AUTHOR POV :
Devan kini berada di rumah pohonnya. Namun, kali ini berbeda, karena dia ada disana saat hari masih pagi. Tidak seperti hari-hari biasanya.
Sebelum matahari terbit, Devan berbaring sambil melihat botol kecil berisi kapsul. Latar dari botol itu adalah langit yang perlahan mulai cerah karena matahari mulai muncul dari peraduannya.
Devan terduduk lalu membuka botol dan mengambil dua kapsul disana. Dia menelannya dengan bantuan air gelas kemasan. Salah satu kapsul pecah di mulutnya membuat dia mengernyitkan dahi menandakan bahwa rasa dari obat itu cukup pahit.
Devan mengambil tasnya lalu bergegas ke sekolah setelah melihat arloji. Pukul 07.15. Dia sudah ketinggalan bus terakhir. Lari adalah pilihan yang bisa dilakukannya agar berhasil tiba di sekolah tepat waktu.
Berbeda dengan Devan, Sakura sudah tiba di sekolah tepat sebelum matahari terbit. Semalam dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Meski mamanya menyarankan agar Sakura beristirahat saja dulu, namun Sakura bersikeras untuk datang ke sekolah. Baginya, meninggalkan satu mata pelajaran tanpa sebab adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi, dua hari belakangan ini dia tidak kondusif belajar di kelas.
Sakura hanya berkomitmen untuk menjaga kesehatannya.
Devan yang membuka pintu rooftop sambil memegang kedua lututnya sembari menyeka keringat. Matahari lebih panas dari biasanya.
Ketika Devan mendongakkan kepalanya, dia langsung melihat sesosok perempuan dari kejauhan. Meskipun wajahnya tidak nampak, namun dari rambut hingga postur tubuh membuat Devan menduga itu Sakura.
Laki-laki itu bingung mengapa Sakura yang kemarin sedang diinfus, tiba-tiba saja berada di rooftop. Devan mengucek matanya sesekali untuk memastikan bahwa itu memang Sakura.
SAKURA POV :
Devan meraih sesuatu dari tasnya. Setelah mengeluarkan setumpuk buku. Aku tidak menyangka, sesosok Devan membawa buku sebanyak itu? Eh tunggu dulu, kemungkinan besar dia membawa semua buku agar dia tidak perlu lagi melihat jadwal pelajaran. Miris.
Benda yang sedari tadi dicarinya akhirnya ketemu. Kotak bekal makanan. Aku mengernyitkan dahi.
"Untuk apa kotak bekal itu?" tanyaku langsung.
Devan tersenyum sumringah. Dia perlahan membuka kotak bekal yang berisi capcay yang terdiri dari wortel, brokoli, kol dan lainnya.
Alisku terangkat, menunggu jawaban dari Devan. "Aku ingin hidup sehat mulai sekarang."
"Ha?" aku menutup mulut, berusaha menahan tawa. "Hidup sehat?" "Ya, apa yang lucu?"
Aku menarik tanganku kembali dari mulut. "Oh tidak.... Baguslah. It's okay,"
Devan seketika makan dihadapanku dengan lahap. Sejujurnya, tadi pagi aku terburu-buru hingga belum sempat sarapan. Semuanya karena buku Matematika yang hilang membuat waktuku tersita beberapa menit. Dan kesalnya lagi, buku itu kutemukan di tas bagian depan. Aku seketika menepuk jidat.
"Mau?" tanya Devan. Dia akhirnya menyadari keberadaanku. Syukurlah.
Aku diam beberapa saat. Berpikir, gengsi versus rasa lapar. Aku tidak perlu memilih keduanya.
"Apa itu buatanmu?"
"Ya, tentu," Devan mengangkat kotak bekal makanannya lebih tinggi.
"Apa aku perlu menyuapimu Ra? Makanlah, kalau kamu sakit kamu akan meninggalkan satu mata pelajaran lagi dan rebahan di UKS. Aku bahkan tidak menyangka kamu datang ke sekolah sejak kejadian kemarin."
Aku membasahi bibirku sebelum bicara. "Bukan begitu, kalau aku bisa menjamin diriku sembuh dalam sehari di rumah bagiku tak masalah. Hanya saja, kepalaku akan sakit bila terlalu lama berbaring, tidak mengerjakan apapun."
Aku meraih bekal makanan yang Devan berikan. Katanya dia sudah kenyang. Selain capcay, dia juga membuat sandwich. Namun kami memakannya di akhir.
“Ayo ke kelas Dev. Sepuluh menit lagi bel berbunyi,” aku berdiri dan menaruh tas dipunggungku disusul Devan yang membereskan bekal makanannya. Aku terlihat tidak tahu diri hahaha…
*
Papan tulis kini terisi penuh dengan tulisan pak Tresno. Terdiri dari angka-angka dan rumus-rumus. Hanya siswa tertentu saja yang dapat menyalin tulisan di papan tulis. Itu bukan karena tulisan pak Tresno yang jelek, hanya saja cara menulisnya yang tak beraturan. Setelah dari kanan papan tulis, dia menulis di bawah, lalu sudut kiri bawah, kiri, atas, kanan bawah dan uniknya darimanapun awalnya pasti selalu berakhir di tengah.
Tetapi, meski begitu ada satu kelebihan pak Tresno yang diakui semua siswa. Dia bisa menulis dengan rapi menggunakan tangan kanan dan tangan kirinya secara bersamaan.
Aku sesekali mengalihkan pandanganku dari papan tulis ke Devan. Laki-laki itu selalu menopang dagunya, menatap keluar jendela serta sesekali menggaruk kepalanya menggunakan pulpen yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Aku hanya bisa tersenyum kecil.
Setelah pelajaran berakhir, Arabelle mengajakku pergi ke kantin. Sudah berapa hari ini aku jarang bersamanya karena Devan.
“Apa tugas yang bu Tuti berikan untuk menjaga Devan berat Ra?” tanya Arabelle setelah mengambil beberapa kue dari etalase lalu bergabung ke meja kantin bersamaku.
Aku tersenyum lirih.
Arabelle mengelus pundakku “Hmm… jelas. Pasti berat, tidakkah kau ingin mempertimbangkannya dengan bu Tuti lagi? Kamu harus fokus olimpiade ketimbang mengurusinya.”
Aku menggeleng.
Satu kesyukuran bahwa Arabelle tidak menanyakan hubunganku dengan Bram juga berpikir yang tidak-tidak tentang keberadaan Devan. Aku tidak salah memilih teman.
Arabelle makan dengan lahap dihadapanku. Perempuan yang hobi makan ini tidak pernah takut gemuk. Karena dia adalah salah satu spesias manusia yang meski makan berapa banyak postur tubuhnya tidak akan berubah. Sebuah keberuntungan baginya karena dia perempuan.
Sesosok laki-laki berdiri tepat dihadapanku membuat Arabelle mengengkat makanannya ke meja sebelah.
Bram. Apa yang dia lakukan saat ini, keberadaannya membuat semua mata tertuju padaku sekarang.
“Maafkan aku Ra,” ujarnya membuatku hanya bisa menunduk dan berharap dia hilang dari muka bumi. Sekarang!
Suasana hening terjadi begitu lama. Kakiku tidak bisa melangkah untuk pergi begitu saja. Karena tidak berani melihat sekitarku sekarang. Aku yakin hubunganku dan Bram begitu menarik perhatian. Bram adalah ketua tim basket, sedangkan aku peringkat satu umum di sekolah. Oh Tuhan tolong aku.
“Ra.” Aku mendongakkan kepala segera setelah mendengar suara Devan. “Bu Tuti memanggilmu.”
Syukurlah, aku akan berterimakasih kepada Devan karena menyelamatkanku disituasi seperti ini.
“Baiklah,” jawabku mengikuti Devan yang sudah melangkah lebih dulu. Aku mengelabui Bram yang masih berdiri menunggu permintaan maafnya diterima.
Devan menghentikan langkahnya kemudian melihat sekeliling. Hanya ada tukang bersih- bersih juga segerombolan orang yang berkerumun melihat majalah dinding. Entah berita apa yang membuat semua orang heboh.
Aku tersentak, Devan langsung menarik tanganku dan membawaku ke rooftop. Rupanya dia berbohong persoalan bu Tuti.
“Tinggallah disini sampai bel berbunyi,” ujarnya sambil melakukan rutinitasnya. Rebahan menatap langit.
Aku mengernyitkan dahi. “Apa rooftop ini milikmu? Kamu seolah membawaku ke rumahmu dan berkata ‘anggap saja ini rumahmu’.”
Aku ikut menikmati pemandangan langit, namun berbeda dengan Devan yang betul-betul terpapar radiasi, aku berteduh di bawah atap. juga tidak berbaring, hanya duduk sambil melingkarkan tangan di lutut.
“Kamu tidak berada disini sekarang kalau bukan karenaku Ra,” Devan mengangkat sebelah alisnya, dia berlagak menyombongkan diri.