DAY 3

1594 Words
Sakura menunggu bus sekolah di halte. Kejadian kemarin tidak ingin Sakura ulangi, bukan karena tidak suka dengan Devan. Hanya saja, itu terkesan canggung baginya. Terlebih lagi, mereka baru dua hari akrab meskipun hampir dua tahun sekelas. Sakura mengayun-ayunkan kakinya sembari memegang handphone dengan dua puluh panggilan terjawab didalamnya dari Bram. Juga beberapa pesan tak terbaca. Sakura tidak punya selera lagi untuk berhubungan dengan lelaki yang dulunya diagung-agungkan itu. “Tidak ingin kugendong lagi?” Suara yang tak asing di telinga Sakura membuat Sakura menaruh handphonenya kembali ke dalam saku dengan sigap. “Sudahlah Dev. Berhenti menggodaku saat tahu aku sudah putus. Jangan bilang karena tidak ada yang melindungiku kamu bersikap macam-macam.” Suara tawa Devan menyelimuti atmosfer. “Ou..ou.. hahaha apa yang kau lakukan Ra? Kamu membuatku terlihat seperti p*****l di pagi hari.” “p*****l?” “Kamu tidak tahu p*****l?” Sakura menggeleng. “Apa itu?” “Kaplet, obat sakit kepala.” Devan tersenyum menahan tawa. Sakura yang melihat Devan curiga kini mengambil kembali handphone dari dalam saku dan membuka google. Salah satunya jalan agar dia tidak dibodohi. “DEVAAAANN!” Tawa Devan menyeruak seketika setelah Sakura berteriak. “Kita anak IPA Ra. Kamu bahkan tidak tahu hal seperti ini. Kata ini sungguh tidak asing diluar sana.” Devan menyeka air yang keluar dari sudut matanya. Tawanya kini reda menyisakan senyuman tipis. “Makanya, Jangan sering tinggal di rumah setelah sekolah,” tambahnya. Sakura menampakkan ekspresi kesal. Dia sedikit memanyunkan bibirnya. “Bagaimana denganmu? Kupikir kamu punya dua tempat saja di dunia ini. Rooftop sekolah. Di rumah, kamar. Memangnya kamu bisa kemana lagi?” Devan menatap Sakura kesal. Kemudian pandangannya teralihkan ke bus yang akhirnya sudah tiba. Sakura duduk di pinggir, tepat di sebelah kaca. Sedang Devan duduk di sebelahnya. Suasana dalam bus terdengar bising. Seperti biasa, para remaja yang baru beranjak dewasa biasa membahas hal-hal tentang masa depan mereka, apa yang akan mereka lakukan saat mereka dewasa, mereka ingin jadi seperti apa, bahkan bagaimana menginterpretasikan bahwa pacar mereka saat adalah jodoh mereka di masa tua. Tetapi, bukan hanya masa depan. Sebagian yang lain juga bercerita akan kehidupan orang lain. Gosip tepatnya. Seperti beberapa anak yang membahas tentang kejadian kemarin antara Sakura dan Bram. Serta apa yang mereka lihat saat ini, Devan masuk ke dalam bus bersamaan dengan Sakura dan mereka duduk bersebelahan. Ada yang memberi tanggapan positif, namun tidak sedikit diantara mereka melontarkan kata-kata negatif. Hingga Devan dan Sakura menyadari itu. “Ra,” “Ngg,” balas Sakura kemudian membuka matanya. “Pakai ini,” Devan menyodorkan sebuah earphone sebelah kiri kepada Sakura. Sedang earphone yang kanan lagi untuk dirinya sendiri. Sakura menerima earphone yang Devan suguhkan. Dia menggerakkan kepalanya pelan mengikuti irama lagu. “Apa judul lagu ini Dev?” “I’m So tired by Lauv and Troye Sivan. Entah berapa kali lagu ini kuputar setiap harinya.” “Bagus, lagu ini bukankah menggambarkan keadaanmu saat ini dengan Carolina?” Sakura mendengus disertai senyum. Devan menatap Sakura tajam seolah topik pembicaraan mereka tidak lagi menyenangkan. Devan melangkah begitu cepat setelah keluar dari bus disusul Sakura di belakang yang berlari-lari kecil. “Ada apa Dev? Maafkan aku persoalan tadi…” Sakura memohon setelah menyamai langkah Devan. Devan menggeleng. “Bukan itu Ra.” Sakura terdiam sejenak. Berusaha mengingat apa yang terjadi barusan di dalam bus. Dia tidak menemukan satu kejadian pun yang bisa membuat Devan bertingkah seperti ini. Hingga seseorang terlihat menghampiri mereka berdua. Andi, teman sekelas mereka. Laki-laki itu tengah memegang kertas portofolio. Sakura merasakan hal yang aneh antara Andi dan Devan setelah mereka berdua saling melempar tatapan tajam. Waktu seolah berhenti untuk beberapa saat. “Apa maumu ha?” tanya Devan. Tatapannya masih saja tajam. Andi yang menyadari keberadaan Sakura seketika berubah ekspresi. Pandangannya kini beralih ke Sakura. Dia mengabaikan Devan. “Sakura, apa kamu sudah membuat laporannya?” tanya Andi kepada Sakura yang masih tenggelam dalam lamunannya memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini. “Laporan?” “Ya.” “Oh astaga… Ya Andi. Aku sudah membuatnya, aku akan mengirimnya lewat email nanti.” “Baguslah.” Andi melangkahkan kakinya pergi. Namun seketika langkahnya berhenti ketika mendengar suara Devan. “Apa-apaan ini? Bukan Sakura kan tujuanmu. Jujurlah Andi…” ujar Devan seketika membuat Andi berbalik. “Menurutmu? Kalau kamu tidak pernah sadar, jangan pernah menyebut namaku,” Andi tetap melangkah. Sakura yang melihat mereka berdua masih tetap diam ditempatnya, bingung beberapa saat. SAKURA POV : Di kelas, aku baru menyadari sesuatu selama dua tahun ini. Devan dan Andi, mereka tidak pernah berbicara satu sama lain. Ya, meskipun Devan pendiam dan jarang masuk kelas, namun tidak dapat disangkal bahwa keberadaan mereka berdua membuat suasana seketika berubah dingin. Saat ini, apa yang terjadi dihadapanku memperjelas segalanya. Bahwa ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua. Devan keluar kelas bersamaan ketika Andi masuk. Seolah Devan menghindar. "Arabelle, aku keluar sebentar. Kalau Pak Tresno sudah datang, tolong ijinkan aku," ujarku kepada Arabelle. Teman sebangkuku. Arabelle menjawab dengan anggukan pelan. Sepatutnya, aku tidak perlu takut kehilangan jejak ketika membuntuti Devan. Langkah kakinya pasti bermuara di rooftop. Dan aku benar. Dia menatap langit disana seperti biasa. Namun, saat ini dia tidak berbaring melainkan berdiri. Badannya disandarkan pada pagar pembatas. "Ada apa Ra, Pak Tresno tidak masuk?" "Ada yang ingin kutanyakan Dev." "Persoalan tadi?" "Aku tahu alasanmu pergi ke rooftop. Bukan karena Carolina kan? Tapi Andi, apa sesuatu terjadi diantara kalian berdua." "Kamu tahu kamu cerewet Ra? Berhentilah menanyakan hal-hal aneh," jawab Devan. Sikapnya yang tidak biasa ini malah membuatku semakin curiga. Aku meraih kedua bahu Devan. "Aku tahu kamu bohong Dev. Kamu bahkan tidak bisa melihat wajahku." Devan yang sedari tadi tertunduk mulai mengangkat dagunya. "Ra, jangan bergerak!" Aku seketika bingung melihat tingkah laku Devan. Dia membuka kemeja seragam sekolahnya menyisakan dalaman kaos berwarna putih. Aku kaget bukan main. Kupikir Devan akan melakukan hal yang tidak-tidak. Tetapi, ketika dia menunjukkan kemejanya dengan cairan berwarna merah disana membuatku seketika mendongakkan kepala. Sial, aku mimisan lagi disaat seperti ini. “Aku ke WC sebentar Dev,” ujarku. Aku mengambil kemeja yang ada di genggaman Devan lalu menaruhnya di hidung. Karena sudah terlanjur ada darah disana. “Akan kucuci nanti.” “Ra.” Aku yang hendak membuka pintu rooftop berbalik ketika Devan memanggil. “Tidakkah kau ingin ditemani?” Aku terus melangkah. Mengisyaratkan itu terserah pada Devan sendiri. Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaannya. Mau ikut mau tidak itu pilihannya, namun aku sungguh berharap dia tinggal saja di rooftop memikirkan masalahnya. Darah dari hidungku sudah mengalir begitu banyak. Namun harapanku salah, setelah memutar kran westafel dan semua darah dari hidungku keluar, Devan sudah berdiri tepat di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri disana hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tanpa berpikir panjang, aku melihat sekitar, menarik tangan Devan segera ke rooftop. Setelah sekitar dua, tiga orang di WC tadi melihat kami. “Kamu tahu itu WC khusus perempuan Dev,” ujarku. Devan hanya berbaring menutup matanya seperti biasa. Dia mengabaikanku. Gawat. Aku melihat jam. Sudah tiga puluh menit berlalu. Aku baru sadar, pelajaran sudah dimulai. “Dev, bangun Dev. Bangun! Pak Tresno sudah masuk.” “Ngg… Pergilah Ra.” “Dev. Ayolah!” Aku menggerak-gerakkan tubuh Devan lagi. Namun, tiba-tiba kepalaku begitu sakit, mataku berkunang-kunang. Seketika gelap. * Dimana aku sekarang? Pertanyaan pertama yang terbesit di pikiranku setelah membuka mata dan hanya melihat langit-langit ruangan. Bau obat khas begitu terasa. Lenganku sulit bergerak karena selang infus. Rumah sakit, aku yakin aku sedang berada di rumah sakit. Devan terlihat berbaring di dekatku. Dia masih dengan kaos putihnya. “Kamu sudah bangun Ra?” Suara Devan mulai terdengar. Dia terbangun ketika merasakan pergerakan dari tubuhku yang hendak mengambil air. Devan yang sadar segera berdiri membantuku. “Kamu tidak masuk belajar Dev?” tanyaku setelah Devan memberi segelas air. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Namun, yang pasti Devanlah yang membawaku kesini. “Tidak, tenang saja, aku sudah minta ijin ke pak Tresno untuk membawamu kesini.” “Tapi, belajar itu penting Dev.” “Penting? Sudah terlambat kamu memberitahuku di pertengahan semester. Aku sudah terlanjur tidak mengerti materi pak Tresno dari awal. Jadi daripada begitu, lebih ada gunanya aku hidup sebagai manusia membawamu kesini.” Aku tersenyum. Aku tidak bisa menyangkal melihat Devan hanya sekedar duduk di kelas. Sesekali terlihat dia akan melihat keluar jendela seperti berharap pelajaran berakhir secepatnya. “Baiklah… Ngomong-ngomong, apa yang dikatakan dokter tentangku?” “Dia bilang kamu baik-baik saja. Hanya perlu istirahat yang cukup katanya.” “Begitu ya, aku memang sering begadang akhir-akhir ini.” Seorang perawat membuka pintu menghentikan pembicaraanku dengan Devan. Perawat itu memanggil Devan perihal registrasi. “Aku pergi dulu Ra,” gumam Devan. Aku mengangguk pelan. Jujur, salah satu tempat yang paling kubenci di dunia ini adalah rumah sakit. Tempat dimana hanya ada rasa khawatir, risau, juga harapan. Tempat dimana senyum orang sulit untuk mengembang. Suara pintu terdengar menandakan seseorang hendak masuk. Ternyata Mama, dia langsung berlari memelukku khawatir. “ Bagaimana keadaanmu sayang? Mohon maaf mama datang telat. Mama ada meeting hari ini di kantor.” “Kenapa mama tiba-tiba datang. Ada baiknya mama melanjutkan meeting-nya dulu bukan? Aku baik-baik saja. Sungguh.” Mama melepas pelukannya. “Syukurlah… Ngomong-ngomong tadi Mama bertemu temanmu diluar sana. Namanya Devan kan? Dia memutuskan pulang lebih dulu, katanya dia tidak perlu khawatir lagi karena mama ada bersamamu. Aku mengangguk. Entah mengapa hati kecilku tidak bisa berbohong bahwa aku tidak ingin Devan pergi. Laki-laki yang dulu ketika aku melihatnya aku hanya bertingkah masa bodoh. Kini membuatku nyaman akhir-akhir ini. Mata mama terlihat merah. Apa dia telah menangis karenaku? Atau karena meninggalkan rapatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD