket yang dia kenakan. Lalu menaruhnya di hidung Sakura. Perempuan itu mimisan lagi.
Sakura yang sedari tadi pasrah. Kinit tahu apa yang terjadi setelah Devan memperlihatkan jaketnya yang dipenuhi darah.
“Apa kamu baik-baik saja Ra?”
Sakura mengangguk pelan karena dia mendongakkan kepalanya. “Aku baik-baik saja Dev.
Hanya kelelahan.”
“Jangan terlalu banyak belajar. Itu juga tidak baik untuk kesehatanmu.” Tiba-tiba saja Devan menawarkan punggungnya tepat di depan Sakura.
“Tunggu apa lagi, naiklah!”
Bukannya mendapat balasan positif, Sakura malah memukul punggung Devan meskipun dengan pukulan pelan.
“Jangan melakukan hal konyol Dev,” Sakura berjalan mengelabui Devan. Dia masih memegang hidungnya yang bisa mengeluarkan darah kapan saja.
Devan berdiri, berusaha menyamakan langkah dengan perempuan disebelahnya. Sesekali dia melihat Sakura untuk memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja.
Matahari semakin naik, wajah Sakura semain pucat. Devan yang sedari tadi tidak sanggup melihat apa yang Sakura alami langsung saja menggendong perempuan itu di punggungnya dengan paksa.
Sakura memukul pundak Devan namun, kondisinya semakin lemah membuat dia hanya bisa pasrah.
“Apa yang kau lakukan Dev?” tanya Sakura pelan.
“Tidak. Hanya saja, kamu murid berprestasi di sekolah. Kalau kita jalan lambat bisa-bisa kita terlambat.”
Sakura menghembuskan napas pelan.
“Aku yakin kamu juga tidak ingin pulang ke rumah kan Ra? Perempuan sepertimu begitu khawatir meninggalkan pelajaran bahkan dengan alasan sakit.”
“Bukan begitu Dev, aku cuma ingin mama bangga akan diriku.” “Bangga? kamu menyiksa diri Ra.”
Mereka akhirnya tiba di perempatan jalan, Devan menunggu hingga lampu pejalan kaki berwarna hijau.
Mobil berhenti, pejalan kaki bebas melewati jalanan dengan garis putih bersusun-susun.
“Orang tuamu bangga tanpa tahu kamu berjuang seperti apa,” celetuh Devan. Dia mengungkit kembali topik yang hampir tenggelam tadi.
“Sudahlah Dev. Turunkan aku, sekolah sudah dekat,” jawab Sakura parau.
Devan menurunkan perempuan di punggungnya sesuai perintah. Namun, tidak menunggu waktu dia spontan menengadahkan kedua tangannya setelah Sakura pingsan di tempat. Laki-laki itu kini terlihat gusar, tanpa berpikir panjang dia mengangkat Sakura menuju ke UKS sekolah.
*
“Bagaimana keadaannya?” tanya Devan setelah anggota PMR membuka pintu UKS.
Dua anggota PMR yang ditanya diam beberapa saat, dia menatap wajah Devan begitu lama. Pikirannya masih sama dengan perempuan pada umumnya ketika bertemu Devan pertama kali ‘Mengapa pria ini begitu tampan?’
“Dek?”
“Oh ya Kak?... Kak Sakura baik-baik saja. Dia hanya butuh istirahat,” ujar salah satu diantara mereka. Sedang yang satunya lagi masih tenggelam dalam lamunannya hingga berdampak kehaluan di luar bawah sadar.
Dua anggota PMR itu pergi sambil cubit-mencubit satu sama lain membuat Devan tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya di dinding. Menunggu Sakura keluar ketika dia betul-betul merasa baikan.
Sakura keluar dari ruangan paling steril di sekolah. “Apa sudah masuk?” tanyanya. “Ya, dua puluh menit yang lalu.”
Sakura bergegas menarik tangan Devan. Namun, Devan menarik tangan Sakura lebih kuat hingga berdampak kepada tubuh Sakura yang mendarat tepat dihadapann Devan.
“Gurunya tidak ada Ra. Katanya dia ada urusan. Karena itu beristirahatlah!” “Dia pasti menitipkan tugas. Apa kamu mencatatnya Dev?”
“BISAKAH KAMU MEMIKIRKAN DIRIMU SENDIRI RA!”
Devan menghela napas. Berusaha mengontrol emosi. Dia sadar bahwa seharusnya dia tidak berkata kasar kepada Sakura. Terlebih, perempuan itu belum pulih.
Suasana menjadi canggung beberapa saat. “Maafkan aku Ra.”
“Tidak apa-apa Dev. Aku harusnya sadar bahwa kesehatan adalah salah satu hal yang penting.”
Devan mengangguk karena dia merasa benar.
“Sebagai hadiah agar kamu bisa beristirahat dengan tenang, kamu perlu tahu bahwa kamu lolos OSN Fisika mewakili sekolah kita.”
“Benarkah?” Sakura meyakinkan apa yang dikatakan Devan benar. Dia terlihat antusias.
“Ya, kamu urutan pertama dari hasil tes.” Devan menunjukkan hasil pengumuman di
handphone-nya. Sakura melompat kecil. Dia terlihat kegirangan lantas masuk ke dalam UKS. Devan tersenyum. Dia bahagia melihat Sakura bahagia.
Sembari menunggu jam pelajaran berakhir juga menunggu Sakura selesai beristirahat.
Devan pergi ke rooftop. Tempat kedua yang disukai Devan setelah rumah pohonnya.
Devan menyukai tempat itu karena dua hal. Sepi dan tinggi.
Tempat yang tinggi membuat Devan lebih dekat dengan angkasa. Devan sangat suka berbaring menatap langit biru. Bahkan, sewaktu kecil dia pernah bercita-cita menjadi batu di lahan terbuka, diam dan bisa menatap langit kapanpun dia mau. Tanpa perlu memikirkan masalah dunia yang rumit. Persoalan yang hanya sang pencipta yang tahu akhirnya.
Devan memejamkan mata. Dia hampir saja tertidur namun seseorang membuka pintu keluar rooftop membuat Devan terbangun.
“Sakura? Bukannya kamu—“
“Aku tidak suka bau di UKS. Biarkan aku baring menatap langit disini bersamamu.
Bukankah menyenangkan?” “Aku menyenangkan?”
Sakura tersenyum kecut lalu memicingkan matanya. “Langit Dev… Langit.” Devan balas dengan tawa kecil.
“Apa tujuanmu setelah lolos olimpiade?”
“Aku Akan mengambil sertifikatnya. Lalu melampirkannya di lembar SNMPTN atau mendaftar jalur prestasi di universitas swasta, bila tidak lulus.”
Devan mengangguk.
“Bagaimana denganmu Dev?” Sakura memiringkan kepalanya Sembilan puluh derajad ke kiri. Menatap Devan.
Mereka saat ini memang berbaring bersama di rooftop. Tetapi, jarak mereka cukup jauh.
Sehingga harus mengeraskan suara bila ingin menyampaikan hal satu sama lain. “Entahlah.”
“Memangnya apa cita-citamu?” “Jadi batu.”
“Batu? Pffttt…” Sakura tertawa lepas setelah berusaha menahannya. “Kamu menyampaikannya seolah kamu serius Dev.”
“Siapa bilang aku berbohong?” Devan sewot dia memiringkan kepalanya ke kanan membuat mereka berdua kini saling bertatapan.
Suasana hening terjadi begitu lama.
SAKURA POV :
Aku dan Devan yang menatap angkasa tiba-tiba menghentikan aktivitas kami ketika seorang pria membuka pintu.
Bram datang menghampiriku. Aku langsung berdiri membersihkan pakaianku. Berusaha bersikap normal. Seolah tidak ada yang terjadi antara aku dan Devan. Memang kami berdua tidak melakukan apa-apa. Hanya saja, aku yakin Bram pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku.
Perlu kalian ketahui bahwa Bram adalah pacarku. Kami berpacaran kurang lebih sudah satu bulan. Aku mengaguminya sebagai sosok yang cerdas juga ramah kepada semua orang. Dari kelas satu aku menyukainya. Namun, sebulan yang lalu dia menyatakan perasaannya kepadaku membuatku tidak punya alasan untuk menolaknya. Kalau saja dia memendamnya aku tidak akan melakukan apapun tentang perasaanku bahkan hingga lulus nanti. Aku bisa dikatakan sebagai pengagum rahasianya.
Tetapi, lihatlah sekarang. Dia adalah pacarku. Aku seolah bermimpi tentang hubungan
kami.
"Kenapa kamu tidak membalas chatku semalam Ra?" tanya Bram.
Benar. Semalam, aku melihat pesan dari Bram namun aku tidak bisa membalasnya karena sibuk belajar. Rencananya, setelah belajar aku akan membalasnya. Namun, tragedi mimisan itu terjadi membuatku lupa.
"Lupakanlah Ra. Bagaimana kalau kita makan es krim saja sekarang. Lihatlah, matahari sedang terik," ujar Bram. Aku terlalu lama memberikannya jawaban.
Devan yang sedari tadi berbaring kini ikut berdiri. Aku sempat lupa keberadaan Devan di rooftop ini untuk beberapa saat karena Bram.
"Pacarmu lagi sakit. Mimisan," sahut Devan. Dia kini meninggalkan kami berdua di rooftop.
Bram yang khawatir tiba-tiba menghampiriku. "Kamu baik-baik saja kan Ra? Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sedang sakit. Apa perlu kita ke dokter?"
Aku menggeleng. "Tidak Bram. Aku baik-baik saja. Bagaimana pelajaranmu di kelas?" "Pelajaran? Kenapa kamu membahas tentang pelajaran Ra? Tidak seperti biasanya."
Aku ingin mengetuk kepalaku sendiri sekarang juga. Alih-alih ingin menutup kecurigaan Bram terhadapku dan Devan berdua di rooftop, aku malah membuatnya bertambah curiga dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.
*
AUTHOR POV :
Devan terlihat bingung. Dia duduk dia atas toilet cukup lama. Tidak ada tempat lain lagi selain rooftop baginya di sekolah ini selain WC. Dia menyesal telah meninggalkan rooftop berlagak seperti di film-film bergerak slow motion meninggalkan tempat. Terlebih ketika tahu bahwa dia hanya akan berakhir di tempat seperti saat ini. Kalian tahu, bagaimana kondisi WC laki- laki. Sekalipun di sekolah bertaraf international seperti sekolah mereka.
Saat Devan berdiri hendak membuka pintu, dia mendengar seseorang berjalan masuk sambil berbicara. Devan seketika terdiam. Dia berusaha membuat suasana tetap hening. Karena Devan yakin, itu adalah suara Bram.
“Mohon maaf, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa memutuskan Sakura saat ini,” ujar Bram.
Devan semakin antusias, namun tetap diam disertai ekspresi datar. Dia tahu bahwa Bram berbicara melalui telepon.
“Baiklah, kamu tahukan aku harus berusaha memacarinya agar dia tidak merebut prestasiku di sekolah. Sekarang dia ikut olimpiade Fisika. Harusnya kamu bisa mengerti sayang.”
Kata ‘sayang’ yang Bram lontarkan membuat Devan seketika membulatkan mata. Devan mengepalkan tangannya, berusaha mengatur emosi. Setelah dia mendengar suasana hening dan langkah kaki Bram, Devan akhirnya keluar dari tempat menjijikkan itu, dia memutuskan untuk membuntuti Bram.
Bram menuju ke kantin, dia tersenyum menatap Sakura yang dihadapnnya sudah ada sepasang ice cream rasa stroberi.
“Kenapa lama Bram?” tanya Sakura. Ekspresinya terlihat kesal. Dia memain-mainkan sendok di es krim yang perlahan mulai mencair.
Bram tersenyum. “Mohon maaf telah menunggu lama Ra.”
Devan yang tidak sanggup lagi melihat sandiwara dihadapannya dengan cepat menghampiri Bram dan meninju wajah laki-laki itu dengan beringas. Beberapa siswa perempuan di kantin teriak histeris sedang yang laki-laki berusaha melerai.
Sakura yang tadinya hanya diam terpaku karena tidak mengerti akan keadaan menarik Devan. Devan menghentikan tinjuannya, dia berdiri, setelah Bram betul-betul terkapar di lantai tak berdaya.
PLAK !!!
Suasana hening seketika. Sakura menampar Devan tepat dihadapan semua orang.
Devan hanya mampu tersenyum kecut, antara menahan sakit namun berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tamparan Sakura jelas cukup keras.
“APA YANG KAU LAKUKAN HA? BERANI-BERANINYA KA—“
Sakura menghentikan celotehannya setelah Devan menutup mulut perempuan yang telah menamparnya.
“Pacarmu itu b******n Ra. Jadi, biarkan aku meninjunya sebelum dia mengatakan yang sebenarnya kepadamu,” ujar Devan, dia melangkahkan kakinya pergi ke suatu tempat. Dimana lagi kalau bukan rooftop.
Sakura terdiam, setelah Devan mengelabuinya pergi. Dia berusaha mencerna kata-kata Devan sembari menunggu Bram berdiri dan menyeka darah di sudut bibirnya.
“Apa maksud perkataan Devan, Bram?” tanya Sakura.
Bram hanya diam menunduk. Laki-laki itu berusaha sebisa mungkin agar matanya tidak bertemu pandang dengan mata Sakura.
Sakura mengangguk, dia berlari-lari kecil meninggalkan kantin. Air mata kini membasahi pipinya. Dia mengerti apa yang Devan maksud. Akhir-akhir ini, perempuan itu memang curiga tentang tingkah Bram. Dan dugaannya benar, Bram selingkuh.
Hingga ujung perjalanan Sakura adalah rooftop. Perempuan itu menyeka air matanya ketika melihat Devan berdiri menatap langit.
Devan seketika tersentak kaget ketika Sakura memeluknya.
Sakura sesenggukan. “Aku tahu De…Dev. Aku tahu dia mencintaiku karena karirnya.
Te… tapi aku ti…tidak mengerti mengapa aku terus ingin di… bodohi.
Devan balas mendekap Sakura lembut. “Menangislah Ra, keluarkan semuanya. Jangan buat itu menjadi penghalangmu esok hari. Devan balas mendekap Sakura. Dia bahkan rela seragam sekolahnya basah karena air mata.